Saat Kata Dirupakan, Saat Itu Rupa Dikatakan
Pada saat menyuarakan pidato kebudayaan di pameran yang dibuka cendikiawan Yudi Latif itu, Yasraf Amir Piliang menyinggung dunia pendidikan Indonesia yang kian kering imajinasi, namun kaya akan angka. Kondisi itu menurut Yasraf, jauh dari ideal. “Bila tidak ada imajinasi, tidak ada kebudayaan dan peradaban,” ujarnya.
Oleh : Acep Iwan Saidi
JERNIH– Anak kandung sunyi itu, “Kaleidoskop 100 Sajak Pilihan”, kini telah melangkah ke dalam kembaranya sendiri. Ia telah menjadi yatim piatu, orang tuanya telah mati. Kini ia telah menjadi milik siapa pun, anak siapa pun yang berniat memberinya nama, dan makna.
Setelah “dijelmakan” oleh 60 dokter genial, para seniman dan desainer dari 18 negara, kemarin ia diantar kepergiannya oleh Dr. @rikrik.twinrik, (Rikrik Kusmara), dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, dibukakan pintunya oleh Sang Guru Bangsa, Cendikiawan Muda, Yang Terpelajar Dr. @yudi.latif; didudukkan posisinya dalam kembara oleh Sang Mahaguru, Prof.@yasrafamirpiliang, diruwat oleh Sang Maestro Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Dr.@tisnasanjaya, dan diiringi dengan petikan asmarandana oleh @martha_topeng, Sang Pendekar Nyanyian Jalanan.
Sungguh bagus memang nasibnya, kepergian si yatim piatu itu dirayakan di ruang semesta panorama , Summarecon Mall Serpong yang sohibul baitnya diwakili oleh sang manager @surya_mentari.
Dan yang tidak kalah penting, ia diberi peta jalan, semacam “narasi dramatik” oleh seorang sutradara kembara @irwan_harnoko, ketua Worldwide Graphic Designer Indonesia. Walhasil, sebagaimana tampak pada foto terakhir, terbentuklah Formasi 7, formasi doa dalam titik keberangkatan si anak sunyi.
Maka pergilah, wahai kamu, anak yang lahir dari rahim malam, jadwal keberangkatanmu telah tiba. Tidak akan ada lagi rindu di antara kita.
Selamat jalan, selamat tinggal!
*Catatan redaksi Jernih:
Pameran seni rupa “Rupa Kata Kaleidoskop” yang dihelat Forum Studi Kebudayaan -Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) di Summarecon Mall Serpong, Tangerang, berlangsung sejak Jumat (17/12) hingga 13 Februari mendatang.
Pameran tersebut melibatkan 60 orang seniman dan desainer dari 18 negara. Mereka berkreasi untuk mencitrakan makna dari kata ke dalam wujud seni poster.
Yang menarik, karya seni rupa yang dipamerkan tersebut merupakan hasil interpretasi para seniman terhadap puisi dalam antologi “Kaleidoskop 100 Sajak Pilihan” karya Acep Iwan Saidi, yang terbit tahun ini. Acep, sang penyair, juga merupakan pengajar di FSRD ITB, sekaligus menjadi Ketua Forum Studi Kebudayaan di kampus seni rupa ternama tersebut.
Acep mengatakan, pameran kolaboratif semacam yang tengah digelarnya itu penting di tengah krisis persahabatan lokal hingga global. “Pada kondisi seperti ini seni menjadi semacam vaksin bagi kemanusiaan, menjadi imun bagi peradaban,”kata Acep yang juga dikenal menekuni kajian mistik Islam tersebut.
Dari 60 seniman yang berkolaborasi, separuhnya dari Indonesia, misalnya para seniman lulusan FSRD ITB. Namun ada pula Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik yang kini lebih grandrung menekuni lembaga survey dan konsultan politik. Eep memilih mencitrakan sajak Acep yang berjudul “Kalender”.
Sementara desainer mancanegara pada pameran itu dihimpun Worldwide Graphic Designer (WGD). Mereka berasal dari Hungaria, Meksiko, Swis, Amerika Serikat, Jepang, Yordania, Korea Selatan, Iran, Irak, Ekuador, Cina, Siprus, Malaysia, Turki, Italia, Mesir, dan Israel.
Pada saat menyuarakan pidato kebudayaan, Yasraf Amir Piliang menyinggung dunia pendidikan Indonesia yang kian kering imajinasi, namun kaya akan angka. Kondisi itu menurut Yasraf, jauh dari ideal. “Bila tidak ada imajinasi, tidak ada kebudayaan dan peradaban,” ujarnya. [ ]