“Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” dan Tuduhan Plagiat*
Barangkali belum kering ingatan kita manakala orang membicarakan sajak-sajak Chairil Anwar beberapa tahun yang lalu, yang sering dihubung-hubungkan dengan Marsman, Slauerhoff, Archibald MacLeish dan lain-lain. Ini pun ditinjau orang dari pelbagai segi dengan cara yang agak tenang pula, dan barulah kemudian dibikin jernih lagi dengan terbitnya buku HB Jassin, “Chairil Anwar—Pelopor Angkatan 45”.
Oleh : Ali Audah
JERNIH—Sejak sebulan yang lalu (September 1962—Red Jernih) kalangan sastra di Jakarta terutama, sibuk membicarakan masalah novel Hamka, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk”, karena tuduhan sebagai hasil jiplakan karya pengarang Prancis Alphonse Karr, adaptasi pujangga Manfaluthi. Kalangan pers juga sudah mulai membuat berita-berita dan interview-interview sekitar persoalan ini. Semua ini tentu kita harap akan bisa dijernihkan, bila kita menempatkan persoalan itu pada tempatnya yang wajar, dengan selalu bersikap lebih tenang dan hati-hati.
Perlu juga kita lebih dulu mencatat, bahwa Manfaluthi sudah tidak lagi menyalin buku itu menurut aslinya dari bahasa Prancis, melainkan sudah diringkaskan saja (menjadi dua ratus delapan puluh delapan halaman berukuran enam belas kali dua puluh empat setengah centimeter) dan di sana-sini sudah diadakan perubahan-perubahan, seperti dikatakan Manfaluthi dalam kata pengantarnya, ketika buku masih disiarkan secara bersambung dalam kumpulan karangannya “An-Nazarat” jilid II, terbitan Al-Ma’arif, Kairo (1912).
Bukan soal baru
Soal “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” yang diragukan orang itu, sebenarnya bukan soal baru sekarang ini saja kita hadapi, melainkan sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi bukan untuk dihadapkan sebagai suatu hasil jiplakan tanpa ada suatu peninjauan dan analogi lebih jauh. Juga tentunya dengan tidak melupakan kelaziman cara orang membicarakan karya-karya sastra. Berapa banyak karya sastra yang pernah diragukan orang, karena dianggap mengandung persamaan dengan karya-karya orang lain, baik berupa buku, film dan lain-lain misalnya.
Kita akan merasa bangga, bila ada suatu karya yang diragukan dapat kita selami untuk mencari suatu penyelesaian dengan cara yang begitu meyakinkan dan brilian. Seorang kritikus sastra Mesir yang sangat terkenal di dunia sastra Arab, Dr Zaki Mubarak, pernah membuat semacam studi komperatif persajakan yang sungguh menarik. Seorang penyair besar Mesir, Ahmad Syauqi (1868-1932), yang kini akan didirikan patungnya dari pualam di Roma, sangat terkenal juga karena sajaknya “Nahjul Burdah”, sebuah sajak eulogi kepada Nabi Muhammad SAW.
Sajak ini kemudian dibandingkan dengan sajak-sajak Busiri (1213-1296) yang sama pula maksudnya, dan dari sini dibandingkan pula dengan sajak-sajak dari penyair Abu Tammam (807-845), dan dari sini berpangkal pula kepada sajak Ka’b bin Zuhair, yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW. Zaki Mubarak membuat perbandingan, membuat analogi dan dibuatkan pula skema. Kemudian ia selesai dengan cara yang meyakinkan, bahwa sajak-sajak Syauqi itu bukanlah plagiat. Ia hidup dengan kepribadiannya sendiri dengan sajaknya, “Nahzul Burdah” itu.
Dan masih terlalu banyak cara lain yang dapat kita baca dari kritisi (kritikus?—red) sastra dalam hal serupa ini. Pernah juga kita lihat bahwa Dante Alighieri (1265-1321) katanya menciptakan “La Divina Comedia” karena pengaruh “Risalat’l-Gufran” oleh Al Ma’arri (975-1057). Dan dalam zaman modern ini akan lebih banyak lagi rupanya orang bisa mengambil perbandingan dan contoh-contoh yang hampir serupa. Orang semua tahu bahwa Andre Gide menciptakan dramanya, “Oedipe”, yang sepintas lalu sama dengan Sophokles, bukan sekadar mau cerita tentang Oedipus yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya serta mau memecahkan masalah takhayul di Yunani dalam abad ke-5 sebelum Masehi. Tapi dia punya problem sendiri yang mau ia katakana kepada kita.
