Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [2]
Dari kejauhan terdengar suara lenguhan panjang. Seperti suara srigala tapi bukan itu. Lenguhan ini terasa menyayat hati seperti orang lagi sedih. Lendra ingat, penduduk Rancah pernah bilang di hutan-hutan Rancah ada sejenis binatang bernama aul. Aul itu bertubuh kera berkepala seperti anjing. Maka bila berbunyi ada lolongan anjing tapi bukan persis suara anjing. Itulah aul. “Aul itu binatang siluman,” kata Mang Sajum suatu kali.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH– Tanpa ragu-ragu, Lendra meloncat ke semak-semak, lantas masuk ke wilayah hutan. Namun setelah melangkah beberapa saat, Lendra berkata sendirian bahwa ucapan Mang Sajum ternyata bohong.
Di daerah ini tak terdapat rawa. Bahkan tanahnya subur dengan hamparan rumput menghijau. Gelapnya pepohonan pun hanya terdapat di sisi-sisinya saja, sebab semakin Lendra berjalan ke tengah, suasana semakin lapang dan terkesan asri. Lendra akan betah tinggal di sana kalau saja dia tak mendengar suara erangan halus di sudut rumpun-rumpun.
Dan manakala dia tiba di tempat itu, seorang gadis tengah telungkup dengan anak-panah menancap di bahunya.
“Tenanglah … biar saya menolongmu, Nyai …” kata lendra menghampiri gadis itu.
Untung saja, anak-panah tidak tepat menancap, hanya menoreh sisi bahu. Kendati darah bercucuran tapi rupanya nyawa gadis itu masih bisa ditolong. Dengan pelahan, Lendra mencoba menarik ujung anak-panah. Anak-panah sudah tercerabut namun matanya mengait di kain kebaya gadis itu serta susah melepasnya.
“Nyai … rupanya mata kail itu mengait pada kebayamu …” gumam Lendra.
“Robek saja pakaianku, Kang …” jawab gadis itu tanpa ragu.
Justru yang meragu adalah Lendra. Bagaimana mungkin dia serta-merta merobeki kebaya gadis itu. Kalau dipaksakan, punggung gadis itu akan telanjang. Rupanya gadis itu mengerti akan keraguan Lendra. Buktinya dia tetap berkata.
“Jangan pakai basa-basi. Kalau mau menolong, tolonglah segera!” katanya setengah mencerca akan keraguan Lendra.
Akhirnya dengan dada berdebar, pemuda itu merobek kebaya gadis itu tepat di bagian punggungnya. Setiap terdengar suara kain terobek, setiap itu pula dada Lendra berdegup kencang. Bagaimana tak begitu sebab setiap kain terobek, semakin terlihat kulit punggung gadis itu yang putih halus. Dan tangan Lendra bergetar seperti mendadak kena demam manakala tangannya sempat bersentuhan dengan kulit punggung gadis itu.
Akhirnya anak panah terlepas sudah dari sobekan kain kebaya. Sang gadis masih tetap tertelungkup dan sang pemuda masih tetap terdiam memperhatikan kemulusan punggung gadis itu.
“Apakah aku akan kau diamkan terus begini, Kang?”
Lendra terkesiap malu manakala gadis itu menegurnya. Tololnya aku. Mengapa membiarkan gadis itu dengan lukanya, sementara mataku melotot saja melihat kemolekan tubuh itu, tutur hati Lendra sebal terhadap dirinya.
Setelah menyadari akan hal ini, maka Lendra segera berjingkat dan berlari ke sana ke mari mencari dedaunan yang bisa dipakai penawar luka. Kebetulan di sebuah gundukan rumpun ada sejumput pohon sirih.
“Ini akan saya tempelkan tumpukan daun sirih agar lukamu tak terus mengeluarkan darah … ” kata Lendra setelah mengunyah daun sirih dan ditempelkannya ke bagian luka di punggung gadis itu.
Beberapa saat terdengar erangan halus gadis itu, namun Lendra terus mencobanya menempelkan obat itu.
“Daun sirih ini terasa hangat, Kang …” kata gadis itu lirih.
“Memang, daun sirih itu punya rasa hangat.”
“Maksudku, ada kehangatan yang khas. Barangkali karena lama terkulum di mulutmu, Kang…” gadis itu menegaskan maksud kata-katanya, membuat wajah Lendra menjadi merah.
