Rabi’ah Al-Adawiyah, Kisah Pertobatan dan Puisi-puisi Munajatnya
Karena berwajah cantik dan memiliki tubuh indah, tak jarang Rabi’ah pun turut menjadi penari penghibur di acara pesta pora yang diadakan majikannya.
JERNIH—Berbilang dari esa, mengaji dari alif, sebuah pepatah lama mengatakan. Selalu ada awal untuk segala sesuatu.
Sebelum mencapai derajat kezuhudan yang terkenal melampaui ruang dan waktu, hingga sampai kepada kita semua hari ini, kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah banyak menderita penderitaan dan kemalangan. Sejak kanak-kanak hidup miskin, belum lagi menginjak usia dewasa, perempuan bernama asli Ummul Khair itu harus berpisah dengan sang ayah, Ismail, untuk selama-lamanya.
Karena kebutuhan, Rabi’ah terpaksa harus bekerja sebagai pembantu kepada saudagar kaya yang berperilaku lalim. Malangnya, ia pun sering menjadi mangsa nafsu setan tuannya itu. Bukan sekali dua Rabi’ah menerima pukulan dan deraan manakala menolak melayani. Karena cantik dan memiliki tubuh indah, tak jarang Rabi’ah pun turut menjadi penari penghibur di acara pesta pora yang diadakan majikannya.
Namun, kehidupan Rabi’ah berubah, berawal dari sebuah perjumpaan. Usai menari, seorang ulama sufi tak dikenal mendekati Rabi’ah al-‘Adawiyah. Ia pun berbisik pelan tentang kehidupan kekal dan abadi setelah ini. Diingatkanya pula akan keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa serta perjumpaan setiap hamba kepada-Nya tanpa membawa apa pun kecuali perbuatannya sewaktu di dunia.
Teguran itu menyadarkan Rabi’ah al-Adawiyah dari tidur panjangnya selama ini. Saban hari direnunginya perkataan sufi itu. Hingga akhirnya Allah meniupkan Nur Ilahi ke lubuk hatinya yang paling dalam.
Sepenuh tekad, Rabi’ah berjanji tidak akan mengulangi lagi segala jenis laku maksiat yang pernah ia lakukan, meski terpaksa. Rabiah bahkan siap menanggung siksaan demi siksaan untuk tetap konsisten (istiqomah) pada sikapnya.
Kini ia menapaki terminal pertama dalam ajaran tasawuf, yaitu taubat nasuha, sembari dibarengi membersihkan hati dari noda lahir dan batin. Walaupun berulangkali tubuhnya dihajar hingga babak belur dan siksaan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Namun, semuanya ia terima. Sama sekali tiada satu pun bujukan majikannya mampu mempengaruhi keimanannya yang kini tegak, berdiri kokoh.
Akibat sikapnya yang tegas, Rabi’ah al-‘Adawiyah dijebloskan ke dalam gudang kumuh penuh kotoran. Tapi, ia justru amat bersyukur, karena dengan begitu ia bisa leluasa beribadah dan bermunajat kepada Allah sampai pagi tiba. Tiap kali kerinduannya kepada Allah membuncah tak terbendung, ia pun menyenandungkan munajat-munajat sarat makna.
Sejarah mencatat beberapa syair yang memilukan dan menyentak hati setiap pecinta itu:
“Ilahi. Sesudah aku mati. Masukkanlah diriku ke dalam neraka. Dan jasmaniku memenuhi seluruh ruangan neraka. Sehingga tidak ada orang lain yang dapat dimasukkan kesana.”
“Ilahi. Bilamana aku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Bilamana aku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga. Maka tutuplah pintu surga selamanya untukku…
Tetapi, bila diriku menyembah-Mu karena Dikau semata. Maka jangan larang diriku untuk menatap keindahan-Mu yang abadi…”
“Ilahi, apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada kekasih-kekasih-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku.”
“Ilahi, segala upaya keinginanku, kesibukanku dan kesenanganku di dunia ini adalah hanya untuk mengingat-Mu. Dan segala hal yang akan datang di akhirat nanti hanyalah untuk menemui-Mu. Inilah diriku yang sebenarnya, sebagaimana yang telah kunyatakan ; sekarang, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki.”
“Aku mengenal cinta
Sejak aku mengenal cinta-Mu
Hatiku telah terkunci bagi selain-Mu
Aku selalu siap mendesahkan nama-Mu
Duhai, kau Yang Melihat
Seluruh rahasia-rahasia setiap hati
Sedang aku yang tak bisa menatap wajah-Mu”
“Duhai kegembiraanku
Duhai rinduku,
Duhai tambatan hatiku
Duhai manisku,
Duhai Nyawaku, duhai Dambaanku
Engkaulah Ruh Jiwaku,
Engkaulah Harapanku
Engkaulah Manisku
Rasa Rinduku kepada-Mu adalah nafasku”
“Duhai Engkau, andai aku tanpa-Mu,
Duhai hidupku,
Duhai Manisku
Aku tak kan menyusuri jalan terbentang di pelosok negeri-negeri
Oh. Betapa banyak anugerah, kenikmatan dan pertolongan-Mu”
“Tetapi kini cinta-Mu lah dambaanku, dan keindahanku
Dan pandangan Mata-Mu kepadaku adalah dahagaku
Tanpa-Mu hidupku tak bergairah
Bila Engkau rela,
Duhai dambaan jiwaku”
“Aku mencintai Mu dengan dua cinta
Cinta karena hasrat diriku kepada-Mu
Dan cinta karena hanya Engkau yang patut dicinta
Dengan Cinta hasrat, aku selalu sibuk menyebut nama-Mu
Dengan Cinta karena Diri-Mu saja,
Dan tidak yang lain
Itu karena aku berharap Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu
Biar aku bisa menatap-Mu seluruh
Tak ada puja-puji bagi yang ini
atau yang itu
Seluruh puja-puji untuk-Mu saja”
Rabi’ah al-‘Adawiyah wafat di usianya yang ke-86. Basrah adalah tempat dirinya lahir dan dikebumikan. Ketika di pembaringan, dia menolak segala jenis pengobatan dari siapa pun. Yang ia butuhkan hanya penerimaan dari Allah SWT akan shalat dan amal ibadahnya.
Fariduddin Aththar menulis, sebelum mangkat menjumpai Sang Kekasih, di pembaringannya Rabi’ah berkata,”Mohon pergilah dulu kalian semua dari sisiku. Kosongkanlah ruangan ini khusus untuk Baginda Rasulullah SAW,” kata dia meminta.
Maka semua yang melayat pun beranjak keluar dari kediaman Rabi’ah. Sejurus kemudian, mereka semua mendengar suara dari dalam rumah.
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (QS al-Fajr 27-28).
Dengan rasa penasaran, orang-orang bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Namun, mereka mendapati bahwa Rabi’ah al-Adawiyah telah berpulang dengan damai. [dsy]