Pengalaman Menghuni Penjara Cipinang* (6): Busel, Pengakuan Sel Atas Keberadaan Kita
Atau barangkali penyakit pun mengenal kasta. Dan kasta saya, ya segolongan saja dengan beberapa ‘abal-abal’ yang saya temui punya kebiasaan menjemur selangkangan di pinggir lapangan. Menatap matahari pagi, seolah mereka tentara Dai Nippon melakukan upacara Seikerei.
JERNIH–Penjara, sebagaimana sudah saya katakan, adalah tempat yang padat, sesak dengan manusia yang menghuninya. Hampir seluruh penjara di dunia-–kecuali barangkali di beberapa negara Eropa akhir-akhir ini– selalu merupakan tempat yang overload. Yang membedakan hanya persentase, tampaknya.
Termasuk Lapas Cipinang saat saya menjalani vonis. Pernah waktu saya berada di kantor Lapas karena suatu urusan, saya melirik data yang terpampang di whiteboard. Saat itu, Lapas yang berkapasitas tak lebih dari 900 orang itu dijejali hampir 4000 orang Napi.
Salah pihak penjara? Tidak juga. Mereka nyaris tak bisa menolak manakala lembaga lain satu kementerian meminta mereka menerima narapidana untuk menjalani putusan peradilan. Sementara demi keadilan, Pengadilan pun tentu harus secepatnya menjalankan proses peradilan bagi para tahanan yang ditangkap polisi dan diserahkan ke Kejaksaan. Sementara polisi, mungkin memang tugasnya menangkap orang, menyalurkannya ke Pengadilan. Terus begitu, nyaris sebuah lingkaran setan.
Kondisi padat sesak itu yang menjadi salah satu penyebab penjara pun bisa dibilang suaka berbagai penyakit. Bila orang-orang Amerika, yang dalam sebuah frase di lagu kebangsaan mereka,” The Star-Spangled Banner”, mengklaim AS sebagai “Home of the Braves”, maka penjara, rumah sementara yang kami tempati, mungkin bisa dibilang “Home of All Diseases”. Bahkan buat kalangan yang senang memakai kacamata kuda, barangkali kami—para napi, juga tak lebih dari “disease” itu. Semoga tidak.
Dengan variatifnya penghuni, baik asal daerah, kebiasaan hidup, adat istiadat, perangai dan kelakuan, maka penyakit yang ada, dalam arti yang diderita penghuni pun, ya “Nano-nano” juga. Segala ada. Mau lihat napi berpenyakit TBC? Ada! Siapa napi yang mengidap HIV-AIDS? Hadir! Adakah napi yang punya diabetes, sakit jantung, ayan-sekalor, demam berdarah, et cetera, et cetera? Siaaap! Panu? Di sini, itu sih sama wajarnya dengan melihat orang bertatoo.
Setiap hari, manakala waktunya gerbang masing-masing blok dibuka, di halaman sel karantina berjejer para penderita penyakit kronis yang harus masuk sel tersebut. Mereka berjemur bermandi matahari sebagai bagian dari kegiatan rutin yang diharuskan pada penghuni sel khusus tersebut. Satu dua penderita TBC yang tersisa (Ditjenpas punya program pemberantasan TBC) tampak begitu kurus dimakan kuman, membuat kami para napi yang sehat raga—kita tak bicara jiwa, tentu, trenyuh melihatnya.
Ruang gerak para penderita penyakit kronis itu lebih terbatas lagi, hanya di sel karantina dan halamannya, agar tak menulari yang lain. Jadi, gembok dan karengkeng mereka dobel; dari dunia luar dan dari sesama napi sendiri. Tetapi, ya bagaimana lagi?
Jadi, kalau sekadar kena panu sih, para napi pemiliknya sudah tak ada malu-malunya. Mereka woles saja bertelanjang dada tanpa pakaian jalan-jalan kemana-mana. “Lagian, yang kelihatan belang kan badan gua, bukan hidung gue!” Mungkin begitu yang ada di benak mereka.
Ada pemeo yang berlaku di penjara. Siapa yang belum kena sebuah penyakit, itu artinya dia belum diterima penjara dengan sepenuh hati. Belum dianggap sah sebagai napi, begitu kira-kira. Penyakit itu kami sebut ‘busel’, buduk selangkangan.
Entah apa yang menyebabkan busel. Awalnya saya anggap itu soal hygiene, kebersihan pribadi. Kurang bersih, jarang mandi, jorok, sekitar itulah. Tetapi manakala saya sendiri kena, saya mau tak mau harus bilang, entahlah apa penyebabnya.
Atau barangkali karena memang ada satu ‘kutukan’ yang seolah selalu mengikuti hidup saya. Setiap kali saya, baik hanya dalam hati, apalagi terucap, mengolok-olok suatu penyakit, dijamin pada “niti wanci nu mustari, ninggang mangsa nu sampurna”—pada saatnya, saya kena. Saat di SMA mengolok-olok teman sebangku yang kena ambeien, di semester 2 saat kuliah, eh, ‘belakang’ saya bermasalah. Begitu pula dengan satu dua penyakit atau sakit kecil lainnya kemudian.
Nah, di pekan-pekan pertama menghuni Cipinang, manakala sedang thawaf mengelilingi lapangan, pandangan saya terantuk beberapa orang yang seolah tengah menjemur—maaf, selangkangan mereka di sinar matahari pagi. Kebanyakan hanya mengenakan kolor olahraga. Mengapa saya langsung menduga yang dijemur itu bagian atas paha? Karena beberapa dari mereka yang mengenakan sarung, tampak jelas mengangkat sarung mereka cukup tinggi!
