POTPOURRI

Para Ksatria Padang Rumput [2]: Terbit dan Punahnya Seljuk-Rum

Pada awal-awal berkuasa, 1160, Kilik Arslan II tunduk kepada kekuasaan Bizantium dan bahkan diangkat anak oleh Kaisar Manuel I. Kedekatan personal ini membuat Kilik Arslan II memiliki keleluasaan untuk membangun Seljuk-Rum. Setelah berhasil mempersatukan seluruh emirat, Kilik Arslan II menyatakan diri sebagai Sultan Seljuk-Rum, dan menjadi pemimpin pertama yang mendapat gelar “sultan”. Hal ini memancing Kaisar Manuel I melancarkan serangan kepada ke wilayah Seljuk, namun berhasil dipatahkan Kilik Arslan II.

Oleh   : Zaenal Muttaqin*

JERNIH– Kekalahan Bizantium di Manzikert (1071) memicu kudeta di Konstantinopel, di mana Mikhael VII Doukas memproklamirkan diri sebagai kaisar. Perang saudara pun pecah dan berakhir dengan penangkapan Romanos IV yang dihukum buta (cungkil mata) pada 29 Juni 1072, dan beberapa minggu kemudian meninggal.

Kematian Romanos IV mengakhiri gencatan senjata antara Seljuk dengan Bizantium. Perang kembali meletus secara sporadis di berbagai front, dan Seljuk berhasil bertahan di Pontus. Sementara itu beberapa pemberontakan internal terjadi di Bizantium.

Suleyman bin Kutalmis melakukan invasi ke wilayah barat Anatolia pada kurun 1074–1075. Pertarungan memperebutkan Syria antara Sultan al-Muntatsir dari Dinasti Fatimiyah dengan Emir Atsiz dari Seljuk, telah membuat klan Nawakiyah terdesak dan menyingkir ke Antioch. Namun, karena dianggap sebagai ancaman, klan Nawakiyah terpaksa harus kembali bermigrasi karena diserang doux Isaac Komnenos pada 1075. Suleyman akhirnya bermigrasi ke sekitar pegunungan Taurus, lalu merebut kota Ionikon dan menduduki benteng Kabala. Dari sana, Suleyman dengan leluasa melancarkan serangan ke Nicea dan Nikomedia pada pertengahan tahun 1075.

Kilij Arslan II

Kesempatan bagi Suleyman datang ketika Nikephoros Botaneiates memaklumkan diri sebagai kaisar Bizantium pada 7 Januari 1078. Meski Kaisar Mikhel sempat membujuk klan Nawakiyah untuk mendukungnya, namun Suleyman lebih memilih membantu pemberontakan Nikephoros dan mengakuinya sebagai kaisar. Nikephoros, yang berbasis di Lycaonia, tepat di jantung Anatolia, akhirnya dapat memasuki Konstantinopel pada 31 Maret 1078 tanpa perlawanan berarti. Peristiwa ini membuat klan Nawakiyah bisa menetap di Ionikon dengan tenang. Di sana Suleyman mendirikan Kesultanan Seljuk-Rum dengan ibukota di Konya.

Namun, hampir seratus tahun kemudian Seljuk Rum baru memiliki kedudukan yang kuat di Anatolia. Pertama, berkat jasa Sultan Izzuddin Kilik Arslan II (1156–1192) yang berhasil menyatukan seluruh emirat di wilayahnya pada kurun 1174–1175. Pada awal-awal berkuasa, pada 1160 Kilik Arslan II tunduk kepada kekuasaan Bizantium dan bahkan diangkat anak oleh Kaisar Manuel I. Kedekatan personal ini membuat Kilik Arslan II memiliki keleluasaan untuk membangun Seljuk-Rum. Setelah berhasil mempersatukan seluruh emirat, Kilik Arslan II menyatakan diri sebagai Sultan Seljuk-Rum, dan menjadi pemimpin pertama yang mendapat gelar “sultan”. Hal ini memancing Kaisar Manuel I melancarkan serangan kepada ke wilayah Seljuk, namun berhasil dipatahkan oleh Kilik Arslan II.

