Soekarno, Sang Sutradara di Ujung Dunia
Ende adalah jantung dari Flores, tempat sejuta kenangan ditambatkan. Di bawah pohon sukun, seorang lelaki kerap duduk menikmati senja. Ia berbagi kisah dengan angin laut tentang kabar perjuangan dari tanah seberang. Atau menumpahkan segenap narasi kecintaan yang berdenyut kuat dalam benaknya.
Selepas Sholat Ashar, lelaki bernama Soekarno itu banyak merenung untuk memadatkan kata-kata dalam bentuk lima kristal kalimat yang kelak disebut Pancasila. Di bawah pohon sukun bercabang lima itu, Soekarno kerap tenggelam sampai tengah malam, kadang terus terjaga sampai tiba terbit fajar.
Pohon sukun sebagai saksi hidup tempat Soekarno merenungkan Pancasila selalu dijaga untuk tumbuh. Pohon itu generasi ketiga yang tumbuh kembali dari pohon sukun pertama yang tumbang tahun 1960-an karena uzur. Saat tumbuh dari batangnya, hanya muncul dua cabang dan kemudian mati. Setelah diadakan doa dan upacara, pohon sukun berikutnya tumbuh dengan baik dan bercabang lima.
Tanggal 1 Juni 1945 lima butir Pancasila diumumkan secara resmi di depan sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai. Kisah pohon sukun bercabang lima dituliskan oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, yang dikutipnya dari Koran regional Pos Kupang.
Kisah di atas telah menjadi harga mati bagi masyarakat Ende, bahwa Pancasila lahir di Ende. Peristiwa itu adalah blessing in disguise, hikmah dibalik musibah, ketika Soekarno dibuang oleh Hindia Belanda ke kampong Ambugage, Ende, Flores, Nusatenggara Timur pada 14 Januari 1934 dan tinggal sampai 18 Oktober 1938,
Di Ende, Soekarno memperdalam sisi religiusnya dan menggali Pancasila, buku berjudul Bung Karno : Ilham dari Flores Untuk Nusantara, cukup gambling mengisahkan perenungan Bung Karno di Ende. Di Ende Bung Karno menghuni rumah yang berada di Jalan Perwira, Kelurahan Kotaratu, Kecamatan Ende Selatan.
Rumah yang ditempatinya begitu sederhana layaknya tempat tinggal penduduk. Soekarno hanya ditemani istrinya Inggit Garnasih, Ibu Amsi (mertuanya) , Ratna Djuami (Anak angkatnya) dan Asmara Hadi (guru anak angkatnya) mereka tinggal selama empat tahun. R
Sampai kini rumah bertuah itu terpelihara baik. Di belakangnya terdapat sumur sedalam 12 meter yang digunakan keluarga Bung Karno. Airnya dianggap berkhasiat untuk kesembuhan penyakit dan obat awet muda. Siapapun yang mau berkunjung ke rumah itu, harus permisi kepada Bung karno.
Dibalik apa yang direnungkan oleh Bung Karno tidak lepas dariyang dilihat, dicerna dan dirasakan dari lingkungan Ende yang multikultural. Sejak jaman nenek moyang, masyarakat Ende adalah keturunan Roroe dan Modo. Ende, dalam pemahaman masyarakat Flores berasal dari kata cindai, yaitu tenunan besar, indah nan mahal. Kain tenun itu sejenis dengan sarung patola yang menjadi komoditi perdagangan dalam pelayaran di Ende.
Dalam Encyclopedia Britannica data demografis Ende di tahun 1930, menggambarkan penduduk Ende yang multikultur. Penduduk Flores pada tahun 1930 adalah Melayu-Papua campuran. Di barat, orang Manggarai lebih berkarakteristik Melayu, sementara di bagian tengah dan timur, tampilan penduduknya lebih berkarakter.
Selain itu, pemukiman di sepanjang pantai dihuni orang-orang Makasar, Sumba, Sumbawa dan Solor. Di Todo Manggarai, hidup para pendatang dari Melayu Minangkabau. Dan di pantai Ende hidup pula keturunan China yang kapalnya karam. Penduduk pribumi kebanyakan penyembah leluhur, tetapi ada banyak pemeluk Kristen di antara penduduk pantai timur dan sejumlah muslim di Manggarai.
Soekarno merasakan kehangatan keluarga di Ambugaga. Dia bersahabat dan sering berdiskusi dengan para pastor di Komplek Misi Katolik Roma yang berada di timur kampong. Pastor-pastor yang menjadi sahabatnya antara lain Pastor G.Huytink, J.Bouman dan Bruder Lambertus.
Hubungannya dengan para pastor Belanda membuat ketar ketir berbagai pihak. Soekarno sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan Belanda. Namun pastor-pastor Ende sangat tidak setuju atas penjajahan yang dilakukan oleh bangsanya. Bahkan pastor-pastor itu mendukung perjuangan Soekarno mengusir pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Lepas dari kemelakatan politiknya, selama di Ende Soekarno adalah seorang pelukis yang menumpahkan imajinasinya melalui sketsa pensil dan cat air. Salah satu karya lukisan cat airnya yaitu tentang pemujaan roh di Pura Bali. Dia juga seorang pematung, karyanya yang berjudul Bima terbuat dari batu andesit dengan posisi tegak dan memegang ular. Patung tersebut kini tersimpan di kediaman Bupati Hardjonagoro.
Soekarno juga ternyata seorang sutradara dan menulis sekitar 12 lakon untuk dipentaskan oleh group sandiwara Kelimutu yang jumlah anggotanya 50 orang. Naskah-naskah tersebut antara lain : Rahasia Kelimutu, tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Rendo, Kutkuthi, Maha Iblis, Anak Haram Jadah, Dokter Setan, Aero Dinamit, Jula Gubi dan Siang hai Rumbai.
Yang menarik adalah judul naskah Tahun 1945. Di naskah itu, Soekarno sudah membayangkan bangsa Indonesia akan terbebas dalam belenggu penjajahan pada tahun 1945. Entah kebetulan atau tidak, terbukti tahun 1945 Indonesia merdeka. Sayangnya delapan naskah sandiwara yang ditulis tangan olehnya hilang. Yang tersimpan di Musium Soekarno adalah salinan yang diketik ulang.
Di Ende, Soekarno pun menjadi muslim yang aktif,walaupun dikeluarganya menganut beberapa agama. Dari ibunya Soekarno mengenal ajaran hindu bali dan dari ayahnya mengenal teosofi. Perhatiannya pada Islam dapat dilacak dari surat-suratnya kepada A. Hassan, pemimpin Persatuan Islam di Bandung yang bersimpati padanya.
Kegiatan berkirim surat tersebut kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Surat-surat Islam dari Endeh pada tahun 1936. Terbitan tersebut ternyata mendapat tanggapan yang jauh lebih luas ketimbang kisah pengasingan Soekarno di Endeh.
“Ende, kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku. Yang telah ditentukan oleh Gubernur Jendral sebagai tempat aku menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk 5000 kepala, keadaanya masih terbelakang. Dalam segala hal, Ende di Pulau Bunga, yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia”. Demikian lukisan hati Soekarno tentang Ende yang ditulisnya tahun 1965.