Rock N Roll Mom : episode 7
Pengantar:
Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.
Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.
Setahun sebelumnya Slank baru saja meluncurkan album kelima, Minoritas . Kaset dengan hits lagu “Bang-bang Tut” itu diterima antusias oleh pasar. Waktu itu aku belum sadar apa yang terjadi dengan anak-anakku.
Hanya, makin hari kulihat tubuh mereka kian kering. Kurus yang jelas tidak sehat. Ada banyak orang kurus. Dijejali makanan seberapa banyak pun, tetap saja langsing. Tetapi umumnya kurus yang seperti itu terlihat liat, pejal, dengan kulit memancar sehat. Anak-anakku, Bimbim, Kaka dan personel Slank lainnya saat itu Parlin Burman Siburian alias Pay, Bongky Ismail Marcel dan Indra Qadarsih atau Indra Q, tak kulihat seperti itu.
Yang lebih parah, disiplin mereka pun kacau, seolah tak ada lagi ikatan yang mengatur mereka. Ke dalam sebagai personel band, apalagi memikirkan bahwa mereka pun terkait berbagai kontrak bisnis dengan produser rekaman dan para pebisnis dunia hiburan. Tapi untuk berpikir ke arah narkoba sebagai biang kerok, tak sedikit pun saat itu tersirat.
“Mungkin mereka agak lupa dan mabuk publisitas karena kaset-kaset dan show mereka selalu meledak,” pikirku.
Masalahnya, aku melihat lupa diri itu mulai terasa keterlaluan. Bayangkan, bagaimana bisa latihan bila seharian—dari subuh hingga malam hari–Bimbim kerjanya hanya mengurung diri di kamar? Begitu pula Kaka. Kalaupun datang, ia hanya sekelebat terlihat sebelum tubuh kurusnya masuk kamar Bimbim.
Lalu hingga malam menjelang, bahkan pagi berikutnya, tak pernah lagi pintu itu terbuka. Kadang aku harus menggedor paksa untuk meminta mereka makan. Tak selalu cara itu berhasil.
Kalaupun awak-awak Slank kebetulan bisa berkumpul, saat itu pun aku mulai mencium ketidakberesan. Kalau bicara, kini setiap pihak terasa sekali tengah menyindir yang lain. Kalaupun pas bertemu dan bisa latihan bareng, alih-alih menyatukan ide membikin lagu dan lirik, mereka malah saling sindir. Bukan sekali dua aku mendengar Bimbim dan Kaka mengolok-olok Parlin Burman, yang akrab dipanggil Pay. Begitu pula terhadap Bongky dan Indra Qadarsih, pemain keyboard Slank. Pay, Indra, bersama Bimbim, Bongky dan Kiki, adalah formasi ke-13 Slank yang terbentuk sejak Slank lahir, 1983 lalu. Bongky bahkan merupakan salah seorang personel sejak awal terbentuknya Slank.
Saat itulah aku dibisiki seseorang bahwa anak-anakku—semua awak Slank itu–sudah tergolong pecandu berat putaw.
Ini mungkin metafora yang klise, tapi itu yang terjadi padaku: aku serasa disambar geledek. Lunglai tak bertenaga. Serasa seluruh tulang dan kerangka di tubuhku dilolosi, hingga badanku tak ubahnya onggokan daging semata. Aku ingat betapa saat itu harus mencari kursi atau sandaran apapun untuk duduk. Bagaimana mungkin aku, ibu yang setiap hari bergaul dengan mereka, dan mereka pun tak pernah keluar rumah terlalu lama, sampai bisa kebobolan sebegini parah? Ya Tuhan.
Awalnya tentu saja ingin kulabrak anak-anakku. Aku hendak mempertanyakan sikap mereka yang begitu tega bermain kucing-kucingan, malah membohongiku sekian lama. Tetapi kelelahan batin yang membuatku harus terduduk lunglai, tampaknya juga turut membantu akal sehatku.