Kedua, masa keemasan Seljuk-Rum dicapai di empat dekade awal abad ke-13. Beberapa sultan berhasil memperluas dan memperkokoh wilayah kesultanan di sepanjang kurun 1226–1241. Namun serangan Mongol yang dipimpin Jendral Baiju pada 1241–1243 memaksa Seljuk-Rum takluk sebagai negara vasal Mongol. Selain itu, sepeninggal Kaykhusraw II pada 1246, Kesultanan Seljuk-Rum mengalami disintegrasi akibat perebutan tahta ketiga anaknya, dan hal ini membuat beberapa beylik (emirat) memisahkan diri. Setelah mengalami pasang surut selama 150 tahun, Seljuk-Rum punah tahun 1307.

Menurut penggambaran Inu Bibi, para sultan Seljuk-Rum memiliki karakter yang sama dengan para sultan Seljuk-Persia, mereka adalah para pemimpin saleh yang menebarkan nilai-nilai Islam, yakni: pembangun madrasah dan zawiyah; penjaga negara, seni, dan perdagangan; dan penjaga agama. Sejarawan Kristen menambahkan ciri lainnya: para sultan Seljuk-Rum adalah para pembangun tempat ibadah. Adapun legenda Ottoman menggambarkan mereka sebagai: keturunan Oghuz khan yang legendaris dan memiliki nilai-nilai beys (kepala suku) dari Uz.

Perang Salib IV: tersingkirnya Greko-Romawi dari Konstantinopel

Serangan Tentara Salib IV ke Konstantinopel berujung dengan pembantaian orang-orang Greko-Romawi oleh bangsa Franka pada 8–13 April 1204. Perang Salib IV bukan hanya didasari pertimbangan ekonomi dan politik, tetapi didorong oleh motif agama yang sangat kuat. Perang ini sekaligus menandai perpecahan terbesar dalam Kristen: skisma Gereja Ortodok Timur dengan Gereja Katolik Roma.

Mundur jauh ke belakang: Konstantinopel dibangun oleh Kaisar Konstantinus di kurun 325–330 masehi dan ditahbiskan sebagai ibukota kedua setelah Roma. Dalam perjalanannya, Kekaisaran Romawi terbelah dua: imperium Romawi Barat dengan ibukota Roma, dan imperium Romawi Timur (para sejarawan kemudian menyebutnya “Bizantium”) dengan ibukota Konstantinopel. Tetapi imperium yang pertama tidak bertahan lama. Penyebab utamanya adalah serangan suku-suku nomad, termasuk suku Hunik pada abad ke-4, yang ditutup dengan serbuan bangsa Gothik di tahun 476 masehi yang mengakhiri keberadaan Romawi Barat.

Bila imperium Romawi Barat telah lama musnah, lalu siapa yang menyerang Konstantinopel pada 1204 masehi? Jawabannya: Bangsa Franka, yang terbentuk dari konfederasi suku-suku Germanik pada 800 masehi.

Masalah menjadi pelik ketika Uskup Roma mendaulat Franka sebagai Romawi Baru, penerus Kekaisaran Romawi, meski tidak ada pertalian darah dan sejarah. Oleh karena itu, alih-alih menggunakan sebutan “Romawi” atau “Romawi Barat”, saya lebih memilih sebutan “Bangsa Franka” untuk identifikasi umum, atau “Frankoratia” — sebagaimana mereka menyebut dirinya sendiri — bila terkait entitas negara; dan bila terkait bahasa dan budaya Latin yang menjadi identitasnya, saya menggunakan istilah “Latin-Franka” sebagai lawan dari “Greko-Romawi”.

Perang Salib IV telah membuat Bizantium terpecah menjadi empat negeri kecil: Kerajaan Nicea di Anatolia, Otokrasi Epirus di Albania, Kerajaan Trebizond di Pontus, serta Emporium Frankokratia (pemerintahan Franka) di Konstantinopel. Tiga yang pertama merupakan realm Greko-Romawi dan yang terakhir adalah realm Latin-Franka, dan semua mengaku sebagai pewaris sah Bizantium. Tidak ada jalan keluar untuk mengatasi masalah ini selain perang — dan sejarah membuktikan perseteruan Greko-Romawi dengan Latin-Franka tidak memunculkan pemenang selain Ottoman.

