POTPOURRI

Surat Bung Karno Kepada Panglima Soedirman Setelah Sempat Mengecewakannya  

Soekarno merasa pelukannya dengan Jenderal Soedirman terkesan kaku, meminta adegan itu diulang. “Ya sudah, diulangi lagi adegan zoetnjes-nya,” kata Soekarno. Bung Karno meminta Pak Dirman mendekat. “Ayo supaya lebih dramatik,” kata Soekarno. Soedirman menurut, dan jadilah foto yang kemudian terkenal sebagai “foto penutup perang Revolusi 1945-1949”.

JERNIH–Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa berkenaan dengan Agresi Militer II Belanda terjadi perbedaan paham antara Bung Karno dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sementara Pak Dirman menginginkan perang total dan meminta Soekarno memimpin gerilya, Bung Karno yang sempat berjanji untuk melakukan itu pada kenyataannya memilih menjadi tawanan Belanda.

Sebelum pasukan payung Belanda mendarat dan menguasai Bandara Maguwo, Jenderal Soedirman sempat mendatangi Bung Karno. “Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya akan meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Bung, pergilah bersama saya,”kono, demikian Pak Dirman memohon.

Pagi itu Bung Karno tengah berpakaian. “Engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukan pelarian untukku. Aku harus tinggal di sini sehingga memungkinkan aku untuk berunding dan memimpin rakyat kita semua,” kata Sukarno, sebagaimana tertulis salam autobiografinya,”Penyambung Lidah Rakyat” (2007).

Pak Dirman masih sempat bertanya, “Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?”

“Jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman. Dan berjuanglah sampai mati. Aku perintahkan kepadamu untuk menyebar tentara ke desa-desa,”jawab Bung Karno.

Surat pribadi Bung Karno kepada Pak Dirman

Salim Said, dalam “Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno dan Soeharto”, menulis bahwa Jenderal Soedirman kecewa dengan keputusan Soekarno itu. Memang ada yang beranggapan, jika Soekarno ikut bergerilya justru akan menyusahkan pasukan dan cepat atau lambat pun tertangkap. Itu yang membuat Soekarno memilih ditawan pada 19 Desember 1948. “Soekarno yang berjanji memimpin gerilya kalau Yogyakarta diserang, akhirnya memilih menyerah kepada Belanda,” tulis Salim Said.

Bukan hanya Pak Dirman, kekecewaan itu juga diungkapkan A.H Nasution. “Memang cukup mengecewakan berita-berita yang masuk ke daerah gerilya, terutama tentang kejadian di Istana dan lain-lain di tempat resmi. Pembesar Republik yang tertinggi keluar dengan pembawa bendera putih, dan kemudian ditawan Belanda. Soekarno minta dijamin keselamatan dirinya, anggota-anggota kabinet, dan keluarganya, serta pembantu-pembantunya, dan berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”

Diduga, sikap Soekarno itu dilakukan untuk mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Soekarno berpikir akan sia-sia ikut perang gerilya kalau toh akhirnya tertangkap. Karena itu, Soekarno memerintahkan Letkol Soeharto menjemput Jenderal Soedirman di hutan.

Jenderal Soedirman yang marah, tentu enggan menuruti perintah. Dalam perang gerilya tersebut Jenderal Soedirman bersama pasukannya berjuang habis-habisan, bahkan hingga ditandu ketika paru-parunya hanya berfungsi sebelah.

Namun, jiwa prajurit Jenderal Soedirman memaksanya pulang. Beliau menuruti perintah untuk kembali ke ibu kota. Saat itulah ada momen besar saat Soekarno memeluk Jenderal Soedirman. Frans Mendur, juru potret dari IPPHOS diperintahkan mengabadikan pertemuan itu.

Meski datang ke Gedung Agung, tempat tinggal Soekarno, namun Jenderal Soedirman yang masih marah hanya diam saja. Soekarno pun berinisiatif mencairkan suasana yang membeku tersebut. Ia menghampiri Soedirman dan memeluknya.

Soekarno merasa pelukannya dengan Jenderal Soedirman terkesan kaku, meminta adegan itu diulang. “Ya sudah, diulangi lagi adegan zoetnjes-nya,” kata Soekarno. Bung Karno meminta Pak Dirman mendekat. “Ayo supaya lebih dramatik,” kata Soekarno. Soedirman menurut, dan jadilah foto yang kemudian terkenal sebagai “foto penutup perang Revolusi 1945-1949”.

Beberapa saat sebelum kembali ke Jakarta, Bung Karno secara pribadi menulis surat untuk Pak Dirman. Surat tersebut disimpan sebagai bagian dari sejarah, dan dapat dilihat melalui situs Setkab.go.id.

Y.M. Panglima Besar

Adinda Soedirman,

Assalamu’alaikum W.W.

Dinda,

Jika ditakdirkan Tuhan, saya besok pagi dengan keluarga pindah ke Jakarta. Sebenarnya, saya tadinya bermaksud pamitan kepada Dinda secara direct ini hari, tapi sekonyong-konyong datanglah hal-hal yang penting yang harus saya selesaikan sebelum meninggalkan Yogya, sehingga terpaksalah saya pamitan kepada Dinda dengan surat ini saja, –dengan hati yang berat.

Dinda,

Dinda tahu perasaan Kanda terhadap Dinda. Ibaratnya, hatiku ini adalah kitab yang terbuka di hadapan Dinda. Politik pun Kanda satu buku yang terbuka bagi Dinda.

RIS yang kita capai sekarang ini, bukanlah tujuan kita yang terakhir. RIS kita pakai sebagai alat untuk meneruskan usaha perjuangan kita. Dalam usaha di perjuangan yang masih di hadapan kita itu, Kanda masih membutuhkan tenaga atau fikiran Dinda. Karena itu Kanda mengharap supaya Dinda tetap memberi bantuan itu kepada Kanda.

Banyak kekhilafan Kanda sebagai manusia, –juga terhadap Dinda. Karena itu, pada saat saya akan meninggalkan Yogya ini, saya minta supaya Dinda suka memaafkan segala kekhilafan atau kesalahan Kanda, maafkanlah dengan ikhlas!

Kanda doakan kepada Tuhan, moga-moga Dinda segera sembuh. Dan mohonkanlah juga, supaya Kanda di dalam jabatan baru ini, selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa suatu apa, hanya Dia-lah yang menentukan segalanya.

Sampaikan juga salam ta’zim isteriku kepada Zus Dirman. Isteriku pun minta diberi banyak maaf, dan doa kehadirat Tuhan.

Sekian saudaraku!

Merdeka!

Soekarno

27/12/’49.    

[Berbagai sumber, termasuk Setgab.go.id]

Back to top button