Soeripto, Kurir Bantuan Senjata Indonesia untuk Perang Bosnia, Hari Ini 85 Tahun
Bagi para aktivis mahasiswa—terutama aktivis Bandung—nama Soeripto telah menjadi legenda laiknya nama mendiang Abdul Rahman Tolleng. Namanya disebut penulis Prancis, Francois Railon, dalam buku klasiknya ‘Politik Ideologi Mahasiswa Indonesia,’ sejajar dengan nama-nama aktivis Bandung yang di awal Orde Baru itu meretas keluar dari kondisi Indonesia yang terbelenggu. Sementara, sebagaimana kepada nama-nama Toleng, Soe Hok Gie, Hariman Siregar, Julius Usman dan sebagainya, para aktivis baru merapal namanya dengan khidmad dan kekaguman.
JERNIH—Tak pernah ada ayah yang menyangka akan turun ke liang lahat dan menguburkan jasad putranya. Bila hal itu dianggap sebagian orang sebagai musibah yang besar, Soeripto telah lulus dengan gemilang dari ujian tersebut. Tahun lalu, ia menguburkan putra tercinta, Sukma Kelana Saputra, yang akrab dipanggil Norman. Hari ini, 20 November 2021, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan itu genap berusia 85 tahun.
Bagi para aktivis mahasiswa—terutama aktivis Bandung—nama Soeripto telah menjadi legenda laiknya nama mendiang Abdul Rahman Tolleng. Namanya disebut penulis Prancis, Francois Railon, dalam buku klasiknya ‘Politik Ideologi Mahasiswa Indonesia,’ sejajar dengan nama-nama aktivis Bandung yang di awal Orde Baru itu meretas keluar dari kondisi Indonesia yang terbelenggu . Sementara, sebagaimana kepada nama-nama Toleng, Soe Hok Gie, Hariman Siregar, Julius Usman dan sebagainya, para aktivis baru merapal namanya dengan khidmad dan kekaguman.
Soeripto memang layak dikagumi. Bukan hanya karena aktivitasnya yang masih pepak di usia sepuh. Ia masih aktif di berbagai kegiatan beberapa organisasi, seperti Persatuan Iman Tionghoa Indonesia (PITI) sebagai penasihat, pada Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) sebagai ketua umum; pada Komite Nasional untuk Kemanusiaan dan Demokrasi Mesir (Komnas KDM) sebagai ketua umum; selain pembina Pengelolaan Sumber Daya Alam Watch (PSDA Watch). Yang terutama, barangkali pada komitmennya pada kemanusiaan.
Komitmen itu pula yang membawanya menembus salju tebal yang membekukan aliran darah, sambil menghindari desing peluru sniper yang mengintip di sepanjang perjalanan kala menyelundupkan senjata ke Bosnia-Herzegovina, pada saat negeri kaum Muslim itu diserang aggressor Serbia yang kejam dan haus darah.
“Itu permintaan saudara-saudara kita Muslim Bosnia waktu bertemu Komite Solidaritas Muslim Indonesia untuk Muslim Bosnia,” kata Soeripto, yang ditemui Jernih.co di rumahnya beberapa waktu lalu. “Secara lisan dan jelas, mereka meminta bantuan senjata.”
Mengenang cerita duka yang terjadi pada 1991-1996 tersebut, Soeripto mengatakan, bahasa yang mereka gunakan,”Jangan kami seolah diberi bantuan makanan, dana, tetapi setelah gemuk dibantai orang-orang Serbia.” Itu mereka katakan setelah beberapa kali Muslim Indonesia memberikan bantuan obat, makanan dan pakaian, di saat Muslim Bosnia dalam pengepungan dan pembantaian kelompok-kelompok penyerang dari Serbia. Komite yang diketuai Probosutejo itu mencatat, dalam beberapa bulan pengepungan, setidaknya 1,5 juta Muslim Bosnia kehilangan tempat tinggal, 200 ribu orang dibantai dengan keji, dan 800 ribu lainnya hilang tanpa kejelasan.
“Kekejian itulah yang kemudian menegaskan, yang paling diperlukan warga Bosnia adalah membela diri, dan itu hak manusia paling asasi,” kata Soeripto.
