Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [10–Selesai]
Dia memilih menoleh ke belakang. Dan benar seperti apa yang diduganya. Di hadapannya terpampang sebuah pemandangan yang amat menggelorakan hatinya. Di hadapannya Nyi Naimah sudah berdiri penuh gelora. Gadis manis berlesung pipit dengan mata berbinar itu kini sudah terkuak semuanya. Tak ada benang selembar pun yang menutupi tubuhnya. Amboi, tubuh itu begitu putih mulus dan halus. Bila ada lalat yang hinggap, maka tubuh lalat itu akan jatuh ke tanah saking licinnya tubuh gemulai itu. Nyi Naimah datang padanya sambil bergerak-gerak menggelorakan berahi.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH– Lendra pingsan. Ketika siuman, dia sudah berada di pembaringan. Di sisinya, Nyi Indangwati duduk tengah merawat luka di bahunya.
“Nyimas… kau menolongku?” tanya Lendra menatap wajah cantik di mana tangan-tangan yang lentik dan halus itu tengah merawat luka di bahunya.
“Ya, sebab saya punya utang budi pada Kakang yang dulu merawat lukaku …” tutur Nyi Indangwati mengingatkan peristiwa dulu ketika gadis itu terkena luka anak-panah.
“Apakah dengan demikian, kita sudah impas satu-sama lain tak punya utang lagi, Nyimas?” tanya Lendra.
Yang ditanya hanya tersenyum kecil.
“Apakah bila tak punya utang budi, engkau tak bakalan menolongku lagi, Nyimas?” tanya Lendra.
“Engkau adalah lelaki gagah yang punya harga diri tinggi. Mustahil orang sepertimu bisa merengek-rengek minta pertolongan orang lain?” tanya Nyi Indangwati sungguh memukul perasaan Lendra.
“Ya, Kakang sungguh ingat lantunan nyanyianmu, bahwa tak baik orang hanya meminta saja, sebab sebuah nilai kemanusiaan akan terjadi bila di antara sesama saling memberi dan bukan hanya saling meminta saja …” keluh Lendra sebab dia merasa kalau keinginannya tak akan terkabul.
“Apa yang engkau inginkan sebenarnya, Kakang?” tanya Nyi Indangwati seperti tahu akan isi hati Lendra.
“Ya … engkau sudah pasti tahu akan keinginanku. Bahkan keinginanku ini sudah kau sampaikan kepada ayahandamu, Nyimas,” kata Lendra.
“Ya. Bagaimana tanggapan ayahanda?”
“Dia menolaknya …” kata Lendra menghela-napas.
Nyi Indangwati pun sama menghela napas.
“Kalau ayahanda menolak, maka tak ada yang bisa mengubah pendiriannya,” kata Nyi Indangwati.
“Ya Kakang mengerti. Dan ini artinya Kakang musti berjuang sendiri …” kata Lendra.
“Maksudmu, bangsamu akan melawan bangsaku?”
“Kakang tak tahu, seperti apa perjuangan itu. Kakang pun tak mewakili bangsaku sebab kini aku jadi orang terasing di sana. Bendara Wedana bahkan sudah mengacuhkanku sebab tersinggung atas sikapku,” kata Lendra.
“Mengapa begitu?” Maka Lendra memaparkan kisah-kisahnya. Betapa peristiwa-peristiwa aneh yang melanda dia dan temannya bernama Jang Dayat dianggap telah memberi pengaruh buruk terhadap masyarakat Rancah.
“Setelah mendengar kisah Jang Dayat bahwa bangsamu tak merestui pengeringan Rawa Onom, maka hampir semua orang Rancah merasa takut dan tak mau diajak bekerja mengeringkan rawa. Kakang pun kena getahnya ditegur oleh Bendara Wedana. Maka sebagai penebus dosa, Kakang berjanji kepada Bendara untuk mengusahakan agar masyarakat tak takut lagi. Itulah sebabnya Kakang memerlukan datang ke tempatmu. Karena Kakang hanya kenal engkau, maka tadinya Kakang akan minta pertolonganmu. Namun di keraton aku tak bisa bertemu denganmu. Yang ada hanyalah ayahandamu dan patihnya. Pihak keraton menolak permintaanku …” keluh Lendra.
Nyi Indangwati hanya terpekur mendengarnya.
“Kau pun tak setuju dengan rencana bangsa kami?” tanya Lendra kemudian.
