Pupujian, Tradisi Muslim Sunda yang Mulai Pudar
Tidak ada informasi pasti sejak kapan tradisi pupujian ini berlangsung. Yang pasti, tradisi ini bermula dari pesantren-pesantren, khususnya pesantren salaf. Di sini, sang kiai biasanya menciptakan teks pupujian atau nadom bersumber dari teks hadits, kitab suci Al-Qur’an, atau kitab-kitab karya para ulama.
Jernih — Banyak cara yang dilakukan para ulama untuk mensyiarkan agama Islam di Nusantara. Yang sudah jamak diketahui adalah cara kreatif Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan beberapa ulama besar lainnya dalam mensyiarkan agama melalui kesenian. Ulama-ulama di Tatar Sunda melakukan hal serupa dengan cara menciptakan dan melantunkan nadom atau pupujian.
Dalam tulisan Adit Gunawan berjudul “Puitisasi Ajaran Islam: Analisis Tekstual Nadoman Akhlak karya Kiai Muhyidin Limbangan (1903-1980)” yang dimuat di jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 1 tahun 2019, disebut bahwa nadom berasal dari bahasa Arab, nazam, yang dalam khazanah sastra Arab berarti puisi yang bersifat didaktis atau mendidik.
Khazanah kesusastraan Sunda mengenal istilah yang lebih umum untuk menyebut nadom, yakni pupujian. Adit Gunawan mengutip definisi pupujian dari Kamus Umum Bahasa Sunda (KUBS) sebagai berikut:
Kecap barang anu sok dipaké muji ka Allah atawa Rosululloh, 2) Kecap pagawéan ngedalkeun atawa ngalagukeun puji-pujian ka Allah ata ka Rosul-Na. (Kata benda yang digunakan untuk memuji Allah atau Rasulullah, 2) Kata kerja mengucapkan atau melagukan pujian-pujian kepada Allah atau kepada Rasul-Nya.)
Tujuan utama tradisi pupujian adalah agar ajaran agama Islam lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Adit menyebut bahwa dalam praktik di masyarakat, pupujian dapat dibagi menjadi enam jenis berdasarkan isisny, yaitu :
(1) memuji keagungan Allah; (2) salawat kepada Rasulullah; (3) do’a dan taubat kepada Allah; (4) meminta syafaat kepada Rasulullah; (5) menasehati umat agar melakukan ibadah dan amal shaleh serta menjauhi maksiat; (6) memberi pelajaran tentang agama, seperti keimanan, rukun Islam, fikih, akhlak, sejarah Nabi Muhammad, tafsir, Qur’an, ilmu gramatika bahasa Arab, dan lain sebagainya.
Tidak ada informasi pasti sejak kapan tradisi pupujian ini berlangsung. Yang pasti, tradisi ini bermula dari pesantren-pesantren, khususnya pesantren salaf. Di sini, sang kiai biasanya menciptakan teks pupujian atau nadom bersumber dari teks hadits, kitab suci Al-Qur’an, atau kitab-kitab karya para ulama.
Bahasa yang digunakan dalam pupujian adalah bahasa Sunda, Arab, atau percampuran keduanya. Teksnya biasanya ditulis menggunakan aksara (Arab) Pegon. Dahulu, santri-santri biasanya menulis sendiri teks yang dilantunkan sang kiai juga dengan aksara (Arab) Pegon.
Ketika teknologi percetakan mulai marak dan pupujian ini mulai disebarluaskan ke wilayah yang semakin luas, teks mulai dicetak dalam bentuk buku tipis.
Proses penciptaan teks ini dilakukan dengan beberapa cara. Ada yang dilakukan dengan cara menggubah teks referensi dalam bahasa Arab ke dalam bentuk puisi berbahasa Arab yang sesuai dengan kaidah nazam dalam kesustraan Arab kemudian digubah lagi ke dalam bentuk puisi bahasa Sunda sesuai dengan kaidah pupuh atau dangding.
Cara lainnya, teks referensi langsung digubah ke dalam bentuk puisi bahasa Sunda dengan tetap berpatokan pada kaidah pupuh dan dangding. Salah satu kaidah dalam sastra Sunda jenis tersebut adalah adanya jumlah suku kata atau guru wilangan dalam satu baris yang pasti.
Selain itu, dalam khazanah bahasa dan kesusastraan Sunda dikenal adanya istilah purwakanti yang berarti akhir kata memiliki bunyi pelafalan yang sama atau mirip dengan dengan kata lain baik dalam satu baris, bait, atau kesuluruhan puisi.
Salah satu contoh pupujian yang telah jarang dilantunkan adalah “Nadom Anak Adam” di bawah ini :
Anak adam di dunya téh keur ngumbara//hiji wanci urang téh bakal teu aya//anak adam di dunya téh moal lila//nyawa pasti dipundut ku Nu Kawasa//digogotong ku nu hirup//dipapagkeun ka kuburan//urang téh teu bebekelan//ngan boéh salapis pisan//rup ku padung rap ku lemah//taneuh baseuh jadi imah//dikubur téh poék pisan//nu nyaangan maca Qur’an//
Meski berasal dari teks tertulis, namun, ketika telah menjadi kebiasaan dan tradisi di masyarakat, pupujian semacam ini lebih dikenal sebagai tradisi sastra lisan. Hal ini dikarenakan praktik yang umum diketahui dan dilakukan dalam pupujian adalah melantunkanya pada waktu jeda antara adzan dan iqomah, bukan pada praktik menulisnya.
Suara-suara pupujian di mesjid, surau, atau langgar di pesedaan di Tatar Sunda kini tak lagi seramai masa dahulu. Pengurus mesjid lebih sering memutar rekaman murotal Qur’an sesaat menjelang sholat berjamaah daripada mengisinya dengan lantunan pupujian.
Anak-anak yang biasanya melantunkan pupujian ini ramai-ramai di mesjid lambat laun tidak lagi mengenal tradisi ini karena sibuk dengan berbagai kegiatan lain. Tetapi, di pesatren-pesantren salafi, pupujian atau nadom ini masih menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian para santri. Melantunkannya telah menjadi metode pengajaran tersendiri khas pesantren. [ ]