Perjalanan Soeripto membawa senjata untuk Muslim Bosnia itu diawali dengan perkenalan dirinya dengan alm Probosutedjo, adik—kala itu—alm Presiden Soeharto. Setelah obrolan cukup panjang tentang nestapa yang melanda kaum Muslim di sana, termasuk perlunya senjata untuk melawan, menurut Soeripto, Probosutejo langsung menatap matanya dan bertanya,”Anda sanggup?”
“Saya tak punya dalih apa pun untuk menolak,” kata Soeripto. “Saya hanya bisa menjawab “Sanggup!”
Bersama Ustadz Hilmi Aminuddin—saat ini sudah almarhum— berangkatlah Soeripto ke Zagreb, ibukota Kroasia, kota yang saat itu menjadi penampungan banyak sekali pengungsi Bosnia. Di Hotel Intercontinental, mereka bertemu Adi Sasono, yang juga datang ke sana untuk menjalankan misi diplomasi kedua negara.
“Pada 14 Desember 1992, tim Pak Adi bertemu utusan pemerintah Bosnia yang diwakili Dr Ismet Grbo dan Senahid Bristic,” kata Soeripto. Pada pertemuan itu bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, cek senilai 200 ribu dolar AS serta uang tunai 100 ribu dolar AS diserahkan Adi Sasono kepada utusan pemerintah Bosnia.
Namun hanya Soeripto yang kemudian harus berpikir bagaimana menyediakan dan membawa senjata untuk Muslim Bosnia. Adi Sasono berhalangan karena harus berangkat ke Jerman untuk ‘sebuah urusan’. Sementara Ustadz Hilmi punya urusan mendesak di Tanah Air. Senjata yang akan dikirimkan sendiri masih belum jelas akan didapat dari mana.
Untunglah, Hilmi sempat menghubungkan Soeripto dengan jaringan mujahidin, sisa-sisa perang Afghanistan yang dikenalnya. Dari jaringan tersebut Soeripto terhubung dengan seorang broker senjata di Zagreb dan mendapatkan tiga peluang. Dari ketiga peluang yang dijajaki, Soeripto kemudian mendapatkan senjata dari orang-orang Kroasia, para desertir yang sebelumnya tergabung sebagai personel militer Yugoslavia yang telah terpecah.
“Orang-orang Kroasia itu mengumpulkan senjata dan amunisi yang mereka punya untuk dijual,” kata Soeripto. Aneka persenjataan itu terkumpul di sebuah gudang di satu hanggar pesawat, tertutup rapat kain terpal. Harga senjata segudang tersebut senilai 2,5 juta DM.
“Dulu ada catatan detilnya, berapa AK, berapa M-16, berapa granat dan lain-lain. Sekarang entah di mana,” kata pria yang saat jadi aktivis mahasiswa pernah mengalami hukuman penjara karena kerusuhan anti-Cina di Bandung, sekitar 1963, itu.
Entah dapat nyali dari mana yang membuat Soeripto bisa menekankan kesepakatan yang menguntungkannya. Pertama, dia akan ikut dalam pengiriman barang. Kedua, pembayaran hanya akan dilakukan manakala senjata sudah sampai di tangan para pejuang Bosnia yang bertahan di kawasan Igman yang berbukit-bukit, dan Soeripto sudah kembali dengan selamat di Zagreb.
Namun tentu saja iring-iringan truk akan terlihat mencurigakan. Kembali, Ustadz Hilmi yang memungkinkan semua terealisasi. “Senjata-senjata itu diangkut dengan menggunakan cover mission, yakni operasi penyaluran bantuan dari lembaga kemanusiaan, Bulan Sabit Merah Mesir,” kata Soeripto. “Di atasnya segala macam bantuan kemanusiaan, sementara di lapisan tersembunyi, yang dimuat adalah sekian banyak peluru, amunisi dan alat-alat persenjataan lainnya.”
Selanjutnya adalah sembilan jam perjalanan yang paling menegangkan di hidup Soeripto untuk jarak sekitar 90-an kilometer itu. Tidak hanya karena jalan yang dilalui adalah jalanan tikus di pegunungan, yang kecil, penuh belokan tajam, sementara salju menjelang Natal sudah mulai turun. “Jalan menanjak itu licin oleh salju, tak jarang truk besar yang kita gunakan menggeram terus tanpa maju—maju,”kata dia.