Jawab Nyi Indangwati: “Bila saya pun termasuk bangsamu, tentu saya akan mendukungnya. Tapi antara kalian dengan kami tentu ada kepentingan yang beda. Kami senang kelestarian alam, sementara kalian tidak. Mari dengarkan lantunan ujar-ujar kami …”
Maka Nyi Indangwati melantunkan nyanyiannya lagi.
Lamun nyatu tamba henteu lapar
lamun nginum tamba henteu hanaang
lamun hees tamba
henteu nundutan,
lamun dibaju tamba henteu dicangcut …
(Bila makan sekadar tidak lapar
bila minum sekadar tidak dahaga
bila tidur sekadar tidak ngantuk
bila memakai celana dalam sekadar tak berpakaian …)
“Begitu sederhananya sikap-hidup kami. Semuanya tak berlebihan. Semuanya tak bersifat serakah. Dan semuanya tidak merusak. Sementara di bangsa kalian, bila ingin makan, maka makan banyak-banyak. Bila ingin minum, maka minum banyak-banyak. Bila ambil ikan di rawa, kebutuhan dua ekor, maka ambilnya sepuluh ekor.”
“Bila mungkin, seluruh air dikeringkan agar seluruh ikan bisa diambilnya. Demikian pun bila masuk hutan. Ambil kayu banyak-banyak, berburu binatang banyak-banyak, padahal keperluannya tak sebanyak itu. Itulah sebabnya bangsaku suka mengerutkan dahi bila bangsamu punya rencana besar. Boleh dikata, kami tak punya kepercayaan bahwa bangsamu bisa mengurus alam baik-baik …” tutur Nyi Indangwati panjang-lebar.
Mendengar ocehan ini, Lendra menunduk lesu. Demikian burukkah perilaku manusia sehingga tak dipercayai mahluk gaib?
“Seandainya perilaku bangsaku sama dengan perilaku bangsamu …” gumam Lendra seperti tak tuntas.
“Apa maksudmu, Kakang?” tanya Nyi Indangwati melirik sedikit sayu.
“Ya, seandainya bangsaku bisa hidup apik dan teratur mengurus alam, apakah kalian akan mempercayai dan merestui rencana besar yang akan dihadapi Bendara Wedana?” tanya Lendra lagi. Mendengar ini, kembali Nyi Indangwati tersenyum tipis.
“Direstui atau tak diberi restu, sebenarnya itu merupakan sesuatu yang terpisah dari rencana besar bangsamu. Tidak berarti bahwa bangsa kami tak merestui lantas rencana besar kalian musti digagalkan. Kan sudah saya katakan, bahwa sebenarnya kepentingan kita ini berbeda. Kami hanyalah bangsa yang sederhana dan tak berlebihan, sementara kalian adalah bangsa yang banyak cita-cita dan berkeinginan besar. Jangankan ingin menguak alam di bumi, bahkan untuk menguak rahasia alam di langit, bangsa kalian kelak akan berusaha,” kata Nyi Indangwati lagi.
“Maksudmu, apakah bangsamu akan membiarkan kami melanjutkan rencana besar ini?” tanya Lendra kemudian.
“Itu sudah menjadi urusan kalian. Bahwa nanti akan terjadi sesuatu lantaran beda kepentingan, sudah barang tentu akan terjadi. Jangankan antara mahluk yang beda bangsa. Bahkan di sebuah lingkungan yang sama pun bila sudah beda kepentingan akan terjadi pertikaian.”
“Seorang penjala ikan di bangsa kalian tiba-tiba musti jadi petani karena rawa dikeringkan menjadi persawahan, tentu akan memberontak sebab dia tak bisa jadi petani, begitu sebaliknya. Nah, di bangsa kami, rawa diperlukan sebab di rawa kami bisa menjadi ikan, bila ingin merasakan makanan berupa rumput. Kami bisa jadi bangau, bila ingin makan ikan kecil. Begitu seterusnya. Jadi, betapa sengsaranya bangsa kami bila pada suatu saat rawa tak ada. Itu saja.”
Mendengar ini, Lendra kembali mengeluh. Betapa beratnya punya keinginan. Pikirnya, semua keinginan yang ada di benak siapa pun musti dipikir masak-masak sebelum melakukannya.
