POTPOURRISpiritus

Setetes Embun: Selfish

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

Bagi Yesus kaya di hadapan Allah bukan tentang berapa banyak yang dikumpulkan untuk diri sendiri. Kaya di hadapan Allah dinilai dari berapa banyak yang diberikan kepada orang lain.

Ketika kita peduli pada kebutuhan orang miskin, kita memberi mereka apa yang menjadi hak mereka, bukan hak kita. Dengan kata lain, kita tidak hanya mempraktekkan karya amal dan kemurahan hati, melainkan kita justru sedang membayar utang keadilan. Hidup bukan hanya soal MEMILIKI tapi BERBAGI.

JERNIH-Dr. Carl Menninger, psikiater terkenal di dunia, pada suatu kesempatan berbicara dengan seorang pasien yang tidak bahagia tetapi kaya. Dia bertanya kepada pasien apa yang akan dia lakukan dengan begitu banyak uang. Pasien itu menjawab, “Saya merasa khawatir saja.”

Menninger bertanya, “Nah, apakah Anda mendapatkan kesenangan sebanyak itu dengan mengkhawatirkannya?” “Tidak,” jawab pasien itu, “tetapi saya merasa takut ketika saya berpikir untuk memberikan sebagian kepada orang lain.”

Kemudian Dr. Menninger melanjutkan dengan mengatakan sesuatu yang sangat mendalam. Dia berkata, “Orang yang murah hati jarang mengalami gangguan mental.”

*

Kata “selfie” adalah penemuan baru dalam istilah populer di dunia fotografi saat ini. Suatu cara memotret diri sendiri dengan menempatkan kamera di depan menghadap wajah. Umumnya menggunakan kamera ‘handphone’. Ini merupakan bentuk ekspresi selfish; menjadikan diri sendiri sebagai pusat, mencari apa yang menguntungkan diri sendiri, tanpa peduli kepada orang lain.

Sikap ini sering dikritik karena bertentangan atau minimal bisa mengurangi jiwa sosial. Semangat sosial justru berusaha menjadikan orang lain sebagai pusat, paling tidak sejajar: kasihilah sesamamu seperti seperti dirimu sendiri.

Dalam Injil hari ini Yesus mengkritik sikap tamak orang kaya yang hanya mementingkan diri sendiri. Penggunaan kata “aku” atau imbuhan “ku” yang cukup banyak dalam perumpamaan ini menggambarkan dengan cukup jelas semangat egosentris. Ada kecenderungan yang kuat untuk menumpuk semakin banyak bagi diri sendiri. Dan itu tak pernah membuatnya puas.

Orang kaya ini disebut BODOH oleh Yesus karena dia tidak memiliki niat sedikitpun untuk berbagi. Baginya, orang lain tidak berhak atas apa yang dimilikinya.

Bagi Yesus kaya di hadapan Allah bukan tentang berapa banyak yang dikumpulkan untuk diri sendiri. Kaya di hadapan Allah dinilai dari berapa banyak yang diberikan kepada orang lain.

St. Gregorius Agung lebih tegas lagi mengajarkan bahwa ketika kita peduli pada kebutuhan orang miskin, kita memberi mereka apa yang menjadi hak mereka, bukan hak kita. Dengan kata lain, kita tidak hanya mempraktekkan karya amal dan kemurahan hati, melainkan kita justru sedang membayar utang keadilan. Hidup bukan hanya soal MEMILIKI tapi BERBAGI.

Benar kata pepatah Romawi kuno: “Uang itu bagaikan air laut. Semakin kita meminumnya, semakin kita kehausan.” Watak dasar manusia yang tidak pernah merasa cukup, membuatnya selalu mencari dan menambah. Semakin dia memiliki, semakin sulit untuk dibagikan kepada orang lain. Lagi, semakin dia mempunyai banyak, semakin dia kuatir akan kehilangan.

Yesus mengingatkan para murid-Nya agar jangan hanya melihat diri sendiri tapi keluar dari kungkungan, keluar dari diri sendiri. Jika kita memiliki banyak, kita jangan menaikkan standar untuk ‘living’ (hidup) melainkan standar untuk ‘giving” (memberi).

Mungkin kita tidak kaya secara finansial tetapi kita bisa kaya dalam hal lain: waktu, jiwa humor, kepintaran, sahabat, dan sebagainya. Itulah yang dapat kita bagikan kepada mereka yang berkekurangan.

Kitab Amsal (30,8-9) mengajarkan sebuah doa yang sangat indah:

“Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.”

(SETETES EMBUN; Ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris, Weetebula, Sumba tanpa Wa

Back to top button