“Maafkan saya, Nyai. Daun sirih itu memang lama saya kunyah …” kata Lendra menunduk malu. Terdengar suara tawa lirih dari gadis itu. Serta-merta gadis itu bangun dan duduk seraya membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Lendra.
Untuk kedua kalinya dada pemuda itu berdebar kencang. Betapa tak begitu, sebab dada bagian atas gadis itu sedikit terbuka karena kebayanya yang tercamping-camping tadi.
Gadis itu sadar akan posisinya, maka sepasang tangannya yang mungil halus segera melindungi sepasang buah dadanya yang ranum. Lendra bergetar malu. Dia menunduk lama-lama.
Lama saling berdiam diri, Akhirnya Lendra berani buka percakapan.
“Mari kau antar ke rumahmu, Nyai …” katanya bangun dari duduknya.
“Tidak perlu. Di saat suasana tak aman seperti ini, orang asing akan dicuriga masuk ke kampung kami.”
“Tidak aman?”
“Ya, engkau pulanglah dulu. Lain kali kita bertemu lagi,” sahut gadis itu sama-sama bangkit dari duduknya.
“Maafkan kesalahan kami …” gumam Lendra kembali menunduk.
“Mengapa engkau minta maaf? Engkau bukan kelompok mereka, Kang. Asalkan engkau tak ikut-campur terhadap permasalahan yang tengah kami hadapi, maka kau tak punya salah apa pun …” kata gadis itu membingungkan perasaan Lendra.
“Nyai … engkau terluka oleh panah yang dilepas majikan saya,” kata lendra mengaku terusterang.
“Apakah kau salah seorang ponggawa dari Kerajaan Galuh?” tanya gadis itu menatap curiga.
“Kami tengah bercengkrama dengan para gadis di kampung ini. Lalu datang serangan dari para Prajurit Kerajaan Galuh. Kami dikejar hendak ditangkap,” tutur gadis manis berlesung pipit ini amat membingungkan Lendra.
“Sudahlah. Kau kembalilah ke kampung halamanmu, sebab teman-temanmu pasti menunggu lama. Tapi kalau kau kembali nanti, ingat-ingat, jangan tengok ke belakang. Paham?” kata gadis itu.
Setelah berpesan seperti itu, gadis itu melangkah pergi. Lendra terpana dan mencoba menahannya.
“Namaku Nyai Indangwati. Nanti kita bertemu lagi, ya?”
GADIS itu berlari-lari kecil menjauhi Lendra dan menghilang di kelokan jalan setapak.
Tinggallah Lendra mematung seorang diri. Sukma pemuda itu seperti terbetot ikut berlari ke sana. Yang dia bayangkan adalah ikut lari-lari kecil di jalan setapak berhamparan lumut tebal sambil bergandengan tangan dengan …siapa nama gadis itu? Oh, ya, Nyi Indangwati. Tapi dari kampung mana Nyi Indangwati? Ah, tololnya aku. Mengapa tak aku tanya sekalian alamatnya, tutur hati Lendra dengan penuh sesal dan penasaran. Akhirnya pemuda itu balik melangkah dan berjalan pelan meninggalkan tempat yang nyaman dan asri itu.
Memang bohong perkataan Mang Sajum. Tempat yang demikian asri dan indah ini dia sebutkan sebagai belukar pekat yang penuh rawa. Padahal Lendra enak dan santai saja melangkah di hamparan rumput yang luas menghijau. Matahari pun terasa menyengat dengan hangatnya dan menyegarkan.Lendra berjalan sendirian. Di sepanjang yang dilalui, suasana indah belaka. Dia melirik ke kiri dan kanan.
Ada jajaran bunga-bungaan indah beraneka warna di sana. Beberapa pohon rindang mengayomi keindahan bunga itu. Yang membuat Lendra serasa asing, tempat yang indah ini demikian heningnya. Tidak didengarnya suara apa pun. Tidak juga suara kicauan burung atau serangga. Hanya deru napasnya saja yang dia dengar di sepanjang perjalanan ini.
“Ah … kalau saja Nyi Indangwati tetap bersamaku …” keluh Lendra berandai-andai. Ingat Nyi Indangwati, maka serta-merta pemuda itu memutar kepala ke belakang. Tempat itu masih indah namun sepi dari apapun, termasuk tak dilihatnya gadis manis itu. Maka kepala Lendra kembali memutar ke depan.
