POTPOURRI

Uighur, Orang-orang Religius Sepanjang Sejarah

JAKARTA – Uighur dikenal di zaman kuno sebagai bangsa Timur Asiatic ras Turki. Sampai abad ke-9 Masehi, Uighur adalah orang-orang nomaden dalam Suku Tiele, bergerak mencari padang rumput di barat laut Sungai Orkhon di Upper Mongolia.

Sumber sejarah awal tentang  Uighur ditemukan terutama dalam sumber Cina. Sedangkan informasi sejarah dalam bahasa kuno Uighur hanya tersedia dalam bentuk prasasti. Selama 7 dan 8 abad, Uighur tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan mendirikan kekhanan (Khanate) mereka sendiri di Sungai Orkhon, ‘Orkhon Uighur Khanate’. Sumber-sumber Cina dari periode Tang menyebutkan, Khanate Uighur ini berhubungan baik dengan Dinsati Tang.

Suku Uighur juga telah menjadi orang-orang religius sepanjang sejarah. Namun mereka tidak pernah melekat pada satu agama. Dalam perjalanan sejarah, sistem kepercayaan Uighur mengalami serangkaian perubahan. Shamanisme (perdukunan) adalah kepercayaan awal dari masyarakat Altai termasuk Uighur.

Sebelum abad 9 Masehi, shamanisme sangat penting dalam membangun kekuatan militer maupun politik mereka. Pengaruh shamanisme menurun ketika Uighur Bügü Khaghan berpindah memeluk Manichaeisme saat ia berada di Kota A-Luoyang pada tahun 762 Masehi. Terjadi peristiwa penting dalam sejarah Uighur ketika Bügü Khaghan kembali ke Mongolia dengan membawa beberapa biarawan Manichaean.

Sejak itu Uighur menerima Manichaeisme dan untuk pertama kalinya dalam periode sejarah dunia, Manichaeisme–yang berasal dari Persia, menjadi agama negara. Para misionaris utama agama ini adalah pedagang Sogdian.

Sekitar 840 Masehi, Orkhon Uighur Khanate ditaklukan oleh Kirghiz. Peristiwa itu berpengaruh terhadap seluruh Suku Uighur yang menyebabkan terjadinya migrasi Uighur ke beberapa tempat. . Periode migrasi Uighur terbagi menjadi tiga kelompok utama untuk melarikan diri ke arah yang berbeda. Karena menetap di daerah yang berbeda mereka tidak lagi memiliki semangat persatuan juga dalam hal keyakinan agama. Hal tersebut selain membawa perubahan dramatis dari gaya hidup juga berdampak terjadinya proses asimilasi dalam agama yang berbeda.

Dua kelompok Uighur yang bermigrasi ke Hexi Koridor dan ke wilayah Turfan segera mengadopsi Buddhisme, agama yang telah ada di kedua daerah jauh sebelum kedatangan para pendatang Uighur. Uighur yang mengungsi ke Turfan adalah kelompok pertama yang menaklukkan Tibet dan mendirikan Kerajaan Uighur Qočo di abad ke-9. Sebelum ditaklukan Uighur, Turfan di abad 9 Masehi merupakan kawasan peleburan multi-budaya yang dipengaruhi oleh Iran bagian Timur, India, Tocharian, serta budaya nomaden Sibirian. Buddhisme adalah agama utama di sana. Setelah abad ke-9, proses Turkinisasi berlangsung di oasis Turfan.

Dengan ditaklukannya Turfan, berkembang pula Manichaeisme sebagai agama negara yang dipicu oleh keluarga Khaghan (penguasa tertinggi) di samping agama Buddha yang dianut oleh orang-orang lokal. Pengaruh Nestorian (sebuah sekte Kristen awal) juga muncul, namun dalam jumlah kecil. Namun pada akhirnya agama Buddha mulai mengimbangi Manichaeisme dan selama abad ke-10 Masehi, Turfan secara umum merupakan kerajaan Buddha yang memiliki peradaban tinggi dari Suku Uighur.