Sebab apalah artinya kebahagiaan bila cita-cita terlaksana sambil menyengsarakan pihak lain. Perbantahan antara Lendra dengan Nyi Indangwati tak pernah selesai. Satu sama lain tetap bertolak pada masing-masing kepentingan. Namun demikian, sebenarnya Lendra sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa sebenarnya bangsa onom tidak serta-merta melakukan penolakan dengan harga mati. Seperti apa kata Nyi Indangwati, kekhawatiran bangsa onom itu terjadi lantaran mereka tak percaya kepada manusia yang selalu bersikap serakah.
“Mungkin mereka tidak akan begitu keras menolak bila manusia bisa memenuhi harapan mereka, yaitu bangsa manusia jangan merusak alam …” tutur Lendra dalam hati.
Lendra kembali melangkahkan kakinya. Bahunya yang dibebat dedaunan obat masih terasa sakit, namun demikian, darah sudah lama kering. Seperti yang sudah dilakukannya, Lendra melangkah sambil tak mau menoleh ke belakang. Pengalaman beberapa waktu lalu membuktikan, bila menoleh ke belakang maka pandangan akan berubah. Istana megah beserta hal-hal indah lainnya akan berubah mendadak menjadi hutan belukar dengan berbagai mara bahayanya.
Ketika dia berjalan hati-hati di atas jalanan berbalay batu-batuan permata itu, di tengah jalan berdiri pula seorang gadis cantik. Melihat wajahnya, Lendra serasa pernah mengenalnya.
Gadis berlesung pipit dengan mata berbinar ini adalah emban bawahan Nyi Indangwati.
“Engkaukah Nyi Naimah?” tanya Lendra merandek.
Gadis berusia 17 tahun ini mengangguk dengan senyum menawan.
“Kau mencegatku?”
Untuk kedua kalinya gadis itu mengangguk dengan senyum dikulum.
“Mengapa?” tanya Lendra.
“Sebab kau adalah pemuda aneh …” tutur gadis itu.
“Apanya yang aneh?”
“Banyak lelaki di bangsa kalian susah-payah bertapa dan bersunyi diri sampai mau digigit nyamuk, bahkan dihampiri binatang buas. Semuanya pingin ketemu Nyimas. Sementara kau beberapa kali bertemu malah mengabaikannya …” kata Nyi Naimah.
“Mengapa mereka berusaha pingin bertemu Nyimas?” tanya Lendra.
“Mereka pingin menikahi putri Kerajaan Pulo Majeti. Sebab dianggapnya bila berhubungan keluarga dengan bangsa kami maka segala keinginan duniawi bakal terlaksana.”
“Ouw begitukah? Apakah cita-cita pingin mengeringkan rawa termasuk juga ke dalam sebuah keinginan duniawi?” tanya Lendra memancing.
Nyi Naimah kembali tersenyum. “Mungkin, ya, sebab itu masuk ke dalam hal-hal yang bersifat duniawi juga …” kilahnya.
“Apakah aku pun musti melamar Nyimas?” tanya Lendra kemudian. Maka untuk yang ke sekian kalinya Nyi Naimah tersenyum manis.
“Sudah diberi kesempatan banyak-banyak agar kau meminang Nyimas tapi kau abaikan selalu,” kata Nyi Naimah.
“Aku ingin tanya, apakah bila aku menikah dengannya cita-cita mengeringkan Rawa Onom akan terkabul?” Lendra tak menggubris ucapan Nyi Naimah.
“Setiap bangsamu yang pingin menikah dengan Nyimas adalah mereka yang memiliki ambisi pribadi, untuk kepentingan pribadi. Pingin kaya, pingin disegani atau pingin jadi pemimpin. Boleh dikata hanya kau seorang datang kesini lantaran cita-cita untuk kepentingan umum,” kata Nyi Naimah.
“Apakah bisa itu?” Lendra mendesak tapi Nyi Naimah tak menjawab ecara langsung.
“Cita-cita pribadi mudah dilaksanakan. Tapi cita-cita untuk kepentingan umum, bakal menyangkut hal-hal lebih besar lainnya. Apalagi sesuatu yang berhubungan dengan kerugian fatal di pihak si pemberi. Tak semudah itu,” tutur Nyi Naimah.
Lendra merenung. Dia ingat cita-cita Bendara Wedana. Dan dia pingin bantu cita-cita besar itu. Apa pun risikonya.
“Kalau cita-cita Bendara Wedana terkabul, aku rela menikah dengan Nyimas …” gumam Lendra.
Mendengar ini, Nyi Naimah ketawa renyah.
