
Menghormati dan mengagungkan salib tidak berarti kita mengagungkan penderitaan tetapi karena itulah jalan dan cara yang dipilih oleh Allah untung mengagungkan Putera-Nya sendiri. Salib dan penderitaan adalah harga yang harus dibayar oleh Yesus untuk keselamatan kita.
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
JERNIH-Hari ini adalah Pesta Salib Suci. Ini adalah satu dari dua belas Pesta Utama dalam Gereja untuk menghormati Yesus Tuhan kita. Pesta ini sebenarnya sudah berusia sangat lama. Ini adalah kenangan akan Salib Yesus yang ditahtakan di Gereja Makam Kudus di Bukit Kalvari pada tanggal 14 September 335.

Kisahnya berawal dari penemuan Salib Yesus yang sudah lama terkubur oleh Santa Helena, ibu dari Kaisar Konstantinus, bersama timnya pada tahun 326. Kaisar Konstantinus lalu membangun Gereja Makam Kudus tepat di atas Bukit Kalvari dan Salib itu lalu ditahtakan disitu oleh Uskup Agung Yerusalem, Maccharios.
Setelah tiga abad, orang-orang dari kerajaan Persia menduduki Yerusalem, mengambil semua harta berharga dari Gereja termasuk relikwi Salib Suci. Tahun 630 Kaisar Heraclius II menaklukkan Persia, mengambil kembali relikwi suci ini, dan mentahtakan kembali pada Gereja yang dibangun baru. Gereja Makam Suci ini kembali dirusak oleh pasukan Islam pada tahun 1009. Tahun 1149 setelah kemenangan para pasukan perang salib, Gereja itu dibangun kembali seperti yang ada sekarang ini. Bagian terbesar dari Salib Suci ini sekarang ada di Gereja Salib Suci (Santa Croce) di Roma, dekat Basilika Yohanes Lateran.
Menurut tradisi, sejak pentahtaan pertama di Gereja Makam Kudus di Yerusalem, setiap Jumat Agung, Salib Suci dikeluarkan dari kotak perak yang membungkusnya, ditempatkan di atas altar bersama tulisan Pilatus pada Salib, lalu satu demi satu umat, berjalan menunduk, menyentuh salib dan tulisan itu dengan dahi, lalu dengan mata, kemudian mencium salib itu, dan berlalu.
Menurut cerita lain, ketika berhasil mengambil kembali salib itu dari tangan orang Persia, Kaisar Heraclius II mencoba membawa sendiri salib itu dengan tangannya sendiri tetapi tidak sanggup mengangkatnya. Baru ketika dia menanggalkan semua pakaian kebesarannya dan dengan tanpa alas kaki seperti seorang peziarah, dia berhasil menggerakkan salib itu.
Pada titik ini kita ingat akan kata-kata Paulus tentang bagaimana merendahkan diri seperti Yesus: telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. (Fil 2,7). Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. (Fil 2,8).
Penyembahan salib seringkali menjadi kontroversi dan perdebatan di kalangan orang Kristen, khususnya non Katolik. Akan tetapi kata-kata Yesus kepada Nikodemus dalam Injil hari ini adalah jawaban yang tak terbantahkan.
“Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3,14).
Allah meminta Musa meninggikan ular tedung supaya setiap orang dipagut ular dan melihat ular tedung itu, akan tetap hidup. (Bil 21,8). Hanya dengan melihat ular tedung itu mereka selamat dari bahaya kematian. Jika melihat ular tedung saja orang bisa selamat maka betapa lebih berkuasanya Anak Manusia yang ditinggikan pada salib untuk menyelamatkan umat manusia dari kematian dan dosa.
Menghormati Salib Suci adalah wujud keyakinan iman, walau nampak sebagai paradoks, bahwa salib bukan tanda kekalahan melainkan tanda kemenangan. Penderitaan dan kematian bukanlah jalan menuju kebinasaan melainkan jalan keselamatan. Itulah cara Allah memperlihatkan kasih kepada umat manusia dan kemungkinan hidup baru bagi mereka yang percaya.
Menghormati dan mengagungkan salib tidak berarti kita mengagungkan penderitaan tetapi karena itulah jalan dan cara yang dipilih oleh Allah untung mengagungkan Putera-Nya sendiri. Ini sebuah realita yang tidak bisa diubah lagi tetapi harus diterima. Salib dan penderitaan adalah harga yang harus dibayar oleh Yesus untuk keselamatan kita.
Bagi mereka yang tidak percaya, pemberitaan tentang salib adalah kebodohan dan membawa mereka pada kebinasaan. Tetapi sebaliknya merupakan kekuatan Allah bagi mereka yang percaya dan diselamatkan. (1 Kor 1,18). Karena itu Salib adalah kebanggaan dan kemegahan kita, seperti dikatakan oleh Rasul Paulus. (Gal 6,14).
Salib adalah tanda sekaligus sebuah kabar gembira bagi mereka yang percaya. Dengan memandang salib bahkan memikul salib hidup sendiri, kita ingat akan kasih Allah sekaligus penderitaan Kristus. Salib bukan sebuah beban yang harus dihindari melainkan sebuah simbol kasih dan pengorbanan yang harus dirangkul dan dibawa. Salib adalah sebuah peluang untuk semakin mendekatkan diri pada Allah dan rencana-Nya.
Kegembiraan sejati dan kepenuhan hidup tidak datang dengan cara menghindari penderitaan, melainkan dengan menyatukan diri dengan Kristus dan penderitaan-Nya dan menemukan kekuatan dalam pengorbanan-Nya.
Pesta Salib Suci hari ini bukan sekedar sebuah kenangan akan peristiwa sejarah masa lalu, melainkan sebuah panggilan untuk merangkul salib itu dalam hidup kita, menemukan kekuatan, harapan dan keselamatan di dalamnya.
Yesus pernah memikul salib dan tahu bagaimana beratnya salib itu dan juga tahu bagaimana Dia membutuhkan Simon dari Kirene untuk membantu-Nya membawa salib sampai bukit Kalvari. Jika salib kita terlalu berat, mintalah Dia untuk membantu kita memikulnya sampai di ujung perjalanan kita. Dia pasti dengan senang hati akan menolong.
(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo, CSsR; ditulis di Pastoran Aloysius Gonzaga, Cijantung, Jakarta).