Kelompok kedua dari imigrasi Uighur pindah ke Hexi Koridor. Di sana mereka mengenal Buddhisme yang yang dibawa orang Tibet atau Cina. Daerah lainnya di selatan Cekungan Tarim (kawasan Xinjiang) adalah Yutian (kadang-kadang disebut Khotan) yang dihuni oleh pribumi Tibet bercampur dengan orang Mongolia. Mereka tampaknya telah dipengaruhi kuat oleh budaya India. Tekanan Uighur ke Yutian terjadi ketika Muslim Uighur menaklukkan daerah tersebut di abad 11 Masehi.

Kelompok imigran terakhir pergi jauh ke arah barat dekat Kashgar dan bergabung dengan Karluk. Pada abad 10 Masehi, Uighur dari kelompok terakhir ini mendirikan Kerajaan Karakhanid, yaitu Kerajaan Turki pertama yang memeluk Islam. Seorang sejarawan lokal dari Kashgar menulis sejarah kota itu dalam sebuah karya berjudul ‘Tarikh Kashgar’. Sayangnya, pekerjaan itu hilang tapi sempat disalin oleh seorang sejarawan abad ke-14 bernama Jamal Qarshi ke dalam karyanya yang berjudul ‘Mulhaqat al-Surah’. Munculnya Islam di Kerajaan Karakhanid dipelopori oleh penguasanya yang bernama Bughra Khan. Oleh dia, Islam dijadikan sebagai agama negara.

Untuk mengembangkan kekuasaannya, Kerajaan Islam Karakhanid melakukan gerakan militer terhadap negara-negara tetangganya, diantaranya dengan menaklukan Kerajaan Yutian pada awal abad ke 11 Masehi. Proses Islamisasi juga memunculkan budaya Turco-Islam dan banyak karya sastra Uighur yang lahir selama periode ini. Karya sastra Uighur berkembang pesat abad ke 11 Masehi, di antara karya-karya sastra tersebut, yaitu ‘Diwan lugat at-Turk’ (ringkasan dialek Turki) karya Mahmud al-Kāšγari dan Kutadghu Bilig yang merupakan puisi didaktik dengan menghadirkan konflik antara cita-cita politik dan hati nurani dalam individu yang religious. Karya itu  disusun Yusuf Khass Hajib dari Balsaghun tahun 1069 Masehi.

Selain itu, bahasa Arab juga menjadi bahasa resmi dari Kerajaan Karakhanid. Di abad 12 Masehi Kerajaan Karakhanid dihancurkan oleh Kara Kitai, sebuah kekuatan baru yang muncul dari padang rumput. Kara Kitai juga menaklukan kawasan Transoxiana, yaitu kawasan Asia Tengah yang saat ini dikenal Uzbekistan,Tajikistan, Kirgistan selatan, dan wilayah Barat Daya Kazakhstan . Namun, Dinasti Kara Kitai tidak berlangsung lama, mereka segera tersapu oleh oleh gelombang besar pasukan Mongol.

Setelah Mongol berkuasa, Genghis Khan kemudian memberikan Kerajaan Karakhanid dan Transoxiana kepada putranya yang bernama Chagatai. Dibawah kekuasan Chagatai, umat muslim menikmati periode toleransi yang tinggi. Setelah kematian Chagatai, wilayah kekuasaanya kemudian dibagi menjadi Chagatai bagian Timur dan Barat.

Pada abad 14 Masehi status Muslim Uighur berubah secara dramatis pada periode Chagatai di wilayah Timur. Penguasanya yang bernama Tughlug Timur Khan menjadi seorang Muslim setelah mengenal Islam dari seorang sufi.

Menurut Mirza Haider, seorang jendral militer Chagadai Turco-Mongol dan penguasa Kashmir sekaligus sejarawan kontemporer yang menulis ‘Tarikh-i-Rashidi’, sebuah memoar pribadi yang dikombinasikan dengan sejarah Asia Tengah. Kitab itu ditulis dalam bahasa Persia, mengisahkan bahwa Tughluk Timur dibawa ke kota Aksu oleh keluarga Amir Daoughlat, keluarga mongol terkuat pendukung Khan. Ketika itu Tughluk Timur berusia 16 tahun. Dua tahun kemudian ia bertemu dengan seorang Sufi bernama Shaikh Jamal-ud-Din yang berasal dari Bukhara.