“Dasar bangsa manusia licin dan licik. Kau yang butuh tapi malah kau yang minta syarat …” kata Nyi Naimah menutup bibirnya dengan punggung tangan karena masih tertawa.
“Mintalah sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja,” katanya lagi.
Mendengar ucapan Nyi Naimah ini, Lendra mengatupkan bibirnya, sudah itu berlalu melangkahkan kakinya menyusuri jalan berbalay batu permata.
“Lendra … menikahlah dengan Nyimas. Dia amat kagum padamu,” terdengar suara Nyi Naimah.
“Dengan syarat mendukung pengeringan rawa?” tanya Lendra tanpa menoleh ke belakang.
“Kau manusia sombong. Tak sepantasnya jual-mahal di tempat ini,” Nyi Naimah menjadi berang.
Tapi Lendra terus melanjutkan langkahnya.
“Kau menolak cintanya Nyimas, maka akan kuwalat. Tapi itu bisa ditolong bila kau mau menikah dengan siapa saja di sini. Kau akan diterima menjadi bangsa kami,” kata Nyi Naimah. Namun Lendra seolah tak mau mendengarnya.
“Kalau kau tak menoleh padaku kau akan mati sebab akan bertarung dengan Siluman Aul. Dan kalau kau menoleh ke belakang, maka kau akan mati karena menahan berahi!” teriak Nyi Naimah.
Lendra bercekat. Maka serta-merta kakinya berhenti melangkah. Ada dua pilihan yang sama-sama membahayakan. Bila dia tak menoleh maka akan bertarung melawan Siluman Aul.
Barangkali yang dimaksud di sini adalah binatang aneh yang garang seperti kelelawar besar. Bisa terbang, berwajah mirip anjing dan berkaki seperti kera namun bersayap. Sudah dia rasakan betapa membahayakannya binatang menjijikan itu. Pilihan kedua adalah mati karena menahan berahi. Kaum lelaki memang paling rawan dalam menghadapi hal yang satu ini.
Tapi Lendra tak takut dengan yang ini.
“Wuah, mustahil aku tak kuat menahan gelora cinta. Sudah aku buktikan menghadapi mahluk secantik apa pun aku bisa kuat menghadapinya!” tutur Lendra. Berkata begitu sambil dia memilih menoleh ke belakang. Dan benar seperti apa yang diduganya. Di hadapannya terpampang sebuah pemandangan yang amat menggelorakan hatinya. Di hadapannya Nyi Naimah sudah berdiri penuh gelora. Gadis manis berlesung pipit dengan mata berbinar itu kini sudah terkuak semuanya. Tak ada benang selembar pun yang menutupi tubuhnya. Amboi, tubuh itu begitu putih mulus dan halus. Bila ada lalat yang hinggap, maka tubuh lalat itu akan jatuh ke tanah saking licinnya tubuh gemulai itu. Nyi Naimah datang padanya sambil bergerak-gerak menggelorakan berahi.
Lendra akan memalingkan muka. Namun lehernya terasa kaku. Matanya pun tak bisa dia gerakkan untuk melihat ke arah lain. Maka yang kini dilihatnya hanyalah gerakan-gerakan erotik dari tubuh Nyi Naimah. Ada harum semerbak lewat di depan hidungnya. Ada dengus napas dan erangan serta rintihan perlahan yang lewat di telinganya. Nyi Naimah merengek-rengek manja dan itu semua sungguh menggelorakan hasrat birahinya. Bergidik bulu-kuduk Lendra. Tubuhnya pun menggeletar seperti orang menderita demam hebat. Dadanya turun-naik dan napasnya memburu. Tak terasa, pemuda itu mencabik-cabik pakaiannya sendiri. Tak puas dengan mencabik pakaiannya, maka dicabiknya pula seluruh tubuhnya sampai berdarah-darah. Lendra berteriak-teriak, sebab tak kuat menahan gelora hatinya.
Dia hampir menerjang untuk mendekap gadis itu. Namun ketika hasratnya sudah tak tahan, dia balikkan tubuhnya ke belakang. Maka begitu membalik, begitu terlihat ada mahluk garang menerjangnya. Mahluk mengerikan itu mencakar wajahnya. Mencabik-cabik dadanya, bahkan menggigit lehernya. Lendra berupaya keras untuk menghindar dan melawan. Bila tadi tubuhnya menggeletar karena menahan gelora berahi, kini bergeletar karena menahan rasa takut dan kengerian.