Kutarik nafas panjang satu satu. Apakah pada tempatnya aku memarahi mereka, apalagi habis-habisan, sementara bukankah sebenarnya mereka ini tak lebih dari korban? Meski memang korban kepenasaran mereka sendiri untuk mencoba obat itu pada awalnya, tak layak untukku—apalagi ibu mereka—untuk justru mempertanyakan hal itu.
Tentu saja benar, mereka bersalah. Memakai, terjerumus dan entah seberapa lama telah membohongiku. Tetapi hanya menyumpahi kepenasaran mereka yang kini justru terkapar sebagai korban, ya Tuhan, aku bukan jenis orang tua seperti itu. Aku bukan orang yang senang mencari kambing hitam, apalagi blamming the victim.
Aku bukan jenis orang, atau mungkin lebih tepat jenis makhluk sebagaimana ditulis dalam fabel Aesoph. Ada seekor srigala yang berhasrat atas anggur ranum yang dilihatnya. Tetapi berkali ia mencoba, srigala itu tak juga berhasil mencapai anggur tersebut.
Srigala itu akhirnya pergi sambil mendengus,” Ah, anggur masam.”
Aku yakin bukan orang tua dari jenis itu. Orang tua yang kadang lebih senang mencari siapa yang patut disalahkan—bahkan kalau perlu anak sendiri–daripada mengupayakan dan mencari penyelesaian terbaik dari apa yang telah terjadi. Bagiku, sikap itu, alih-alih membawa kita pada solusi, malah memunculkan korban baru: pihak yang sebetulnya menjadi korban persoalan itu. Argumentum ad hominem, begitu yang aku baca dari sebuah artikel. Sikap yang cenderung justru menyalahkan si korban.
“Aku akan marah,” pikirku. “Tetapi bukan saat ini, ketika mereka justru perlu dukunganku.”
Jadi inilah ternyata biang keroknya. Putawlah yang membuat para personel Slank jadi paranoid, sensitif, tertutup, gampang marah dan saling curiga.
Info itu bahkan akhirnya membuatku punya akses untuk menguping kanan kiri dan bertanya kepada para kru yang selama ini terlibat dengan Slank. Dari seorang jadah* kudapatkan cerita ini.
Ketika manggung di Medan, Indra tak membawa persediaan putaw yang cukup. Tubuhnya yang menagih dirasanya sangat sakit. Mencari putaw di Medan pada tahun 1996 bukanlah perkara gampang. Mungkin saja bahkan tidak ada. Merasa senasib sepenanggungan, Indra pun meminta barang itu kepada teman-temannya. Jawaban yang didapatnya singkat saja: tak ada.
Itu membuatnya terpukul, sakit hati. “Pelit amat sih. Ntar juga gua bales,” pikirnya. Indra malam itu harus manggung dengan menahan rasa sakit.
Jelas sudah, benda itu telah menjadi biang kerok berbagai persoalan di Slank, bahkan menjadi penyebab tidak langsung bubarnya kelompok itu di kemudian hari. Satu hal yang tak seorang pun akan menyangkanya, saat Putri Putih itu mulai datang ke kehidupan Slank 1993 lalu.
Sebagaimana kukatakan, Putri Putih itulah yang akhirnya membuat Slank yang terdiri dari Bimbim, Kaka, Indra, Bongky dan Pay itu bubar. Pecah begitu saja. Kecuali Bimbim dan Kaka, semua memang kulihat mulai asyik dengan dunia mereka sendiri-sendiri, selain make. Banyak yang harus dikerjakan Slank seiring kontrak dan uang muka album yang sudah dibayarkan. Dan mereka tak mampu melakukan itu hingga bubarnya formasi tersebut.
Di masa-masa pelik itulah dua personel baru Slank masuk. Reynold memegang gitar menggantikan Pay. Aku tak pernah tahu nama lengkap Reynold hingga kini. Bersamaan dengan Reynold, Ivan Kurniawan Arifin, ngetop dengan nama Ivanka, bergabung untuk membetot bas. Saat itulah Slank meliris album yang sesuai dengan kondisi internal saat itu, ‘Lagi Sedih’ dengan hits “Tonk Kosong” dan “Foto dalam Dompetmu”.
