Swiftonomics Versus Van Halenomics
Menko Marves Luhut Panjaitan pun merepet “agak laen” saat membuka acara Business Matching 2024 pada Kamis (7/3), dengan menyemburkan otokritik pedas terhadap jajaran Pemerintah RI yang disebutnya “kurang cerdas (dibandingkan Singapura) dalam mendatangkan Taylor Swift.” Lalu diumumkanlah bahwa Indonesia dalam enam bulan ke depan akan mengadakan konser tandingan melalui konser eksklusif artis internasional lainnya. Terpukul betul Opung LBP tampaknya dengan kesuksesan Singapura menggaet Miss Americana.
Oleh : Akmal Nasery Basral*
Pengantar:
Sabtu petang jelang maghrib kemarin (9/3) saya dikontak kawan lama, Gonon Suherman. Alumnus Jurusan Ilmu Politik UI 1987 itu menyampaikan sejumlah informasi yang menurutnya harus saya ketahui, sekaligus menyampaikan harapan agar saya kembali menulis di bulan Ramadan serial opini populer SKEMA (Sketsa Masyarakat) seperti pada bulan suci tahun sebelumnya yang mengulas satu topik setiap hari dari sudut pandang sosiologi. Untuk menghormati permintaannya, saya tuliskan topik ini meski tidak berkaitan dengan Ramadan tapi merupakan salah satu topik viral sepekan terakhir.
—
1/
Saya dan Gonon bukan Swifties, seperti—mungkin–sebagian besar pembaca tulisan ini. Swifties adalah julukan bagi fans Taylor Swift kelas berat yang hapal seluruh judul album, judul lagu, syair lengkap hingga titik koma, jadwal konser “The Eras Tour” di seluruh dunia, serta info trivia lainnya dari sang penyanyi pop-country. Tsunami popularitasnya menyebabkan pengaruh ekonomi yang disebut Swiftonomics.
Dahsyatnya Swiftonomics terlihat pada KTT ASEAN-Australia di Melbourne, 4-6 Maret. Krisis kemanusiaan di Myanmar dan ketegangan politik di Laut Cina Selatan yang seharusnya menjadi agenda utama pertemuan, akhirnya tergeser gelombang topik Swiftonomics. PM Australia Anthony Albanese dan PM Singapura Lee Hsien Loong membicarakan itu saat melakukan jumpa pers bersama.
Untuk konser “The Eras Tour” tahun 2024 di kawasan Asia Pasifik, memang hanya kedua negara plus Jepang yang mendapatkan jatah menyelenggarakan konser dari manajemen Taylor Swift. Menparekraf Sandiaga Uno melihat kesuksesan tiga negara tersebut merupakan ciri entrepreneurial government yang kohesif antara pemerintah dengan pengusaha sektor hiburan dan pertunjukan dalam ekosistem bisnis musik global.
Sebagai ilustrasi di AS tahun 2023, Swiftonomics menggerakkan roda perekonomian mencapai $5 miliar, atau lebih besar dari ekonomi Timor Leste. Sementara konser enam hari di Singapura, 3–9 Maret, yang baru usai berhasil mendulang keuntungan Sin $500 juta (Rp6 triliun) bagi ekonomi Singapura. Bikin kesal Pemerintah Thailand dan Filipina yang keki dengan cara Singapura memonopoli sang penyanyi.
Menko Marves Luhut Panjaitan pun merepet “agak laen” saat membuka acara Business Matching 2024 pada Kamis (7/3), dengan menyemburkan otokritik pedas terhadap jajaran Pemerintah RI yang disebutnya “kurang cerdas (dibandingkan Singapura) dalam mendatangkan Taylor Swift.” Lalu diumumkanlah bahwa Indonesia dalam enam bulan ke depan akan mengadakan konser tandingan melalui konser eksklusif artis internasional lainnya. Terpukul betul Opung LBP tampaknya dengan kesuksesan Singapura menggaet Miss Americana.
2/
Di luar urusan ekonomi, ada faktor sosiologis-historis yang menautkan Taylor Swift dengan Singapura. Ibunya, Andrea Swift, menghabiskan masa remaja di sana bersama orang tua dan seorang saudari perempuan. Tinggal dan bersekolah bertahun-tahun,. “Saya merasa dekat dengan Singapura sejak lama dari cerita ibu saya,” ungkap Taylor. Itu sebabnya sebelum konser hari pertama, Taylor diajak ibunya napak tilas ke bekas rumah dan sekolahnya di Singapura. Yang berarti adalah rumah kakek dan nenek Sang Miss Americana. Faktor perekat emosional ini tidak dimiliki tiga negara ASEAN (Thailand, Filipina, dan Indonesia) yang sedang kesal dengan Singapura. Dari perspektif ini, kisah menjadi menarik jika Pemerintah Indonesia sungguh-sungguh ingin melakukan ‘balas dendam’ terhadap Singapura di pentas musik global.