“Ngapain itu, Mas?” tanya saya kepada Jay. Dia melirik arah yang saya tunjukkan, tertawa pendek sebentar sebelum menjawab.
“Ah, itu orang-orang kena busel, buduk selangkangan. Biasa.”
Saya tertawa. Bukan menertawakan sebenarnya. Hanya istilah penyakit itu yang menggelitik syaraf tertawa saya. Busel, dengan kepanjangannya yang terasa menggelitik.
“Emang bisa sembuh, dijemur begitu?”
“Ya, nggak tahulah. Tapi setidaknya mungkin jadi hangat dan seger kena angin,” jawab Jay. Yang membuat saya kaget, Jay melanjutkan. “Jangan salah, Pak, kalau belum kena busel, itu artinya belum diterima sama penjara.”
Tentu saja saya tak percaya. Beberapa saat saya sempat menolak ‘keyakinan’ Jay tersebut. Saya malah bicara ini-itu seputar kebersihan tempat alias sanitasi dan kebersihan badan atau hygiene para napi.
Sampai suatu pagi, saat sarapan bersama yang kebetulan di sel kami, bukan di warung teroris, tanpa sadar saya menggaruk selangkangan saya. Jay melihat hal itu dan tertawa,” Ha ha ha, Pak Darmawan kena busel, tuh!”
Kontan semua penghuni sel melihat saya. Sebagian tertawa.
“Nggak apa, Pak, biasa. Itu artinya diterima sama penjara. Diakui sebagai warga,” kata Martono, tapi tetap saja dengan senyum-senyum di wajahnya.
Saya sendiri tak memandang urusan itu besar. Hanya jelas, mengganggu. Selalu tanpa sadar, entah tengah membaca, ngobrol, sesekali tangan menggaruk wilayah itu. Yang menyebalkan kala gatal itu datang di saat tengah berada di masjid besar, kegiatan yang kemudian menjadi rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Hanya terjeda waktu apel siang dan apel lepas ashar. Meski tak ada yang jelas-jelas bilang kepada saya tentang itu, saya merasa malu kalau-kalau seseorang memperhatikan manakala saya menggaruk tanpa sadar.
Urusan gatal itu cukup tertolong manakala Martono memberi saya sekaleng bedak merk ‘Snake Brand- Prickly Heat Powder’ buatan Thailand. Kini benda itu bagian dari ‘buah tangan’ dari Cipinang.
“Buat Bapak. Saya sih udah sembuh. Urusan busel juga,”kata dia. Saya yang tahu kondisi Martono, menolak diberi begitu saja. Saya memaksa membelinya. Giliran Martono yang kini menolak. Dia kukuh, bahkan. Akhirnya saya bilang, minta dia tak menolak saya bayari makan tiga kali di Kantin Tipe-3, kapan pun dia mau. Untuk tawaran itu, Martono tak lagi menolak.
Merasa ingin diobati lebih komplet, manakala istri datang bezoek mingguan, saya minta agar pekan depannya dibawakan salep chloramfecort. Saya bisa menggaransi mujarabnya salep ini untuk beberapa penyakit kulit tertentu.
Zaman SMA, saat kadang harus pakai celana dalam dengan mode pakai side A-side B, sempat saya kena urusan sejenis ini. Saat itu, sesuai bunyi iklan radio zaman itu buat salep sejenis, salep chloramfecort benar-benar ampuh dan jitu!
Oh ya, setelah relatif sembuh dari busel, saya selalu mempromosikan bedak Snake Brand dan salep Chloram, manakala rekan-rekan sesama warga Cipinang yang saya kenal terlihat menggaruk-garuk wilayah itu. Sayang sekali, saya lupa untaian kalimat yang saya susun hingga serupa iklan tv jadul itu. Intinya, kira-kira,“Bedak Snake Brand, teman sejati para Napi!”
Oh ya, saya tak begitu pasti apakah busel juga sempat diderita teman saya Setiyardi. Mungkin saja ya, mungkin juga tidak. Dia orangnya ‘jaim’. Kalau urusan mandi, jelas saya lebih baik. Di Cipinang pun saya mandi minimal tiga kali sehari: dini hari sesuai anjuran Bang Wawan sebagaimana resep yang amanatkan kiainya; tengah hari sebelum dhuhur sekalian menyegarkan diri, serta sore hari seperti normalnya warga lain. Itu belum termasuk mandi wajib, tentunya. Setiyardi tak punya kebiasaan itu.
Atau barangkali penyakit pun mengenal kasta. Dan kasta saya ya segolongan saja dengan beberapa ‘abal-abal’ yang saya temui punya kebiasaan menjemur selangkangan di pinggir lapangan, menatap matahari pagi seolah mereka tentara Dai Nippon melakukan upacara Seikerei pagi.
Soalnya, bila yang datang ke saya hanya sebatas busel, yang datang ke sahabat dekat satu kasus, satu perkara dan satu sel ini beberapa bulan kemudian, adalah penyakit kaum elit. Untung saja, Setiyardi berhasil melewatinya dengan baik. Sahabat saya ini dikunjungi stroke. [darmawan sepriyossa]
*Mulai Kamis, 31 Desember 2020, setiap hari–kecuali berhalangan, Jernih akan memuat tulisan pengalaman pribadi menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kami berharap pembaca memetik hikmah, atau setidaknya penulisnya bisa mengambil ibrah dari pengalamannya.