Dari album-album lainnya, album inilah yang menurutku paling disenangi Bimbim. Ia bisa membuktikan, paling tidak pada dirinya sendiri bahwa Slank mampu bertahan sekalipun ditinggalkan para personel lainnya.
Saat itu untuk memanajemeni Slank aku dibantu Illa, putri bungsuku, adik Bimbim. Slank dengan formasi baru itu mampu bertahan, bahkan kembali mengumpulkan penggemar, para Slankers yang sempat terserak. Ivan sampai saat ini masih bertahan di Slank. Sementara Reynold, ia hanya ikut sampai akhir tahun 1996. Aku tahu, ia tidak sanggup mengikuti Slank yang masih pada pakaw, ketagihan putaw. Reynold memang terkenal alim.
Permintaan berhentinya memang sempat membuat kami kalang kabut. Ia minta berhenti saat kontrak untuk main di Bandung sudah ditandatangani. Aku dan segenap penghuni Potlot 14 kelabakan mencari pengganti. Untunglah Lulu, adik Gugun Gondrong mendapatkan Ridho. Bahkan lebih dari itu karena ternyata Ivanka pun menemukan calon personel baru, Abdee. Keduanya langsung kami rekrut.
***
AKU tak ingin apa yang kami alami bersama Reynold terulang kembali saat ini.
“Kalau kamu datang untuk minta keluar, Rid, terus terang Bunda tidak akan pernah mengizinkan.” kataku tegas.
“Bunda perlu kamu. Bukan hanya untuk mengisi tempat di Slank. Bunda justru perlu kamu untuk mengembalikan Bimbim, Kaka dan Ivan ke kesembuhan, lepas dari ketergantungan ke obat.”
“Tapi…”
“Kita akan berusaha bersama. Kali ini mungkin harus lebih tegas, lebih keras. Bunda yakin kamu mau membantu kalau memang cinta Slank, cinta para Slankers.”
Aku yakin apa yang kuutarakan tepat mengenai ulu hati kepedulian Ridho. Ia terdiam, dan sejurus kemudian bangkit sambil menyodorkan tangan.
“Deal, Bun,” katanya.
Aku tersenyum, menjabat tangan itu erat-erat. Betapa kuatnya genggaman tangan Ridho.
Setelah pintu kamar kembali tertutup, aku tercenung memikirkan perbincangan barusan. Apa yang Ridho katakan benar adanya. Bimbim, Kaka, Ivan, dan pada dasarnya Slank, memang sudah waktunya berubah. Mungkinkah inilah saatnya untuk membelokkan arah, memutar cerita tentang Slank yang—meski masih sepoi-sepoi– aku dengar mulai kurang elok didengar telinga?
Inikah waktunya aku bertindak lebih keras kepada Kaka, Bimbim, Ivan? Aku tahu, ini pekerjaan yanhg teramat sulit. Bahkan untukku yang bergaul sangat dekat dengan mereka. Barangkali. Karena kalau aku tetap mengulur-ulur waktu, benar kata Ridho, aku tak tahu kapan dan dimana titik kasip itu sebenarnya berada. Titik saat apapun yang aku dan semua yang mencintai Slank, tak lagi mampu mengubah apa yang terlanjur.
Ada titik kasip dalam diri manusia, aku yakini itu sejak muda. Titik irreversible. Saat dimana seorang sudah merasa lumutan untuk kembali menapak cara dan jalan yang seharusnya. Keyakinan yang sama tampaknya juga dipegang para pendahulu, nenek moyang kita. Kalau tidak, mana mungkin kita menemukan frasa ini: tempalah besi selagi panas, didiklah anak terutama ketika mereka masih kecil.
Kupejamkan mata dengan bibir menyungging senyum. Malam itu aku merasakan tidur yang begitu tenang, yang tidak pernah kurasakan dalam dua tahun terakhir ini.
*** [bersambung]