Dan di saat itu pulalah pandangan sekeliling berubah total. Tak ada dataran luas berhamparan rumput hijau. Tidak pula terdapat bunga-bunga indah. Yang nampak di sekelilingnya hanyalah kekelaman belaka. Pepohonan tua dan besar bergayut dan berjanggut. Bunyi-bunyian pun mendadak bergalau. Ada suara tokek, ada suara cengkerik dan berbagai suara serangga lainnya. Beberapa bagian tubuh pemuda itu mulai diganggu belasan atau bahkan puluhan nyamuk sebesar lalat. Satu ditepuk, datang yang lain. Begitu seterusnya sehingga Lendra tak bisa memperhatikan jalanan di depannya. Maka akibatnya, pemuda itu jalan ke mana saja. Setiap yang disangkanya jalan setapak, maka dia lalui.
Namun sesudah melangkah beberapa saat, jalan setapak itu tak tembus ke mana-mana, kecuali ke sebuah pinggir tanah becek. Dan bila dia paksakan melangkah, maka tanah becek itu berubah menjadi lembek, sehingga kakinya sebatas dengkul terbenam ke dalamnya.
Kini Lendra mulai panik. Kini pemuda itu mulai percaya kata-kata Mang Sajum, bahwa benar belaka tempat itu penuh rawa. Tapi Lendra berpikir. Kalau Bendara Wedana mengajaknya ke sana, tentu tak semuanya merupakan daerah rawa. Binatang menjangan, kancil atau sebangsanya tak mungkin hidup di rawa-rawa.
“Harus ada bagian yang keras yang dihuni banyak binatang buruan …” tutur Lendra dalam hatinya. Maka dengan susah-payah, Lendra memilih-milih langkah. Sebelum menjejakkan kaki, dia periksa dulu sekeliling. Bila ternyata bertanah lembek dan basah, maka dia urungkan langkah.
Tak terasa, hari telah menjadi kelam. Sebetulnya sudah sejak tadi suasana kelam. Hanya kali ini kekelaman sedikit demi sedikit mengarah ke kegelapan. Lendra sadar, tentu hari akan segera malam. Dan semakin ditunggu, suasana semakin gelap juga, sehingga anak muda itu akhirnya memilih naik ke atas dahan pohon.
Lendra memilih istirahat di dahan pohon itu. Dia tak berani melanjutkan perjalanan di kala malam tiba.
“Tapi mungkin Bendara bersama rombongan amat risau dengan keterlambatan ini …” keluh Lendra sambil memeluk dahan pohon agar tak terpeleset jatuh.
Senja sudah berganti malam. Kini binatang malam mulai terdengar suaranya. Ada yang sudah dia kenal sebelumnya. Tapi banyak juga suara-suara asing yang membuat bulu-kuduk berdiri.
Dari kejauhan terdengar suara lenguhan panjang. Seperti suara srigala tapi bukan itu.
Lenguhan ini terasa menyayat hati seperti orang lagi sedih. Lendra ingat, penduduk Rancah pernah bilang di hutan-hutan Rancah ada sejenis binatang bernama aul. Aul itu bertubuh kera berkepala seperti anjing. Maka bila berbunyi ada lolongan anjing tapi bukan persis suara anjing. Itulah aul.
“Aul itu binatang siluman,” kata Mang Sajum suatu kali. Buktinya siluman, sebab aul tak menampakkan diri di hadapan orang banyak. Tak seperti harimau atau macan tutul, misalnya.
Kendati mereka tak suka berhadapan, namun kerap terjadi bentrok antara manusia dengan mereka. Sementara dengan mahluk bernama aul, jarang ada orang yang pernah bersua. Bila pun ada yang mengaku pernah bertemu, itu di keremangan malam saja, di mana binatang aul hanya sayup-sayup terlihat bayangannya. Dia berjalan dan sedikit meloncat-loncat dan melolong-lolong menyedihkan. Maka ketika mendengar lolongan sedih itu, Lendra cepat menduga kalau itu adalah suara aul.
Berbahayakah binatang itu? Lendra tak persis tahu sebab Mang Sajum tak sampai menerangkannya sejauh itu. Hanya saja Mang Sajum pernah bilang, kalau aul mengeluarkan lolongnya yang menyedihkan, pertanda memang ada sesuatu hal yang menyedihkan. Ketika dulu Gunung Galunggung meletus hebat, sebelumnya didengar lolongan aul. Ketika banyak korban jiwa berjatuhan, lolongan sedih binatang misterius itupun terdengar di hutan-hutan Rancah. Hal menyedihkan apakah kini manakala lolongan binatang itu terdengar lagi, pikir Lendra.
