Tan Sie Tiat, Petinju Hebat Indonesia Sebelum Perang Dunia II
JAKARTA—Kapan olahraga tinju masuk Indonesia? Belum ada penelitian serius yang memastikan waktunya. Namun diduga olahraga itu masuk Indonesia sekitar tahun 1918-an dan tak sampai satu dekade sudah mulai dikenal publik.
Amerika Serikat, tempat yang diduga menjadi asal olahraga ini, mencatat sebuah pertandingan besar tinnu antara Paddy Ryan melawan John L Sullivan pada 7 Juni 1882. Tak ada Batasan berat badan, asalkan kedua petinju sama-sama siap bertarung. Saat itu pun sistem ronde belum dikenal, begitu pula masa istirahat di antara ronde. Pertandingan dimulai dan berakhir setelah salah satu petinju roboh. Satu lagi sebelum luput: kedua tangan petinju telanjang tanpa sarung tangan!
Pada pertandingan kedua Sullivan setelah memenangkan pertarungan lawan Ryan, baru dikenal sstem ronde. Tahukah pada ronde berapa ia berhasil mengalahkan Charley Michel? Di ronde 39, Saudara-saudara!
Oke, anggaplah itu pengantar sebelum kita bicara tentang olahraga tinju di Indonesia, terutama tentang tokoh yang sempat melambungkan dan dilambungkan olahraga keras ini: Tan Sie Tiat.
Lahir sebagai anak kedua dari 10 bersaudara pada 5 Februari 1904 di Surabaya, begitu akil balig Sie Tiat sangat menggemari olahraga. Selesai Hollandsche Chineesche School (HCS) di Kepanjen hingga kelas 4, yang dilanjutkannya dengan bersekolah di Christelijke School hingga kelas 7, Sie Tiat muda bekerja pada ayahnya, Tan Ping Liam, seorang anemer (makelar?) aspal. Segan bekerja pada ayah sendiri, Sie Kiat sempat pula bekarj pada kantor berita ‘Aneta’ di Surabaya.
Saat-saat itulah, orang-orang melihatnya sebagai seorang yang sangat antusias berolahraga. Tak cukup dengan bersepeda alias menggowes fiets Surabaya-Gresik pulang pergi,di malam-malam buta saat orang tertidur pulas, Sie Tiat sering terlihat berlatih lari menempuh jarak Bongkaran-Tanjung Perak.
“Seringkali orang liat, di waktu malem, sedeng kebanyakan orang telah tidur pules, ia train lari antara Surabaya dan Grissse, juga pulang pergi,” tulis Tio Soei Ie, penulis ‘Riwajatnja Satoe Bokser Tionghoa’ yang diterbitkan Bloemenhandel De Hoop, pertengahan 1929.
Tetapi baru tahun 1921 Sie Tiat belajar bertinju. Pelatihnya seorang kelasi Belanda bernama Kuiper—saat itu kebanyakan petinju adalah kelasi yang terbiasa melakukan perkelahian jalanan, yang sedang tidak berlayar. Awalnya Sie Tiat terpesona penampilan Kuiper saat mengalahkan lawannya, Mathias, sesama kelasi pada pertandingan boksen yang digelar di Pasar Malam Tiong Hoa Hwee Kwan Surabaya pada pertengahan 1921.
Sie Tiat sangat bernafsu menjadi bokser. Saking inginnya menjadi petinju, Sie Tiat disebut-sebut berani mengeluarkan uang sebesar f 300, yang dibayarkannya langsung kepada Kuiper. Hal itulah yang konon membuat Kuiper mau mengajarinya, selain melihat bakat bertarung anak muda Tionghoa berberat badan 57 kg itu.
Debut Sie Tiat adalah pertandingannya melawan Mahlberg di Pasar Malem Thay Tong Bong Yan di Koblen. Sebagaimana lazimnya saat itu, Sie Tiat yang hanya punya berat 57 kg itu nekat menantang Mahlberg yang saat ditimbang memiliki berat badan hampir 70-an kilo. Tapi karena memang aturannya belum ada, keduanya bertanding berbaku pukul untuk 10 ronde.
Hasilnya, saat ronde keenam Sie Tiat sudah dianggap menang punten (angka). Sekali lagi, karena aturannya juga samar, Sie Tiat yang merasa menang enam ronde, di akhir ronde 6 tak lagi mau melanjutkan pertarungan. Toh kan dia sudah menang enam ronde! Juri pun memenangkan Mahlberg dengan opgave.
Setelah penampilan perdananya, Sie Tiat mendatangi nyaris setiap pasar malam menggelar pertandingan tinju, di mana pun. Semua dijalaninya hingga tahun 1925. Tio Soei Ie yang membuat buku khusus perjalanan kariernya menulis, Sie Tiat tak hanya dikenal di Hindia Belanda. Namanya bahkan telah sampai ke Singapura dan Siam (Thailand). Mungkin karena pengaruh diaspora Tionghoa yang ada di kedua negara tersebut.
Pada 1925, setelah puluhan kali naik ring dengan hanya sekitar dua kali kalah, Sie Tiat mengundurkan diri dari ring sama sekali. Wajar, karena tanpa bertinju pun keluarga besarnya tergolong kaya. Beberapa kali ia masih mau menjadi juri pertandingan tinju tanpa dibayar. Tapi untuk kembali bertinju, Sie Tiat menolak tegas.
Pernah pada tahun 1927, sebuah panitia dari Tulungagung memintanya kembali main boksen dengan janji mendapatkan bayaran f 500. Sie Tiat menolaknya mentah-mentah. Pada 15 Oktober tahun itu, Tan Sie Tiat menikah. Konon, 700-an orang Tionghoa hadir dalam resepsi pernikahannya, mengucapkan selamat. Saat dirinya pergi ke Ngawi untuk menggelar resepsi di pihak mempelai perempuan, 80-an orang menyertainya, termasuk dua grup muziekcorps atawa grup band untuk memastikan kemeriahan. Saat ini, kita mengenangnya dengan hormat. [ ]