Pahlawan, Kepahlawanan: Sebuah Renungan Singkat
Oleh :DSY
JAKARTA– Kepahlawanan, tampaknya berangkat dari nilai, juga dari sikap yakin. Ada frasa ‘lawan’ dalam kata pahlawan di sana. Barangkali pula, ada sesuatu yang paradoksal di sana. Di satu sisi kegemilangan, di sisi lain, kegetiran.
Yang jelas, dalam kepahlawanan selalu ada keberanian, sesuatu yang menurut Katherine Anne Porter, seorang peraih Pulizter, merupakan hal penting pertama dalam hidup.
Namun keberanian pun bisa tersungkur menjadi heroisme semu ketika lepas dari pedihnya pengorbanan. Mungkin seperti kisah Wolter Mongisidi, yang tak hanya memaafkan para juru tembaknya sebelum dibedil mati, tetapi juga menulis sepucuk surat melankoli. Pada September 1949 itu Wolter menulis dirinya sebagai, “Bunga yang hendak mekar, yang digugurkan angin yang keras.”
Atau seperti Achiles dalam kisah ‘Illiad’-nya Homerus: ia turun ke gelanggang peperangan untuk membalas kematian orang yang ia cintai, sementara sadar bahwa di sana takdirnya adalah mati. Mungkin pula seperti kisah Sayidina Ali yang mau membayar harga persatuan dengan kematian dirinya sendiri. Dalam hidup kita hari ini, mungkin itu laiknya Yati, pemulung yang mengorbankan konsumsinya sehari-hari untuk bisa berkurban dan mengecap nikmatnya berbagi.
Apakah di hari-hari ini kita memerlukan seorang hero? Saya tak tahu pasti. Namun tampaknya, kita memang memerlukan seseorang yang bisa menunjukkan bahwa kita seharusnya menggenggam erat harapan dan menujunya dari hari ke hari. Seperti kata sastrawan Cina, Lu xun, harapan itu seperti jalan di pedalaman. Mula mula ia tiada, lalu saat banyak yang menempuhnya, maka jalan pun terjadilah.
Yang pasti, saat ini kita tengah memerlukan sosok yang tak hanya membangkitkan rasa haru dan percaya akan kebesaran bangsa ini. Kita juga memerlukan mereka yang bisa menularkan kecintaan yang tulus akan bangsa ini, dan mengerakkan kita, berkarya untuk mengangkat bangsa dari keterpurukan.
Tampaknya, pahlawan saat ini adalah pemimpin yang bisa memercikkan harapan di hati rakyat yang telah begitu lama hidup dalam demarkasi subsisten yang berbahaya, yang kerap menyerempet batas antara hidup dan tidak. Rakyat yang kian kecewa dan serak manakala gaji dan upah tak juga beranjak naik, di tengah harga dan inflasi yang membubung melangit. Rakyat, yang tak pernah didengar kendati terus menyuarakan negasi dengan suara yang—sebagaimana kata pemenang Nobel Susastra Josep Brodsky, datang dari kerongkongan mereka yang tercekik kehidupan.
Tampaknya, pahlawan saat ini justru pemimpin yang mampu mengajak rakyat bergandeng tangan untuk bersama melangkah menuju kehidupan ideal.
Pemimpin yang tak lupa, bahwa misi terpenting manusia ketika mendapatkan amanah kepemimpinan —sebagaimana kata cendikiawan Fazlur Rahman, adalah membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok dhuafa dan mustadafin—mereka yang lemah dan dilemahkan. [dsy]