Sejak Kapan Manusia Menggunakan Uang?
“Kami memiliki mata uang kami sendiri, yang nilainya tidak dipertanyakan siapa pun yaitu rokok. Satu roti berharga dua puluh batang rokok, satu pak margarin 300 gram seharga tiga puluh batang, satu arloji senilai delapan puluh sampai 200 batang, seliter alkohol 400 batang rokok”
Jernih.co — Di masa-masa awal peradaban manusia, komunitas masyarakat tidak mengenal uang. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka menggunakan sistem “persesuaian kebutuhan dua pihak” (double coincidence of wants) yang disebut barter, yakni bertukar barang untuk saling memenuhi kebutuhan.
Sebelum masa barter, komunitas masyarakat dalam skala telah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu atau mengumpulkan tumbuh-tumbuhan. Ketika terjadi interaksi sosial ekonomi terjadilah pertukaran barang atau barter.
Sejarahwan dari Universitas Ibrani Yerusalem, Yuval Noah Harari, dalam bukunya berjudul Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia, menulis bahwa barter bisa terjadi ketika kedua pemilik barang sama-sama menerima barang yang dipertukarkan dan tak ada merasa dirugikan.
Persoalan muncul manakala satu pihak tidak bisa menerima barang yang akan dipertukarkan. Sejarahwan lulusan Oxford University itu mencontohkan, ketika seorang petani apel bertransaksi dengan pembuat sepatu.
Petani apel membutuhkan sepatu karena yang ia miliki sudah tak layak digunakan. Ketika ia mendatangi pembuat sepatu dan mengutarakan makudnya, dan hendak menukar sepatu dengan tiga karung apel, apakah si pembuat sepatu akan dapat menerima? Mau diapakan apel sebanyak itu?
Ini yang disebut Harari sebagai salah satu kelemahan barter. Sistem tukar barang semacam ini tidak memiliki ukuran yang jelas. Misalnya, untuk mendapat sepasang sepatu kulit kulitas rendah, berapa karung apel yang harus disediakan? Jika menginginkan kualitas yang lebih baik, apakah jumlah apel harus ditambah?
Lantas, bagaimana tukang sepatu memperloleh keuntungan dari apel-apel itu? Apakah apel-apel itu akan ia makan semua atau akan dibarternya lagi arloji yang ia inginkan, umpamanya? Apakah pembuat arloji bersedia menerima berkarung-karung apel itu sebagai ganti arloji buatannya?
Persoalan semakin pelik ketika kebutuhan manusia semakin kompleks. Sehingga sistem barter akhirnya menjadi hambatan dan tidak efektif untuk terus dilakukan. Untuk mengatasinya maka manusia merumuskan alat tukar dari komoditas (commodity money) berdasarkan kesepakatan bersama di suatu wilayah tertentu.
Harari menjelaskan bahwa uang tidaklah musti koin emas, peras, uang kertas, atau uang elektronik. Uang adalah sesuatu yang disepakai sejumlah besar orang sebagai takaran universal untuk menilai dan mempertukarkan barang dan jasa.
Uang dalam bentuk barang pertama kali diciptakan oleh orang-orang Sumeria sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi (SM). Mereka menyepakati jelai (Hordeum Vulgare, sejenis padi-padian) sebagai uang yang berlaku di masyarakat mereka saat itu.
Dalam konteks “nominal” uang, masyarakat Sumeria kala itu memiliki ukuran yang disebut sila. Satu sila jelai kira-kira sebanding dengan satu liter jelai saat ini. Secara massal mereka memproduksi mangkuk khusus yang secara tepat dapat terisi satu atau beberapa sila.
Jika petani apel Sumeria membuhkan sepatu seharga dua belas sila jelai, ia tinggal membawa jelai-jelai itu ke pembuat sepatu. Si pembuat sepatu akan mengeluarkan mangkuk satu sila, dan menakar jelai milik si petani apel sebanyak dua belas kali.
Data yang ditunjukan Harari menyebut bahwa pemerintah Sumeria saat itu menerapkan besaran gaji dan membayarnya dengan sila jelai. Seorang buruh laki-laki memperoleh gaji sebesar enam puluh sila jelai sebulan, sementara buruh perempuan memperolah setengahnya, yakni tiga puluh sila.
Seorang mandor memperoleh gaji berkisar antara 1.200 hingga 5.000 sila jelai dalam satu bulan. Jelai-jelai saat itu merupakan makanan pokok bangsa Sumeria. Jelai menjadi berharga karen keberhargaannya juga terletak pada intrinsik jelai itu sendiri sebagai tumbuhan yang dapat dimakan.
