Romantika Cikawali, Toponimi Kawali yang Tinggal Kenangan
Ciamis — Desa Kawali, Kabupaten Ciamis merupakan pemukiman yang memiliki kedudukan penting bagi sejarah sunda karena pada abad 14-16 M wilayah ini pernah menjadi ibu kota kerajaan sunda galuh. Bahkan Kawali di masa klasik menjadi periode tersendiri dalam pembabakan sejarah di Jawa Barat.
Eksistensi Kawali sebagai pemukiman sudah ada sejak kerajaan Galuh merdeka abad 8 M. Sumber-sumber yang menyiratkan eksistensi Kawali di abad 7 M diantaranya Naskah Carita Parahyangan dan kisah Ciung Wanara yang menjadi folklor popular di Ciamis.
Dalam folklor Ciung Wanara, Kawali berasal dari kata kuali yang ditendang oleh Aria Kebondan setelah menguji kesaktian Ajar Sukaresi yang dianggap salah menebak perut kedua orang istrinya, Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep yang disuruh pura-pura hamil dengan menempatkan kuali diperutnya.
Kuali tersebut terlempar jauh sampai akhirnya mendarat di suatu tempat yang kini dikenal sebagai Cikawali. Dari cerita Ciung Wanara itu diketahui bahwa toponimi Kawali bersumber dari Cikawali yang merupakan mata air keramat di Situs Astana Gede yang kelak berkaitan erat dengan kerajaan Sunda Galuh Kawali.
Arya Kebondan dikenal pula bernama Tamperan Barmawijaya, dalam naskah Carita Parahyangan ditulis Rahyang tamperan. Ia adalah putra Sanjaya yang ditugaskan mewakili kekuasaan ayahnya di Kerajaan Galuh yang saat itu dirajai oleh Permana Dikusumah alias Ajar Sukaresi.
Sesuai dengan toponimi Kawali, mata air Cikawali memiliki bentuk fitur seperti kuali atau kancah. Bagian fitur itu melingkar itu dari bagian utara, barat dan selatan, sedangkan bagian timurnya merupakan celah untuk jalan setapak sekaligus selokan kecil yang mengalirkan air Cikawali ke sungai Cibulan.
Naskah Carita Parahyangan tidak langsung menyebut Kawali. Namun naskah itu menyebut nama Prabu Maharaja dan Prabu Niskalawastukancana. Prabu Maharaja dalam naskah lainnya seperti naskah Negarakertabumi karya Pangeran Wangsakerta adalah Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.
Sedangkan Prabu Niskalawastukancana, namanya tertera dalam prasasti Kawali I dengan nama Prabu Wastu. Demikian pula nama kawali sebagai ibukota kerajaan Sunda Galuh termaktub dalam Prasasti Kawali 1 : nihan tapa kawali ,nu sang hyang mulia tapa bhagya parĕbu raja wastu mangadĕg di kuta kawali.
Namun gambaran Kawali sebagai wilayah pemukiman setidaknya sudah tersirat sejak abad 11 Masehi. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan nama Sang Mokteng Winduraja yang merujuk kepada Prabu Darmaraja (1042-1065 M). Winduraja adalah desa di Kecamatan Kawali.
Kawali menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh dimulai dari Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340 M) sampai Prabu Jayadiningrat (1501 – 1528 M). Peranan Cikawali sebagai tempat sakral yang berkaitan erat dengan situs Astana Gede tetap terpelihara sampai masa Islam.
Sampai tahun 1980, banyak mitos yang dilakukan masyarakat Kawali di Astana Gede. Seperti mengangkat batu penobatan, menunjuk huruf ‘sa’ (sunda kuno) di Prasasti kawali II dengan mata terpejam, atau mengelilingi Prasasti Kawali IVsebanyak tujuh kali sambil menahan nafas. Mitos-mitos tersebut terkait dengan hajat dan keinginan agar dapat terkabul.
Demikian pula di Cikawali, Setiap hari lebaran mata air ini banyak diziarahi warga Kawali. Para pengunjung biasanya melempar uang koin ke dalam kolam. Ketika kolam Cikawali dibersihkan, banyak ditemukan koin-koin uang lama.
Berdasarkan data Komunitas Sejarah Tapakkaruhun yang pernah mengukur fitur Cikawali tahun 2013, diketahui lingkaran Cikawali adalah 15,7 meter dengan diameter 5 meter. Keletakanya berada di kordinat kordinat S 07°11’26.1312” dan E 108°21’34.2576” di atas ketinggian 408 mdpl.
Kini bentuk asli mata air Cikawali sudah lenyap. Tahun 2018 Pemerintah Daerah Ciamis melakukan penataan kolam Cikawali dengan memasang balay batu di tepi kolam untuk mencegah pendangkalan. Pemasangan balai batu walau tidak permanen, membuat kolam berbentuk agak persegi panjang.
Adanya perubahan perubahan tersebut membuat Cikawali tidak terasa wingit seperti dulu. Penataan itu telah mendapat restu dari Balai Plestari Cagar Budaya Serang Banten selama tidak merubah bentuk aslinya. Namun dari bentuknya yang sekarang, Cikawali tidak seperti kuali lagi.