Yang paling mendebarkan adalah manakala truk diberhentikan sepasukan penjaga di tempat pemeriksaan (check-point). Dari tiga kemungkinan—pos itu bisa milik pejuang Bosnia, milisi bersenjata Serbia atau pos Pasukan PBB– hanya kalau pos itu pos Bosnia, Soeripto aman kalau pun terbongkar. Bila pos itu pos pemeriksaan Serbia, nasibnya jelas ibarat ikan menantang panggangan. Kalau pos itu pos Pasukan PBB, ia bisa bisa ditangkap sebagai penjahat perang yang memasok senjata di saat ada embargo senjata.
Selama pemeriksaan yang kadang bertele-tele itu, Soeripto mengaku hanya bisa berdoa. “Saya baru plong kalau penjaga bersenjata yang memeriksa itu memulai dengan sapaan,”Assalamu alaikum!” kata Soeripto. Asal tahu saja, menurut Soeripto setidaknya ia dan truk senjata itu melewati tak kurang dari sembilan tempat pemeriksaan.
Truk itu baru tiba di lokasi tepat sebelum tengah malam. Selama muatan dibongkar, Soeripto dikelilingi para pejuang Muslim aneka bangsa yang datang ke Bosnia untuk ikut berjuang bersama para pejuang Bosnia. Mereka datang dari Pakistan, Arab Saudi dan berbagai neara Timur Tengah. Beberapa dari kalangan Muslim Eropa, barat maupun timur.
“Mereka mengajak saya turun menyergap milisi Serbia, karena malam itu akan menyerang pos milisi Serbia terdekat. Saya sudah bilang capek selama perjalanan, eh, terus dipaksa,” kata Soeripto. Dia sendiri mengaku tak punya pengalaman kontak senjata alias bertempur.
“Tenang saja, bahkan dari jarak 10 meter pun mereka tak akan melihatmu karena kabut,” kata Soeripto menirukan ajakan para pejuang antar-bangsa yang menurutnya masih muda-muda, antara 18-25 tahunan. Dia sendiri saat itu sudah berusia 53 tahun.
Meski tak pernah lagi dimintai masuk Bosnia untuk berkirim bantuan, menurut Soeripto, Komite yang diketuai Probosutejo itu secara rutin terus mengirim bantuan ke sana. Hanya tampaknya sudah bukan lagi bantuan senjata. Atau mungkin saja terus, namun dengan cara-cara baru, atau dengan perantaraan orang lain. Soeripto mengaku tak tahu detil soal ini. Hanya dari sekian kali pertemuannya dengan Probo, tak pernah lagi ada tantangan untuk mengulang petualangannya di 1992 itu.
Yang menarik, sebagaimana kita ketahui, Presiden Soeharto sendiri pernah juga mengunjungi Bosnia di saat negara itu masih diamuk konflik, tahun 1995. Pak Harto yang saat itu sudah berada di Eropa dalam rangkaian lawatannya, berkeras meneruskan rencana kunjungan ke Bosnia, meski pada 11 Maret 1995–dua hari sebelum kunjungannya itu–pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi, ditembaki saat terbang ke Bosnia.
Insiden itu tak membuat nyali Pak Harto, pemimpin negara-negara Non Blok, itu urung mengunjungi komunitas Muslim Bosnia. Padahal, untuk tetap mendapatkan izin berangkat pun, Indonesia saat itu harus berdebat panjang dengan PBB.
Konon, manakala Presiden Bosnia Alija Izetbegovic bertemu Pak Harto yang ditemani Moerdiono, Presiden Alija menyatakan rasa terimakasih negaranya untuk bantuan senjata tersebut.
“Bantuan seperti itu yang kami perlukan, Paduka,” kata Soeripto menirukan apa yang dikatakan Presiden Alija,”Senjata, bukan hanya pakaian, makanan dan obat-obatan.”
Moerdiono saat itu terperanjat karena sebelumnya tak pernah tahu. Ia bertanya kepada Pak Harto dengan bahasa Jawa,”Pak, kapan kita bantu senjata?”
“Wis. Wis, meneng bae,” jawab Pak Harto, yang saat ke Bosnia itu menolak mengenakan rompi dan helm anti peluru.
“Itu artinya Soeharto itu luar biasa. Urusan-urusan begitu, sekali pun Mensesneg, dia bikin nggak tahu,” kata Soeripto. Dia sendiri yakin, Pak Harto tahu pasti soal pengiriman bantuan tersebut.
Selamat berulang tahun, Pak Ripto. Baarakallahu fi umrik!” [dsy]