Geopolitik Anatolia 1204 Masehi

Pasukan Franka menyebrang ke Anatolia melalui tiga jalur dan mengepung Imperium Nicea dari tiga arah: Nikomedia, Pagia, dan Adramittion. Di bawah pimpinan Kaisar Theodore I Laskaris, Nicea mampu bertahan menghadapi serangan ini. Memasuki tahun 1205, situasi berubah ketika pecah perang antara Bulgaria dengan Frankokratia, yang bermula dari penjarahan-penjarahan pasukan Franka atas wilayah Bulgaria. Ketika dua pasukan bertemu di Adrianopole pada 14 April 1205, Tzar John I Asen berhasil mengalahkan pasukan Franka dan menangkap Kaisar Baldwin Hainut, kaisar Latin-Franka pertama di Konstantinopel. Situasi ini memaksa Henry Hainut, kakak dari Baldwin Hainut, menarik sebagian pasukan Franka dari Anatolia.

Nicea memanfaatkan keadaan ini untuk memperkuat kedudukannya di Anatolia, dan berupaya menjalin aliansi dengan Seljuk Rum. Pada maret 1205, secara pribadi Kaisar Theodore I mengunjungi Sultan Kaykhusraw I untuk menjaga perbatasan Nicea dan meminta dukungan pasukan. Upaya yang dilakukan Raja Theodore membuatnya mendapat simpati dari masyarakat Greko-Romawi di Anatolia. Dan berkat bantuan Seljuk Rum, Raja Theodore bukan saja berhasil merebut kembali beberapa wilayah yang sempat jatuh ke tangan Franka, namun juga berhasil memaksa tunduk rival-rivalnya di Anatolia.

Ketika Mongol datang dan menjadikan Seljuk Rum sebagai negara vasal, Nicea sempat berupaya membantu Seljuk Rum melepaskan diri dari Mongol. Namun, pasukan Mongol terlalu kuat untuk dihadapi aliansi Nicea-Seljuk. Keadaan berbalik ketika pada tahun 1257 pasukan Mongol menghampiri perbatasan Nicea dan siap melakukan serangan, sehingga memaksa Kerajaan Nicea melakukan perjanjian damai dengan Mongol.

Sebagaimana telah disinggung di atas, Perang Salib IV berdampak luas hingga ke persoalan agama. Gereja Romawi Timur (Gereja Ortodok) dan Gereja Romawi Barat (Gereja Katolik) terbelah dua dan menjadi skisma terbesar dalam sejarah Kristen. Dari sisi budaya, kejadian ini mengubah Konstantinopel yang memiliki akar budaya Greko-Romawi, menjadi masyarakat Latin-Romawi.

Ketika kaisar Nicea, Theodore I, berkirim surat kepada Paus Inosentius III dan memintanya menjadi penengah antara dirinya dengan kaisar Franka, Henry Hainault, Paus Inosentius malah meminta Theodore I tunduk kepada kekaisaran Latin-Franka seraya memanggil Theodore dengan panggilan “nobilitati tuae” (yang mulia) — bukan “raja” atau “kaisar”. Paus Gregorius IX melakukan hal yang sama kepada penguasa Nicea, John III Doukas Batatzes, dengan panggilan “nobili viro Vatacio” (yang mulia Batatzes), sementara kepada penguasa Latin di Konstantinopel, Baldwin II, dia memanggilnya “karissimo in Christo filio nostro Johanni Imperatori Constantinopolitano” (dalam kasih Kristus, anakku John, Kaisar Konstantinopel). Tampak bahwa Gereja Katolik Roma hanya mengakui kekuasaan bangsa Latin-Franka atas Bizantium. [Bersambung]

*Pecinta buku, seni, dan kopi; penggiat pendidikan dan literasi.

Back to top button