Robot-Proof: Kenali Diri untuk Menyintas di Era Robot
Pendidikan konvensional atau pun pemberian pendidikan teknis, tidak akan cukup untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang ‘robot-proof’, istilah untuk menandai amannya seseorang dari tergantikan mesin atawa robot
JAKARTA— Barangkali, sekali pun hidup adalah dinamika yang kadang tak terduga, ada beberapa hal yang konstan adanya. Misalnya hikmah yang keluar dari lisan Socrates,”Kenalilah dirimu sendiri.” Atau lebih dalam lagi apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW,” ‘Man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu. Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.” Konstan, karena hikmah itu kebenarannya terbukti melintasi ruang—orang Arab, Cina, Indonesia, pun Suku Indian Tarahumara bisa membenarkan itu– bahkan waktu, karena abad dan milenia pun terlangkahi hikmah tersebut.
Penulis teringat hikmah tersebut seiring alternative solusi yang diajukan Profesor Joseph Aoun, rektor Northeastern University, seiring kian pesatnya perkembangan intelegensi artifisial atau kecerdasan buatan (artificial intelligence/ai). Kita akan sampai pada pembahasan hal itu, nanti.
Yang jelas, tak sedikit orang mulai kuatir manakala mobil tanpa sopir sudah mulai berlalu Lalang di jalanan. Kian banyak pekerjaan yang mulai digantikan mesin manakala robot telah mampu naik tangga dengan elegan, bekerja di pabrik-pabrik, menemukan tempat parkir, menganalisis saham, bahkan memberi saran kepada para profesional semisal ahli hukum. Kekuatiran yang wajar, karena belum sampai satu dasa warsa lalu kita pun menemukan para perempuan tamatan SMA mengeluhkan kemungkinan tak lagi ada pekerjaan sebagai penjaga gerbang tol.
Padahal, pekerjaan sebagai penjaga gerbang jalan tol sendiri belum lama datang, baru sekitar 1990-an, yang saat itu bahkan dibuat mentereng dengan adanya iklan tablet hisap Xon-ce yang dibintangi Elma Theana. Kenyataan saat ini, pekerjaan tersebut punah digantikan kartu e-toll sebagai bagian dari kedatangan teknologi baru.
Sama seperti kekuatiran kakek kita di masa lalu dengan adanya otomatisasi yang dianggap sebagai ancaman bagi tenaga kerja berketerampilan rendah. Sebagaimana pula kekuatiran para pemilik dan pekerja gilda atau home industry di Inggris di awal terjadinya Revolusi Industri.
Persoalannya, pada titik seperti itu, apa yang bisa diharapkan atau setidaknya apa yang bisa dilakukan perguruan tinggi dalam mendidik generasi mahasiswa di era ini? Dalam ‘Robot-Proof : Higher Education in the Age of Artificial Intelligence’, Prof Aoun menegaskan, universitas harus memikirkan kembali bagaimana mereka mempersiapkan siswa untuk dunia di mana kemajuan teknologi terus mengubah lanskap tempat kerja— dan membuat banyak pekerjaan konvensional menjadi usang.
Hanya melakukan apa yang saat ini terjadi, yakni pendidikan konvensional atau pun pemberian pendidikan teknis, tidak akan cukup untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang ‘robot-proof’, istilah untuk menandai amannya seseorang dari tergantikan mesin atawa robot.
“Dalam pendidikan tinggi,” kata Prof Aoun, “Kita telah menciptakan dikotomi yang salah, antara belajar untuk hidup dan belajar untuk mencari nafkah.” Apa yang dirinya minta, kata Aoun, adalah untuk memecah silo antara literasi seni liberal dan literasi teknologi.
Dalam ‘Robot-Proof’, Prof Aoun menyarankan perguruan tinggi dan universitas untuk menambahi tawaran pendidikan konvensional mereka dengan tiga komponen baru. Yang pertama adalah kurikulum yang ia sebut “pendidikan robot-proof”. “Bidang robotika menghasilkan generasi mesin paling maju dalam sejarah, jadi kita membutuhkan bidang disiplin yang dapat melakukan hal yang sama bagi manusia,” kata dia.
Aoun mengatakan, bidang baru ini–yang dia sebut “humanics,” mengharuskan siswa menguasai literasi teknis, atau memahami mesin dan bagaimana mereka berfungsi; literasi data, atau memahami produk dari mesin tersebut; dan literasi manusia– “domain di mana mesin tidak dapat bersaing dengan kita, yaitu kemampuan untuk menjadi kreatif, berwirausaha, lincah secara budaya, berwawasan global, dan sebagainya.”
Komponen kedua adalah pembelajaran berdasarkan pengalaman— pikirkan koperasi dan magang — yang akan mempersiapkan siswa untuk mengambil tanggung jawab pekerjaan. Aoun telah menjadi pendukung kuat cara ini di Northeastern yang telah dipimpinnya sejak 2006; dengan data 97 persen mahasiswanya memanfaatkan program koperasi sebelum lulus.
Komponen ketiga adalah komitmen untuk memberikan kesempatan belajar seumur hidup. Banyak pengusaha telah menganut gagasan memperluas pendidikan jauh melampaui tahun-tahun kesarjanaan, dan Aoun percaya universitas harus melakukan pula hal itu.
Bagian penting dari mempersiapkan manusai masa depan adalah memberi mereka alat yang akan membantu mereka beradaptasi terhadap perubahan. Aoun mengatakan, dirinya menemukan bahwa siswa hari ini telah menemukan jawabannya. “Ketika saya mulai memikirkan buku dan tulisan itu, saya mulai berbicara kepada para mahasiswa, dan yang membuat saya senang dan terkejut, revolusi AI dan mesin-mesin pintar dan robot — mereka sudah memikirkannya. Mengapa? Karena mereka tahu mereka akan menjalaninya,”katanya. “Jadi melalui berbagai percakapan dengan para siswa, saya sadar bahwa dalam beberapa hal, mereka ada di depan kita semua. Mereka maju karena mereka menyadari bahwa mereka memasuki dunia baru ini.”
Oh ya, hampir luput. Di mana hikmah Socrates dan Nabi Muhammad yang sempat saya ulas, bahkan di awal? Pada sisi ketiga literasi yang ditawarkan Aoun, yakni literasi manusia. Aoun percaya, mereka yang seksama memperhatikan dirinya—melihat ke dalam, menggali bakat, peluang, sisi keutamaan dan kelemahan, dan lain-lain, akan sangat mungkin menjadi manusia ‘robot-proof’. Mereka yang mengenal dirinya, mengenali segalanya, bahkan Tuhannya. [dsy ]
‘Robot-Proof : Higher Education in the Age of Artificial Intelligence’
ISBN: 9780262037280
216 hal. MIT Press, 2017 (cetakan pertama)