3/
Seperti Singapura dengan Taylor Swift, Indonesia punya faktor historis lebih erat dengan grup rock Van Halen, yang dimotori kakak-adik Alex Van Halen (drum) dan Edward “Eddy” Van Halen (gitar). Tak seorang pun pendengar musik rock—termasuk Gen Z sekarang—yang tak pernah mendengar nama grup legendaris ini dan lagu-lagu hit mereka seperti “Jump” atau “Dreams”. Di sini fakta sosio-historis tersedia: ibu kandung Alex dan Eddy adalah seorang perempuan Indo-Belanda bernama Eugenia Van Beers yang lahir dan besar di kawasan perkebunan di Rangkasbitung, Banten, menurut catatan sejarah kurator Museum Multatuli di Rangkasbitung dan sejarawan-pemimpin redaksi majalah Historia, Bonnie Triyana.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, seorang pemusik jazz Belanda bernama Jan Van Halen sedang mengadu nasib di Hindia Belanda. Dari rencana awal hanya 6 pekan berubah menjadi 6 tahun. Sepotong iklan koran Het Dagblad edisi 22 April 1948, contohnya, menyebut siaran musik selama setengah jam di Radio Batavia pukul 20.00 menampilkan trio Gyuri Rosenberg (piano), Andor von Sey (cello) dan Jan Van Halen (clarinet). Iklan lainnya bertarikh 12 Oktober tahun yang sama, mempromosikan penampilan Jan di Radio Indonesia Studio Batavia pukul 21.15.
Di periode itulah Jan berkenalan dengan Eugenia sebelum menikah pada 1950 dan hidup bahagia di Negeri Khatulistiwa. Namun kebijakan repatriasi (pemulangan) orang-orang Belanda yang dijalankan Orde Lama membuat pasangan muda tersebut harus hijrah ke Negeri Kincir Angin, tempat lahirnya anak-anak keluarga Van Halen: Alexander Arthur dan Edward Lodewijk. Beberapa wawancara yang dilakukan Alex dan Eddie setelah mereka tenar selalu menyebut Rangkasbitung sebagai daerah asal ibu mereka meski, ironisnya, keduanya belum pernah berkunjung ke sana sampai Eddie wafat pada 6 Oktober 2020.
Lalu bagaimana caranya Indonesia menggelar konser Van Halen tanpa Eddie yang merupakan magnet utama band ini? Masih bisa! Sebab, Eddie memiliki putra tunggal bernama Wolfgang Van Halen, 31 tahun, seorang musisi multi-instrumentalis yang mewarisi kejeniusan musikalitas ayahnya.
Wolfie, nama panggilannya, sudah dikader Eddie sebagai pemain bas Van Halen sejak berusia 16 tahun (2007). Sejak saat itu dia selalu tampil bersama ayah dan pamannya, meski setelah ayahnya wafat dia punya band sendiri bernama Mammoth. Prestasinya juga tak main-main dengan mendapatkan nominasi Piala Grammy 2022 kategori Best Rock Song dengan lagu “Distance”.
4/
Bagaimana cara Pemerintah Indonesia mengundang Van Halen untuk (rangkaian) konser historis di tanah air? Itu tugas Menparekraf Sandiaga Uno dan jajaran untuk memikirkan dalam 6-7 bulan terakhir pemerintahan ini. Memang tidak mudah, tetapi secara teoritis masih mungkin. Tidak mustahil sama sekali.
Van Halen formasi 2024 yang (harus) ditampilkan adalah Alex Van Halen, Wolfgang Van Halen (menggantikan ayahnya Eddie), Michael Anthony (pemain bas awal VH) serta Dave Lee Roth atau Sammy Hagar—salah satu dari mereka–yang pernah mengisi posisi vokalis VH.
Agar nuansa emosional-spiritual dengan Rangkasbitung lebih terasa, konser harus digelar di Banten International Stadium berkapasitas 30 ribu penonton, atau Stadion Uwes Qorny, Rangkasbitung, yang lebih kecil. (Nama stadion berasal dari nama almarhum Uwes Qorny, salah seorang tokoh berdirinya Provinsi Banten). Jika konser dihelat lebih dari satu kali, panggung lainnya adalah Gelora Bung Karno atau Jakarta International Stadium (JIS) yang sama-sama gigantik.
Pecinta musik rock mancanegara akan berdatangan. Bersama penonton domestik dari era 80-90’an yang kini menjadi kelas menengah mapan akan menciptakan “Van Halenomics” yang menggerakkan ekonomi Rangkasbitung dan Banten secara lokal dan ekonomi Indonesia secara nasional. Sementara bagi Alex dan Wolfie, kedatangan ke Rangkasbitung yang merupakan tanah kelahiran ibu dan nenek mereka Eugenia, akan menjadi perjalanan emosional-kultural mencari akar silsilah dan sejarah. Maka, “Van Halen in Indonesia Tour” ini akan berubah derajatnya dari konser biasa menjadi konser sarat makna.
Jika tulisan dan ide ini sampai ke layar gawai Menko Marves Luhut Panjaitan dan Menparekraf Sandiaga Uno, yakinlah Bapak-bapak, bahwa konser ini bisa menjadi tandingan konser Taylor Swift di Singapura tanpa menjadikan Indonesia terlihat sebagai follower mereka yang membabi buta. Tentu selama spirit kolaborasi “entrepreneurial government” terpenuhi.
Dampak ekonomi Van Halenomics mungkin tak sebesar Swiftonomics, tetapi mungkin juga bisa. Semua hanya bisa dibandingkan jika konser Van Halen terlaksana di Indonesia. Sebab—meminjam sebaris larik dari lagu mereka berjudul “Dreams”:
“And in the end/On dreams we will depend/’Cause that’s what love is made of.” [dsy]
Cibubur, 10 Maret 2024
*Penulis, mantan redaktur budaya majalah Gatra dan Tempo, serta pemimpin redaksi pertama majalah musik MTV Trax (2002).