Jean Giraudoux menciptakan “Siegfried” disesuaikan dengan Perang Dunia II, dengan mengubahnya menjadi seorang prajurit Prancis yang mendapatkan luka-luka di medan perang. Dan menarik sekali ketika kaum kritisi sastra bicara tentang drama “Electre”, oleh Giraudoux juga, yang mula-mula oleh Aeskylus dimaksud hendak mengolah masalah kepercayaan kemudian iolah kembali oleh Sophokles untuk semata memecahkan persoalan manusia, dengan mengadakan perubahan-perubahan di sana-sini, dan kemudian datang lagi Euripides dengan rangka cerita yang sama, tetapi persoalan yang dihadapinya sudah lain lagi.
Dan dalam abad kedua puluh datanglah Hugo von Hofmannsthal, penyair besar Austria, yang dalam mengambil rangka itu untuk dipakai memecahkan masalah zaman modern ini, hanya dikatakan orang membuat imitasi bebas dari Sophokles, dan karena bukunya “Das Gerettete Venedig” ia hanya dikatakan mengikuti jejak dramawan Inggris Thomas Otway.
Sesudah itu muncul lagi Jean Giraudoux dan lain-lain menyadap “Electre” kembali. Ada kritikus berpendapat, bahwa ia mengambil rangka itu untuk dramanya, bukan sekadar mau cerita tentang komplikasi antara Agamemnon Clytemnestra dan Iphigenia yang mau membesar-besarkan balas dendam, tapi dengan itu ia mau memecahkan masalah genting yang dihadapi Prancis kala itu dalam bidang politik, moral, soal multipartai dan krisis ekonomi. Sesudah Perang Dunia II muncullah Jean Paul Sartre tiba-tiba membawa drama “Les Mouches” yang dipakainya sebagai kerangka mengemukakan ide sendiri untuk memecahkan masalah eksistensialisme.
Orang pernah juga menyebut, dengan penuh rasa penghargaan, bahwa satiris besar Sinclair Lewis, pengarang Amerika pertama yang mendapatkan Nobel Sastra, karya-karyanya yang belakangan banyak persamaannya dengan karya-karya Rose Macaulay. Dan tentunya masih terlalu banyak contoh-contih serupa jika mau kita ambil sebagai perbandingan.
Dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” itu pun saya yakin Hamka bukan sekadar mau memindahkan cerita “Sous les Tilleuls” atau Alphonse Karr dan ide pengarang tentang masyarakat dan kehidupannya serta romantisme Austria beberapa abad yang lalu, tapi ia mau bicara tentang kekuasaan “ninik-mamak” di Minangkabau seperembat abad lalu.
Mengenai persoalan yang sedang kita hadapi sekarang ini pun, jika orang masih berhasrat untuk terus memperpanjang, baikalh kita menetapkan dulu suatu patokan; apakah yang disebut plagiat, jiplakan, saduran, adaptasi, terjemahan, terjemahan bebas, refleksi, sadapan, pengaruh, asosiasi dan lain-lain? Bagaimana keseluruhan cerita Alphonse Karr atau Manfaluthi dalam hal ini, apa latar belakang, ide dan problem yang mau dipecahkan pengarang dan bagaimana pula dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk”, latar belakangnya, ide dan problem pengarang, suasana dan zaman waktu buku itu ditulis? Di mana persamaan, dan di mana perbedaannya? Bila ini sudah terlihat, tinggallah kita menarik garis pemisah yang pasti dan meyakinkan: plagiat atau bukan plagiat.
Dengan demikian kita tak perlu membuang terlalu banyak tenaga dan waktu, mengadakan perdebatan tak berkesudahan, yang hanya akan membawa kerugian kepada sesame pengarang dan masyarakat Indonesia bila nanti tak bisa memberikan hasil yang konkret, di samping mungkin saja kita ditertawakan orang luar.
Barangkali belum kering ingatan kita manakala orang membicarakan sajak-sajak Chairil Anwar beberapa tahun yang lalu, yang sering dihubung-hubungkan dengan Marsman, Slauerhoff, Archibald MacLeish dan lain-lain. Ini pun ditinjau orang dari pelbagai segi dengan cara yang agak tenang pula, dan barulah kemudian dibikin jernih lagi dengan terbitnya buku HB Jassin, “Chairil Anwar—Pelopor Angkatan 45”.
Supaya dalam persoalan ini kita tidak merasa selalu dalam kekaburan, saya rasa tidaklah dapat kita diyakinkan hanya dengan mengadakan perbandingan-perbandingan—baik persamaan atau pun perbedaannya—yang tidak dapat diambil secara keseluruhan, baiklah bila dalam hal ini orang menempuh jalan lain, yang akan dapat lebih diterima dan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakat sastra, yaitu dengan membiarkan orang meninjau sendiri. Untuk itu saya menyetujui pula usul supaya “Saous les Tilleuls” adaptasi Manfaluthi itu seluruhnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. [ ]
*Pernah dimuat “Suluh Indonesia” 10 Oktober 1962