Pertemuan itu terjadi saat Tughluk sedang memberi makan anjingnya dan kemudian terjadi percakapan dengan Shaikh. Dia bertanya pada Shaikh “Apakah Anda lebih baik dari anjing ini atau anjing ini lebih baik daripada Anda?” Sang Shaikh menjawab, “Jika saya memiliki iman, saya lebih baik dari anjing ini. Jika saya tidak memiliki iman, anjing ini lebih baik dari saya.” Jawaban itu membuat Tughluk sangat terkesan Sang Shaikh terus menjelaskan kepada Tuchluk bahwa iman adalah tugas dari Musulman (kata sifat dari Muslim). “Jika aku nanti menjadi Khan dan memperoleh otoritas mutlak, Anda harus datang kepada saya dan saya berjanji akan menjadi Musulman,”kata Tughluk.

Namun sebelum Tughluk naik takhta menjadi Khan, Shaikh Jamal-ud-Din keburu meninggal. Sebelum kematiannya, Shaikh Jamaludin mempercayakan misi tersebut kepada putranya yaitu Mauláná Arshad-ud-Din. Maka Ketika Tughluk naik takhta, Maulana Arshaduddin datang untuk mengingatkan Tughlug Khan akan janjinya. Tughlug akhirnya masuk Islam dan diikuti oleh kerabat kerajaannya.

Namun, seorang pejabat kerajaan menolak masuk Islam. Si Pejabat itu memberi satu syarat, yaitu, jika Maulana Arshad-ud-Din bisa menggulingkan salah satu pria terkuat pilihannya, maka ia akan beriman masuk Islam. Pertandingan gulat pun dimulai. Maulana Arshad-ud-Din, meskipun bertubuh kecil mampu memukul si pegulat itu dengan keras sampai jatuh dan tak bangun lagi. Tepuk tanganpun bergemuruh. Dan pada hari itu 160 ribu orang kemudian memotong rambut kepalanya dan menjadi Muslim secara kolektif. Maka Tughluk Khan dan anggota baru lainnya yang telah bersyahadat segera melaksanakan sunat.

Tughluk Timur Khan segera melaksanakan gerakan Islamisasi secara nasional dan meminta semua orang Mongol di wilayah kekuasaanya untuk memeluk Islam. Mesjid-mesjid pun dibangun. Selepas Tughluk Timur Khan meninggal di usia 34 tahun, putranya yang bernama Khizir Khwaja Khan (1389-1403) meneruskan kekuasaan dan kebijakan ayahnya. Ia menaklukkan Karahoja dan Turfan dari tahun 1392 hingga 1393 dan wilayah itu kemudian disebut Dar al Islam (negara Islam). Pada tahun-tahun berikutnya, Khizir Khwaja Khan menyerang Hami dan menegakkan Islam di daerah itu.

Di tengah-tengah abad ke-15, Turkistan Timur akhirnya menjadi wilayah Muslim. Dengan demikian Uighur akhirnya bersatu dalam keyakinan agama Islam. Penyebaran Islam di Uighur di satu sisi didorong oleh penaklukan, namun di sisi lain diwujudkan melalui syiar dakwah para sufi dan pedagang Muslim. Meskipun Islam tetap agama Uighur namun tradisi shamanisme Turki kuno masih sedikit mempengaruhinya. Muslim Uighur merupakan penganut Sunni bermadhzab Hanafi, dan sebagian kecil Syi’ah Isma’iliyah.

Turkistan Timur yang saat ini menempati wilayah Xianjiang mampu berdiri 10 abad lamanya sampai kemudian jatuh digempur China pada tahun 1759 dan 1876.

Akhirnya pada tahun 1950, Turkistan Timur digabungkan dengan Cina yang berideologi komunis. Dampak tradisi keagamaan Suku Uighur sangat terasa dan diekspresikan melalui seni seperti yang digambarkan dalam lukisan gua, patung dan tulisan-tulisan religius. Islam dalam suku Uighur berasimilasi ke dalam budaya dan gaya hidup mereka. Itu telah menjadi identitas Uighur. [Prd]

Back to top button