POTPOURRI

Rock N Roll Mom: episode 2

Pengantar:

Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.

Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.

Ketika putra kedua kami itu bertumbuh, tidak pernah sedikit pun kami merasa kecewa ketika anak itu berkembang tidak sebesar idola bapaknya. Sejak kecil Bimo yang kami panggil dengan sebutan sayang ‘Bimbim’ itu  memang susah makan. Ketika usianya baru tiga tahunan, aku bahkan harus meluangkan waktu tak pernah kurang dari satu jam untuk menyuapinya setiap kali makan.

Selain tak pernah lahap, ia juga cenderung pemilih dalam soal makanan. Kebiasaan itu berlanjut hingga masa-masa pertumbuhannya, SMP-SMA. Wajar bila badannya pun tak pernah gemuk. Bimbim cenderung langsing, untuk tidak mengatakannya berbakat kurus. Keluarga kami sangat menyayanginya

“BUNDA, ini bagaimana?” kata Iwan, seorang staf manajemen Slank, band yang dimotori putraku, menatapku. Aku terperanjat bangun dari lamunan. Kutatap Iwan, tak pernah wajahnya sekhawatir itu.

Sadar tak ada gunanya diam menonton tragedi itu berlangsung, segera kutinggalkan anakku. Dari sebuah lemari kecil pengganti minibar yang biasa terdapat di hotel-hotel besar, kuambil sekantung kecil teh celup. Lubuk Linggau, kota tempat hotel ini berada  bukanlah kota besar yang memiliki hotel berbintang lima. Tapi dibandingkan dengan tidur dalam bus selama perjalanan tur kami ini, apa yang disediakan hotel ini jelas sudah lebih dari cukup.

“Ini, minumlah,” aku berbisik ke telinga anakku. Kelopak mata Bimbim membuka sebentar sebelum ditutupnya lagi.

“Minumlah, teh hangat. Baik buat kamu, Bim.” Aku menyorongkan mulut cangkir ke tepi bibir Bimbim setelah sebelumnya meminta bantuan Ridho—gitaris dalam keanggotaan Slank–menegakkan punggungnya bersandar ke kursi.  

Ogah-ogahan Bimbim membuka mata. Dengan gerak yang lamban perlahan bibirnya terangkat, mulutnya sedikit terbuka. Aku miringkan cangkirku, memastikan cairan manis kental itu meluncur melewati bibirnya. Awalnya ia menyeruput, tetapi seolah mengalami kehausan yang sangat, seluruh isi cangkir itu segera diteguknya tandas.

“Lagi, Bunda,” Bimbim meminta.

Matanya tetap setengah terpejam. Aku memang membiasakan anak-anakku memanggilku bunda sejak mereka belajar bicara. Panggilan untuk ibu yang saat itu dirasa tidak biasa. Dibandingkan mama, mamah, ibu, misalnya, ketika itu panggilan bunda memang sedikit di luar kebiasaan.

Cangkir kedua pun masih diminumnya dalam tegukan-tegukan besar yang cepat. Baru ketika cangkir ketiga disodorkan, Bimbim menyeruputnya sebentar sebelum mengangkat tangan, mengisyaratkan bahwa dirinya merasa cukup. Lambaian yang lunglai.

“Bunda, boleh kan kami berangkat ke Jakarta duluan? Kita ketemu di Bandung waktu show. Sama Kaka, pakai pesawat terbang?” Bimbim bertanya. Lemah dan putus-putus, meski tetap jelas kudengar.

Setelah Lubuk Lingau, Bandung merupakan kota yang harus kami singgahi dalam tur ke 30 kota ini. Sudah hampir tiga perempat perjalanan dari seluruh rangkaian tur. Berat juga sebenarnya mendatangi satu persatu kota yang terjadwal dalam tur dengan bus. Bahkan meski interior bus itu telah sedikit mengalami perubahan untuk sedikit kenyamanan dalam perjalanan. Meski tidak senyaman kamar tidur di rumah, kasur yang kami bawa banyak menolong personel Slank dan semua yang tergabung dalam tur dari perjalanan berat seperti ini.

Berangkat duluan dan meninggalkan kami,–bahkan aku, ibunya,  menjalani perjalanan  darat puluhan jam lamanya menuju Jawa Barat? Masih berfungsi baikkah telingaku yang mendengar usulan anakku itu?

Aku tidak segera menjawab. Kupandangi Kaka yang sejak awal kejadian ini telah berada di pojok ruangan, menyendiri. Kaka yang mengalami kecanduan yang sama dengan Bimbim sejak dua jam lalu, bersedekap menahan dingin akibat tuntutan tubuhnya akan barang maksiat itu. Hanya dibandingkan Bimbim yang seolah meregang nyawa, Kaka terlihat lebih baik.

Kondisi Kaka itulah yang menolong Slank dari bencana, satu jam lalu. Sesuai rencana, seharusnya Slank melakukan wawancara dengan beberapa wartawan, usai konser. Namun sebelum wawancara digelar, Bimbim, Kaka dan Ivanka ambruk duluan. Tubuh mereka menagih jatah harian putaw yang telah tandas tak tersisa dua hari sebelumnya. Saat itulah aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri betapa jahatnya benda itu memunculkan adiksi.

Khawatir memunculkan persoalan yang lebih besar, Kaka berinisiatif menghadapi para wartawan, dibantu Ridho dan Abdee. Beberapa pertanyaan bisa dijawab Kaka dengan lancar, namun selebihnya, hingga akhir acara ia lebih banyak diam tertunduk. Abdee dan Ridholah kemudian yang ketiban kewajiban menjawab semua pertanyaan para jurnalis musik itu.    

Tetapi kini, seiring makin kuatnya sel-sel yang telah teracuni di tubuhnya menagih, wajah Kaka pun tak banyak berbeda. Berkeringat, namun pucat lesi. Tak ada sedikit pun bias darah di wajahnya. Seolah, semalaman penuh ia telah bercengkerama dengan drakula.  Celong hitam di seputaran mata yang tak berbeda, tubuh kering yang juga serupa. Meski tengah menggigil, sekejap bola mata Kaka berbinar mendengar usul Bimbim.

“Di sini tak ada bandar udara, Nak,” kataku, mencari alasan. Aku tahu alasan utama Bimbim dan Kaka berpisah dari rombongan. Mereka tak kuat lagi berjalan tanpa putaw. Bekal yang mereka dapatkan dari seorang bandar narkoba di Jakarta licin tandas dihabiskan selama hari-hari perjalanan. Bagaimana tidak, bila sebelum dan sesudah manggung pun mereka tak lupa make 

Hatiku tentu saja menjerit. Tetapi selama aku tak bisa memergoki mereka, atau menemukan barang haram itu diantara aneka keperluan sehari-hari yang mereka bawa, aku merasa belum cukup bukti. Kalau melarang mereka memakai, sejak pertama kali kutahu Bimbim seorang pemakai pun, pada 1996, berkali-kali kutegaskan itu. Kejadian itu pula yang membuat diriku memutuskan untuk ikut kemanapun anak-anakku pergi manggung. Dari tour ke tour. 

Aku tahu arah usulan Bimbim. Segera setelah lepas dari diriku, manajer sekaligus ibunya, mereka berdua atau bertiga karena besar kemungkinan Ivanka pun turut serta, akan ngelayap mencari putaw. Ini memang kota yang masih asing buat mereka. Tetapi dengan bantuan para Slanker yang mengidolakan mereka, urusan seperti itu tak akan susah-susah amat. Bahkan sebenarnya mungkin lebih gampang dari itu. [bersambung]

Back to top button