POTPOURRI

Saat Khomeini Didaulat Menjadi Pemimpin Tertinggi Iran

JAKARTA— Hari ini di tahun 1979, bisa jadi Shah Iran, Reza Pahlavi, hanya mampu menatap kosong layar televisi di ‘pengasingannya’ di Mesir. Pada layar tv di hampir seluruh penjuru dunia, seorang ulama tua ditahbiskan sebagai pemimpin tertinggi Iran, posisi yang dengan erat dijaga seorang shah selama lebih dari 2.500 tahun. 
 
Dunia memang layak terkejut. Bagaimana mungkin sebuah monarki kuat di Timur Tengah dengan kekuatan militer yang dipasok Amerika Serikat dan Inggris bisa dijungkalkan hanya dengan kepalan tangan teracung rakyatnya? Bagaimana bisa Shah Reza, pemimpin yang mulai haus kuasa untuk melebarkan nama dan pengaruhnya di dunia internasional setelah di dalam negeri mendaku diri sebagai ‘Shahanshah’ (raja diraja) terjengkang dari kekuasaan, pesiar sekeluarga ke Mesir tanpa bisa kembali ke tanah Persia? 
 
Semua karena kharisma Ruhullah Khomeini, orang yang puluhan tahun luput ia basmi. 

Khomeini lahir pada tahun 1902 di Khomeyn, di wilayah yang kini berada di Provinsi Markazi. Sejak kecil Khomeini telah tahu bagaimana pahitnya hidup. Ayahnya dibunuh  pada 1903, saat Khomeini baru berusia lima bulan. Alhasil, ia tak punya kenangan apa pun tentang sang ayah. Lahir di lingkungan keluarga yang taat memegang Islam Syiah, Khomeini dari awal mulai dikenalkan kepada Alquran.

Sebagaimana yang ia rintis, Khomeini awalnya seorang ulama. Ia tergolong seorang mujtahid (orang yang mumpuni ber-ijtihad atau mengambil ketetapan hukum berdasarkan syariat Islam. Ia juga dikenal sebagai pengarang lebih dari 40 buku. Namun bukan itu yang mencelatkan namanya ke langit dunia.

Yang membuat Khomeini besar adalah perjuangan politiknya. Selama hidup, lebih dari 15 tahun dihabiskannya di penjara dan pengasingan karena sikapnya untuk terus menentang Shah.  Selama masih tinggal di Iran, bukan sekali dua dirinya ditangkap, dipenjara dan disiksa SAVAK, polisi rahasia dan penyiksa legendaris dunia yang dibangun Shah Iran.

Pengaruh Khomeini mulai membesar sejak Juni 1963. Di kota yang disucikan umat Islam Syiah, Qum, Khomeini diambil SAVAK setelah ia berpidato mengecam Shah sebagai ‘Manusia celaka dan menyedihkan’. Penahanan itu kontan memantik api aktivisme menjadi gelombang protes tak berkeputusan yang menjalar keluar Qum, bahkan ke ibu kota Tehran. Penahana yang melambungkan Khomeini menjadi nama yang popular tak hanya di dalam negeri, melainkan mendunia. Di saat kemudian berhembus rumors bahwa Shah bermaksud mengeksekusi Khomeini, ulama Syiah paling senior  yang dihormati pemerintah saat itu, Shariatmadari, segera menganugerahinya gelar Marja’ (Ayatullah Agung). Maksudnya agar Khomeini terhindar dari tiang gantungan.

Di bawah ancaman SAVAK, Khomeini akhirnya mengasingkan diri ke Najaf, Iraq. Namun sebenarnya kejatuhan Shah Reza tetaplah karena kesalahan langkahnya sendiri. Pada 1971, untuk memperingati 2.500 tahun imperium Persia, Shah Reza yang ingin dipandang sebagai pemimpin dunia merayakannya besar-besaran di reruntuhan Persepolis. Hampir seluruh kepala negara dunia diundang. Untuk makan minum undangan, para chef—bukan ‘Cep’, khusus didatangkan dari Paris. Bodohnya—atau imoralnya, Shah melakukan hal itu di tengah bencana kekeringan dan kelaparan melanda Provinsi Baluchistan, Sistan, dan Fars–tempat acara digelar. Dunia mencatat, untuk penyelenggaraan, anggaran negara sebesar 200 juta dolar AS habis begitu saja.

Khomeini dengan cerdik memanfaatkan momentum. Ia hanya tinggal memberi ‘Aji no Moto’ pada segudang sumpah serapah publik. Dari pengasingan, sekian kaset pidato, tayangan video mengalir menghujani rakyat Iran dengan optimisme dan semangat. Juga ajakan untuk menggulingkan Shah Reza yang telah menjelma Firaun. Khomeini segera menggandeng rekan strategis: Ayatullah Taleqani, seorang ulama progresif revolusioner yang tak kalah kharismatis.

Puncaknya terjadi pada 1977. Sementara inflasi melonjak dan boom minyak mulai berbalik arah, pabrik-pabrik berguguran gulung tikar membuat angka pengangguran naik. Mungkin istilah kekiniannya ekonomi meroket. Sejak itulah, agitasi dan propaganda Khomeini yang tersebar dari tangan ke tangan melalui pamphlet dan rekaman, menjadi kebenaran dan ajakan yang terasa rasional. Agama, yang sejak awal pun telah demikian adanya, mulai diingat kembali sebagai sumber revolusi.

Lalu datanglah 8 September 1978 saat Shah mengumumkan darurat militer. Cara itu justru kian membawa kekuasaannya ke tuber jurang. Militer yang baru saja menambah personel, dengan ringan memuntahkan peluru ke arah massa demonstran. Hasilnya, 2000-4000 demonstran mati terkapar.

Akibat membuncahnya gelombang demo, Shah menekan Irak mengusir Khomeini dari Najaf. Dasar bahlul dan ‘SM’ alias salah melulu, hal itu justru dimanfaatkan Khomeini untuk hijrah ke sebuah desa kecil, Neauphle-le-Château, di Prancis. Pilihan cerdas, karena dengan begitu akses internasional segera diambil Khomeini.

Pada Februari 1978, di tengah kosongnya kekuasaan karena larinya Shah, Khomeini pulang dari Prancis. Saat itulah, banyak wartawan menyertainya. Salah satunya wartawan muda dari Indonesia, Nasir Tamara. Khomeini pun segera mengubah Iran menjadi republik Islam.

Tahun 1979 itu, Majalah ‘Time’ menobatkan Khomeini sebagai ‘Man of the Year’ untuk pengaruh internasionalnya. [ ]

Back to top button