***
Bendara Wedana merasa kehilangan pemuda bernama Lendra. Beliau merasa menyesal telah menegurnya. Padahal rasa takut warga Rancah atas keberadaan Rawa Onom bukan lantaran hasutan pemuda itu semata. Bendara Wedana jauh hari pun sudah tahu, bahwa daerah Rawa Onom sudah disebut-sebut sebagai daerah angker. Hanya karena Lendra mengatakan bahwa penghuni Rawa Onom keberatan dengan rencana pengeringan rawa, maka seolah semua kesalahan ditimpakan kepada pemuda itu.
Sampai berminggu-minggu lamanya, orang dikerahkan untuk mencari Lendra. Pinggiran hutan dan rawa ditelusuri kalau-kalau pemuda itu celaka di sana. Namun Lendra tak bisa ditemukan. Kalau dia mati, musti diketahui di mana kuburnya. Tapi Lendra bagaikan ditelan bumi, tak ada kabar beritanya.
Sementara itu, masyarakat semakin menjauh juga dari ajakan Bendara Wedana. Pada umumnya mereka enggan ikut rencana pengeringan rawa. Apalagi di saat-saat itu, bersamaan dengan hilangnya Lendra, di Rancah timbul penyakit malaria dan banyak makan korban.
Bendara Wedana bersedih hati. Selain dia kehilangan pekerja yang amat setia namun keras hati, Bendara pun bersedih karena belum bisa melaksanakan cita-citanya mengeringkan Rawa Onom. Sampai pada saat berhentinya R.Bratanagara sebagai Wedana Rancah karena musti pindah bertugas kembali ke Indramayu, proyek besar yang jadi cita-citanya itu belum kesampaian juga. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pada 1917, R.Bratanagara yang sudah pensiun, memilih hari tuanya untuk tinggal di Rancah kembali. Sebagai orang swasta dia tetap berkeras ingin melaksanakan cita-citanya, yaitu mengeringkan Rawa Onom agar bisa berubah menjadi lahan pertanian.
Di tahun-tahun itu pun perjuangan beliau sungguh berat sebab tak begitu mudah mengajak serta masyarakat untuk sama-sama berjuang mengeringkan rawa. Alasan klasik yang dikemukakan, bahwa wilayah itu merupakan kekuasaan bangsa onom dan mereka tak berani mengganggunya. Namun rupanya, berlandaskan kepada kepercayaan tradisi ini, maka R.Bratanagara pun pada akhirnya “mengakui” adanya “kekuasaan” di daerah itu.
Maka untuk memperlihatkan sebagai bangsa manusia yang beradab dan penuh hormat terhadap sesama, R.Bratanagara berupaya melaksanakan cita-citanya sambil melakukan tata-cara terhormat sehingga diperkirakan “penghuni” Rawa Onom tidak marah atau tersinggung atas cita-cita besar bangsa manusia.
Secara diam-diam, R.Bratanagara sering pergi ke wilayah Pulo Majeti, di mana dipercaya bahwa daerah itu merupakan pusatnya Kerajaan Onom. Sampai pada 1935 rencana besar itu baru bisa dikerjakan. Selama mengerjakan pengeringan rawa, boleh dikata tak ada hal-hal yang spektakuler. Dengan kata lain, bangsa onom tak marah.
“Tentu tak akan marah sepanjang kita meminta izin secara terhormat,” tutur Ki Dipa, juru kunci Pulo Majeti.
Dalam setiap pengerjaan pengeringan rawa, malah bangsa onom diundang serta, terutama di saat kenduri selamatan. Pada akhirnya, sampai dengan awal 1980-an, warga Ciamis kerap “mengundang” bangsa onom bila ada keramaian. Kamar kosong, kuda kosong, bahkan berbagai penganan suka disiapkan untuk menyambut kedatangan “tamu terhormat” yang secara kasat mata dari orang biasa, “sang tamu” tak bisa dilihat.
Pulo Majeti yang dahulu berada di tengah rawa, kini sudah berada di tengah lahan persawahan subur. Kata sementara “orang pandai”, sesudah Rawa Onom dikeringkan, Prabu Selang Kuning beserta ambarahayatnya telah meninggalkan Pulo Majeti dan membangun kembali kerajaan baru di sebuah lahan yang masih berawa. Rupanya untuk kepentingan manusia, bangsa onom mau mengalah. [ ]
TAMAT