“Yang jelas, tak ada kesedihan di sini, apalagi di hatiku…” kata Lendra dalam hatinya. Penyebabnya hanya satu. Dia bersua dengan gadis cantik kendati masih dianggap misterius. Ya, ini sungguh misterius. Mula-mula ada rombongan gadis cantik, namun para pemburu di bawah pimpinan Bendara Wedana menganggapnya sebagai rombongan sekelompok menjangan. Lalu Bendara Wedana melepas busur panahnya mengarah nyawa Nyi Indangwati dan Lendra memburunya untuk memberikan pertolongan. Manakala Lendra mencoba mengobati luka gadis itu, segalanya indah, segalanya mendebarkan. Tapi itulah kegembiraan di hatinya. Ada bunga-bunga mekar dan semua membuat keindahan pada hidupnya.
“Jadi, kenapa pula ada lolongan sedih dari mahluk asing bernama aul?” pikir pemuda itu.
Lendra terus mendengarkan lolongan dan lenguhan sedih itu. Sampai pada suatu ketika, sayup-sayup didengarnya suara bentrokan senjata. Lendra terperangah. Ada pertempuran di sekitar sini. Ya, jelas sekali terdengar suara beradunya senjata tajam. Seperti ada benturan pedang dengan pedang, gada dengan gada, bahkan ada desingan anak-panah yang dilepas jauh-jauh.
“Siapakah yang melakukan peperangan di sini?” pikir Lendra kaget dan heran.Untuk membuktikannya, Lendra mencoba naik ke atas dahan paling atas. Mudah-mudahan dengan cara itu dia bisa melihat sebuah lapangan yang dijadikan arena pertempuran misalnya. Pemuda itu memutar kepala ke segala arah.
NAMUN aneh sekali, setelah dia naik ke bagian dahan paling atas, tidak didapat penglihatan apa pun. Padahal, suara dencingan senjata tajam beradu disertai teriakan-teriakan parau atau melengking karena kesakitan, amat nyata terdengar.
“Gempur rakyat Pulau Majeti! Bunuh Prabu Selang Kuning!” teriakan-teriakan bernada marah terdengar membahana, disusul suara jeritan-jeritan kesakitan orang terluka.
Lendra merunduk. Secara tak sadar dia berlindung di balik dahan, seperti mencoba berusaha menyelamatkan diri dari serangan musuh. Tapi musuh dari mana dan siapa, Lendra sungguh tak mengerti. Namun karena takut dan ngerinya mendengar suasana pertempuran, dia hanya bisa memeluki dahan pohon saja dengan ketat. Begitu sampai subuh tiba.
Manakala terlihat garis-garis putih di ufuk timur, barulah pertempuran itu selesai. Suasana pun kembali senyap.
Lendra belum berani turun dari cabang pohon sebelum suasana benar-benar aman. Terbayang di benaknya, betapa manakala dia memeriksa keadaan sekeliling, mayat bertebaran di mana-mana dan darah tumpah di mana-mana. Barangkali banyak orang masih hidup namun dengan luka yang parah. Tapi benarkah banyak orang luka parah di sana? Bila begitu, tentu kini bakal terdengar erangan-erangan lemah.
“Heran … kok suasana demikian heningnya …” gumam Lendra sambil melihat ke kiri dan kanan.
Sesudah suasana terang tanah, anak-muda itu barulah berani turun dari pohon. Dengan perlahan dan amat hati-hati, Lendra memeriksa keadaan sekeliling. Anak-muda ini heran, betapa di sekeliling tempat ini suasana tetap hening, sunyi dan sepi. Dengan kata lain, di tempat itu tidak didapat korban-korban pertempuran. Jangankan yang mati, bahkan yang luka atau pun masih hidup pun tak didapatkan.
Tak ada bekas-bekas pertempuran di sana. Jadi, suara-suara mengerikan tadi malam, sebenarnya suara apakah itu? Mustahil dan sungguh tak masuk akal, Lendra tak mimpi atau mengingau. Tadi malam memang terjadi pertempuran besar di sini. Tadi malam, bahkan terdengar suara dencing senjata tajam beradu dan disusul oleh jerit kesakitan orang luka. Tapi mengapa siang hari tidak didapat bekas-bekas secuil pun? [Bersambung]