Jika melintas tanah lapang itu di malam hari, atau selepas maghrib, kita akan menyaksikan orang-orang nongkrong. Jenis kelamin mereka bisa dikenali dengan satu cara; laki-laki menghisap rokok, wanita tidak. Di antara mereka ada yang membawa ember, lainnya tidak. Yang bawa ember akan cebok di tempat. Yang tidak bawa ember, harus jalang ‘ngegang’ — kaki direntang lebih lebar — nan cepat untuk sampai ke rumah.
Oleh : Teguh Setiawan
JERNIH—Membaca tulisan di Jernih soal fenomena dolbon (modol di kebon) di masa lalu, saya punya cerita sendiri.
Dulu, sekitar 1980-an awal, saya biasa melintas antar-Kelurahan Tegal Alur dan Kamal yang merupakan hamparan lahan kosong. Wilayah itu kini menjadi pemakam-an dan dikenal sebagai TPU Kebon Dua Ratus.
Ada jalan setapak mengular karena setiap hari dilalui penduduk dengan jalan kaki atau bersepeda. Di siang hari, jika panas terik dan angin cukup kencang, siapa pun yang lewat jalan itu akan menutup hidung karena bau kotoran manusia yang menyengat.
Jika melintas tanah lapang itu di malam hari, atau selepas maghrib, kita akan menyaksikan orang-orang nongkrong. Jenis kelamin mereka bisa dikenali dengan satu cara; laki-laki menghisap rokok, wanita tidak.
Di antara mereka ada yang membawa ember, lainnya tidak. Yang bawa ember akan cebok di tempat. Yang tidak bawa ember, harus jalang ‘ngegang’ — kaki direntang lebih lebar — nan cepat untuk sampai ke rumah.
Saat itu, modol di kebon alias dolbon bukan sesuatu yang nista. Peradaban masyarakat pinggir Jakarta, kelas bawah atau bukan, tidak mengenal WC yang menyatu dengan rumah. Bahkan, kebanyakan rumah memiliki kamar mandi di luar, yang menyulitkan mereka buang air kecil di waktu malam.
Hanya yang cukup punya nyali akan buang air kecil di kamar mandi saat malam. Lainnya, mungkin harus menahan air seni sampai pagi karena takut kuntilanak, genderuwo, dan semua hantu yang diwariskan masyarakat ke pikiran mereka.
Saya nggak tahu sampai kapan ‘peradaban’ dolbon di tempat itu berlangsung. Yang pasti, pertengahan 1980-an saat meninggalkan Rawa Bengkel, saya masih dengar cerita itu. Bahkan ada satu wilayah lagi yang disebut lapangan tai dan yang ini saya nggak tahu.
Warga yang bermukim dekat dengan kali atau empang sedikit lebih beruntung. Mereka bisa boker, bahasa slank Jakarta untuk menyebut berak, di aliran sungai atau jamban.
Modol di jamban adalah kenikmatan tiada tara. Saat tokai lepas dari anus, kita menunggu suara plung nan indah. Itu pun jika jarak antara jamban dan air empang cukup tinggi.
Jelang tahun 2000, saat saya mengunjungi Kamal karena ada kabar sejumlah balita menderita gizi buruk, saya bertemu sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti yang kuliah kerja nyata (KKN) di wilayah itu.
Saya bertanya kepadanya apa yang sedang dilakukan untuk masyarakat? Seorang dari mereka menjawab; membangun WC untuk mengentaskan kebiasaan dolbon.
Saya tertawa terbahak-bahak. Mahasiswa itu juga mendesak pemerintah Jakarta Barat membangun septik tank secara massal di hampir semua rukun tetangga (RT).
Entah tahun berapa usulan itu didengar dan diwujudkan. Yang saya tahu ada WC sedemikian banyak di wilayah itu. Tradisi modol di kebon (dolbon) di pinggiran Jakarta pun berakhir. [ ]