POTPOURRI

Sekilas Sejarah Antariksa, Bintang-Bintang yang Selalu Menggoda

Angkasa luar (antariksa) telah sejak lama menyita perhatian manusia. Sejak ribuan tahun lalu, manusia telah memusatkan perhatian pada benda-benda dan fenomena luar angkasa. Dengan mengamati bulan, matahari, dan bintang-bintang secara langsung, orang-orang kuno kemudian menciptakan sistem penanggalan.

Jernih — Kalender lunar tertua di dunia ditemukan di Aberdeenshire, Skotlandia, Inggris. Kalender lunar adalah sistem penanggalan dan perhitungan waktu (hari, minggu, bulan, tahun) yang didasarkan pada siklus peredaran bulan. Kelender yang diduga berusia 10.000 tahun itu berupa 12 lubang di tanah yang menyerupai fase bulan.

Abad ke-21 Sebelum Masehi, bangsa Sumeria di Mesopotamia diyakini telah mengembangkan sistem penanggalan. Orang Sumeria telah menggunakan hitungan tujuh hari untuk  satu minggu. System penanggalan ini terus berkembang dan masih kita warisi sekarang.  

Dari sana ilmu perbintangan terus berkembang. Setidaknya, perkembangannya mengarah ke dua jalur yang berbeda: astronomi dan astrologi.

Mula-mula, orang-orang di masa peradaban kuno tak memilah keduanya. Mengamati benda-benda luar angkasa dapat bermanfaat untuk menetapkan hitungan waktu,  mengetahui siklus musim, arah mana angin ketika malam, sekaligus juga diyakini sebagai gambaran nasib dan peruntungan seseorang.

Dalam perkembangannya, ilmu perbintangan ini baru kemudian memisahkan diri secara tegas: yang ilmiah (astronomi) dan (yang dipandang) non-ilmiah (astrologi).

Keingintahuan manusia menguak misteri luar angkasa masih terus berlanjut. Manusia tak cukup puas dengan hanya melihat atau mengamati dari kejauhan, melalui teleskop dan hitung-hitungan di atas papan tulis. Manusia ingin menjelajahi antariksa.

Seperti saat masa awal ramainya eskpedisi laut di zaman lampau di mana kerajaan-kerajaan berlomba-lomba menjadi yang terdepan, negara-negara di dunia juga berlomba-lomba menjadi yang terdepan menjelajah antariksa.

Tahun 1930, Union of Soviet Socialist Republic (USSR) meluncurkan program Kosmicheskaya Programma SSSR atau Space Program of USSR. Laman Wikipedia menyebut, Gagasan ekplorasi antariksa di Uni Soviet telah ada sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebelum Perang Dunia I.

Seorang ilmuan era Kekaisaran Rusia, Konstantin Tsiolkovsky (1857-1935) menulis mengenai “roket bertingkat” yang ia publikasikan pada 1929. Teori ini yang lantas dikembangkan menjadi dasar penerbangan luar angkas oleh Uni Soviet. Pada Oktober 1957, Sputnik 1 yang diluncurkan Soviet mencetak sejarah sebagai satelit buatan manusia pertama yang mengorbit bumi.

Paman Sam sebagai, saingan Uni Soviet, panas. Tahun 1958, presiden Amerika Serikat (AS) waktu itu, Dwight David Eisenhower, yang berlatar belakang militer, memerintahkan dibentuknya sebuah lembaga nasional AS yang fokus pada bidang antarikasa.  

Perintah tersebut diwujudkan dengan berdirinya National Aeronautics and Space Administration atau umum dikenal dengan istilah NASA.

Jika kosmnot Uni Soviet Yuri Gagarin “hanya” tercatat sebagai orang yang pertama mengorbit bumi pada 12 April 1961 dengan penerbangan Vostok 1-nya, AS jelas ingin melampaui itu. Neil Armstrong, seorang astronot AS, tercatat sebagai manusia pertama yang menginjakan kaki di bulan pada tahun 21 Juli 1969.