Sang mandor tidak mungkin memakan habis 5.000 sila jelai itu dalam sebulan. Namun, karena jelai-jelai itu merupakan alat tukar yang sah, maka sisa jelai yang tak habis dimakannya bisa ia pergunakan untuk membeli barang dan jasa yang lain.
Pada tahun 2200 SM, Kekaisaran Cina Yu (The Great) telah menggunakan garam sebagai salah satu jenis pembayaran pajak. Hal itu disebutkan dalam kitab suci, bahwa garam sebagai alat tukar yang penting kedudukannya di peradaban awal.
Uang primitif yang disebut cowrie atau kewuk dalam bahasa Sunda, mulai digunakan sekitar 1200 SM dan menjadi barang berharga yang awalnya dipakai untuk jual beli di Kepulauan Maladewa dan berkembang di awal peradaban Cina dan India.
Cowrie kemudian berperan penting di seluruh Asia selatan, Afrika, Pasifik Selatan bahkan ke Eropa selatan sebagai bagian dari aktivitas Fenisia, Yunani, dan Romawi. Mata uang berupa cangkang kerang yang keras ini oleh orang eropa disebut wampum.
Demikian pula di koloni Amerika Utara, Konfederasi Algonquin dan Iroquois menggunakan wampum, manik-manik yang terbuat dari cangkang kerang keras (quahog).
Selama Kekhalifahan Abbasiyah pada akhir abad ke-8, di Afrika, cowrie kemungkinan diperkenalkan sebagai mata uang oleh para pedagang budak. Dan di Afrika Barat, cowrie bernilai tinggi karena dipasok dari tempat yang jauh, yakni timur Afrika dan Asia barat daya. Penggunaan cowrie ternyata masih berlangsung hingga paruh pertama abad 20.
Dalam perkembangan peradaban manusia, benda yang digunakan sebagai uang memiliki memiliki jenis berbeda-beda di seluruh bagian dunia. Di era moderen, dalam kondisi tertentu benda sebagai alat tukar terkadang tidak lajim.
Harari mengungkap bahwa sejumlah tahanan khusus di kamp konsentrasi Auschwitz milik NAZI biasa menggunakan rokok sebagai uang.
“Kami memiliki mata uang kami sendiri, yang nilainya tidak dipertanyakan siapa pun: rokok. Satu roti berharga dua puluh batang rokok, satu pak margarin 300 gram seharga tiga puluh batang; satu arloji senilai delapan puluh sampai 200 batang, seliter alkohol 400 batang rokok” tulisnya mengutip keterangan penyintas NAZI dari buku Music of Another World karya Szymon Lack.
Uang dalam pengetian seperti masa sekarang, yakni benda berharga yang tidak dapat dimakan langsung namun disepakati berharga, baru tercipta pada sekitar pertengahan milenium ke-3 SM di Mesopotamia Kuno. Satuannya adalah syikal perak yang memiliki seberat 8,33 gram.
Uang syikal perak pertama kali diketahui tercatat dalam Undang-Undang Hammurabi yang tertatah dalam batu prasasti bertarikh 1750 SM.
Salah satu poin dalam undang-undang itu menyebut bahwa jika seorang laki-laki dari kalangan atas membunuh seorang budak perempuan, maka ia harus membayar dua puluh syikal perak kepada pemilik budak. Artinya, ia harus membayar 166 gram emas.
Keterangan tentang mata uang kuno ini juga terdapat dalam Alkitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 37:28, “Ketika ada saudagar-saudagar Midian lewat, Yusuf diangkat ke atas dari dalam sumur itu, kemudian dijual kepada orang Ismael itu dengan harga dua puluh syikal perak. Lalu Yusuf dibawa ke Mesir.”
Demikian pula di Mesir dan Asia Minor, sekitar awal 2500 SM, uang dalam bentuk logam emas sudah digunakan. Hal tersebut pernah dicatat oleh sejarawan sejarawan Yunani Kuno Herodotus pada 670 SM.
Setelah ratusan tahun manusia menggunakan sistem moneter semacam itu, barulah sekitar tahun 640 SM uang logam pertama kali dicetak oleh Raja Alyattes dari Lidia, Anatolia barat. Nyaris semua koin yang hari ini dicetak dan digunakan merupakan “keturunan” koin Lidia Kuno tersebut.
Kini, uang semakin tak berwujud. Transaksi keuangan berlangsung bukan saja menukarkan berkeping-keping uang logam atau berlembar-lembar uang kertas dengan hal tertentu, melainkan hanya memindahkan data dari satu rekening ke rekening yang lain. [*]