Bagaimana dengan Indonesia? Dunia kedirgantaraan dan antariksa Indonesia mulai dilirik pada tahun 1962, setahun setelah Uni Soviet, untuk pertama kalinya di dunia, berhasil mengirimkan manusia ke luar angkasa. Waktu itu, atas arahan Presiden Soekarno, Perdana Menteri Ir. H. Juanda (selaku Ketua Dewan Penerbangan RI) membentuk Panitia Austronautika pada 31 Mei 1962.

Tahun berikutnya, dibentuklah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan empat program utama: penginderaan jauh, teknologi dirgantara, sains antariksa, dan kebijakan dirgantara.

Hingga saat ini, Indonesia belum pernah memiliki astronot yang menjelajah antariksa. Namun, pada tahun 1986, tercatat dua orang Indonesia lolos seleksi astronot dan pengikuti pelatihan di NASA. Mereka adalah Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan Taufik Akbar.

Saat itu NASA memiliki misi STS-61-H yang bertujuan membawa satelit komersial termasuk satelit Palapa B3 milik Indonesia. Pratiwi termasuk bagian dari misi tersebut. Ia terpilih karena Indonesia diperkenankan mengirimkan wakilnya untuk turut serta dalam penerbangan wanaha antariksa (space shuttle) Spesialis Muatan tersebut.

Dikabarkan CNN Indonesia, latar belakang Praiwi bukanlah astronomi. Ia bukan pula berlatar militer. Pratiwi adalah seorang ilmuwan biologi yang kini menjabat Guru Besar Mikrobiologi di Universitas Indonesia (UI).

Pratiwi dilirik LAPAN dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) sebab ia, sebagai ilmuwan, memiliki izin melakukan riset ilmiah dalam misi tersebut. UI memintanya turut memasukan proposal penelitian. Pratiwi kala itu bermaksud meriset ketahanan fisik manusia di luar angkasa. Hal ini dilatarbelakangi niatan NASA yang bermaksud menempatkan koloni manusia di luar angkasa.

Sayangnya, pesawat ulang-alik Columbia tumpangan Pratiwi yang rencananya meluncur tanggal 24 Juni 1986 gagal terbang akibat musibah Challenger yang terjadi pada 28 Januari 1986. Pesawat ulang-alik Space Shuttle Challenger meledak pada detik ke-73 setelah diluncurkan. Tujuh awak di dalamnya tewas, termasuk Christa McAuliffe, seorang guru Sekolah Menengah Atas asal New Hampshire.

Jika tanpa musibah, ia akan tercatat sebagai guru pertama yang terbang ke luar angkasa. Christa dijadwalkan “mengajar” dari luar angkasa. Tadinya, program ini diharapan dapat membangkitkan antusiasme dunia pendidikan baik bagi pendidik  maupun siswa.

Sebelum tragedi itu, Indonesia telah berhasil meluncurkan satelit pertamanya, Palapa A1, dengan roket Delta 2914 milik AS pada 8 Juli 1976. Satelit komunikasi itu habis “masa baktinya” pada Juni 1985.

Setelah peluncuran pertama itu, Indonesia tercatat beberapa kali telah meluncurkan satelit ke luar angkasa. Yang terbaru, Indonesia meluncrukan satelit Telkom-4 atau Satelit Merah Putih pada 7 Agustus 2018.

Jika tidak gagal mengorbit, Satelit Nusantara 2 (N-2) milik Indonesia akan menjadi satelit Indonesia  terbaru. Satelit yang direncanakan sebagai pengganti Satelit Palapa D (31 Agustus 2009-1 Juli 2020) ini meluncur tanggal 9 April 2020. Namun, N-2 gagal mengorbit dan hancur berkeping-keping.  

Kendati belum ada satu pun orang Indonesia yang mengorbit di luar angkasa, namun, dengan terpilihnya Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar sebagai astronot calon penumpang pesawat ulang-alik Columbia, Indonesia patut berbangga pada kemampuan putra putrinya sendiri.   [ ]

Back to top button