POTPOURRI

Ukur

Kini pandangan mata kedua makhluk berbeda jenis itu bertumbukan. Tatapan si pemuda menghunjam jauh ke belakang sikap nyalang yang diperlihatkan sorot mata kerbau jantan itu, seolah ingin merogoh langsung niat si kerbau jauh di dasar hati binatang itu. Semua harus ia lakukan agar bisa mengantisipasi apa yang akan kerbau edan itu perbuat

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.–

Episode-1

Mata kerbau jantan itu merah membara. Urat-urat kecil di bola mata yang biasanya sebening kelereng kaca itu kini padat dialiri darah, membentuk muka binatang itu menjadi garang menyeramkan. Berlaku seperti kuda liar, kaki-kaki depannya dikibas-kibaskan menggali tanah dengan kuku-kukunya yang tebal kokoh, sekuat ladam terbuat dari tulang keras.

Hanya dengan tiga-empat garukan, tanah di depannya telah tercakar membentuk semacam parit-parit kecil memanjang. Sementara dengus hidungnya tak hanya memperdengarkan suara keras, tapi diperjelas dengan terbangnya debu-debu tersemprot angin yang menghembus kuat dari kedua lubang hidung yang basah itu.

Kesemua itu membuat sang kerbau kini lebih serupa monster bertanduk, dibanding hewan ternak yang sehari-hari membantu pak tani membajak sawah, menarik garu, sebelum dilepas di tegalan untuk merumput dengan tenang sembari menikmati alunan bunyi seruling anak gembala yang duduk di punggungnya. Bukan. Kerbau jantan itu kini tak lagi makhluk jinak yang menikmati elusan tangan gembalanya waktu dimandikan.

Binatang itu telah menjelma hewan buas seiring rontaan jangkrik yang berlari kian kemari mencari jalan keluar dari saluran lubang telinganya. Seseorang telah memasukkkan seranggga kecil itu. Sengaja membuatnya gila.

Muak oleh perasaan aneh, geli dan sakit di kupingnya, membuat kerbau itu mencari pelampiasan. Dan itu tak lebih dari sekitar lima hasta di hadapannya. Seorang lelaki muda yang tegak berdiri dengan kuda-kuda tegar seolah terpatri dengan bumi yang dipijaknya. Di mata kerbau jantan yang dibuat setengah edan itu, sikap sang lelaki muda itu sudah melewati batas jumawa.

Kerbau itu kembali mendengus. Batu-batu kerikil di depan lubang hidungnya kontan berhamburan kena semprot. Setelah menggeleng-geleng keras dan jengkel, mata kerbau itu seolah hendak loncat memelototi pemuda di hadapannya.

Si pemuda tahu, tak lama lagi kerbau itu akan menyerangnya. Kini pandangan mata kedua makhluk berbeda jenis itu bertumbukan. Tatapan si pemuda menghunjam jauh ke belakang sikap nyalang yang diperlihatkan sorot mata kerbau jantan itu, seolah ingin merogoh langsung niat si kerbau jauh di dasar hati binatang itu. Semua harus ia lakukan agar bisa mengantisipasi apa yang akan kerbau edan itu perbuat, bahkan sebelum binatang itu melakukannya.

Kerbau itu kembali mendengus, kedua kaki depan yang sebelumnya tak henti menggaruk tanah dengan buas, kini diam kaku. Binatang bodoh itu dengan jelas memberikan tanda kepada lawannya bahwa ia siap menyerang. Si pemuda menggeser kuda-kudanya dari ajeg rengkuh menjadi ajeg suliwa yang lebih memungkinkannya bergerak bebas tanpa sedikit pun mengurangi kekokohan sikapnya menapak bumi.

Kerbau bukanlah harimau yang seringkali mengawali serangan dengan auman keras. Akan aneh pula bila untuk menerjang kerbau lebih dulu menguak kencang. Jadi tanpa peringatan apa pun, kerbau gila itu menubrukkan dirinya ke si pemuda.

Meski hanya berbekal naluri binatang dan sekian tahun pengalaman, dengan bobot tubuh yang ia jatuhkan sepenuhnya ke kedua bahu dan ujung-ujung tanduknya, kerbau itu tahu, dengan cara itu tanduknya bisa menembus dada si pemuda hingga punggungnya. Jadi dengan cara itulah ia menyeruduk pemuda itu, terarah langsung ke dada.

Tenang namun dengan kecepatan yang sulit diikuti mata orang biasa, si pemuda menggerakkan kakinya dua langkah, menyamping tusukan tanduk. Tangan kanannya yang leluasa segera menyarangkan pukulan menyamping, pada sebuah titik sekitar lima jari di bawah tanduk kanan kerbau itu. Keras menghantam kuping. Deg!

Pukulan itu membuat si kerbau limbung. Seakan bercanda, pemuda yang kini telah berada di belakang kerbau itu menambahkan satu tendangan keras ke pantat, yang mendorong binatang besar itu tersungkur mencium tanah. Kerbau itu melenguh kesakitan.

Keberatan dengan bobot tubuhnya, kerbau gila itu memerlukan waktu cukup lama untuk kembali berdiri. Sementara si pemuda dengan santai kembali memasang kuda-kuda, menunggu. Manakala merasa sudah ajek menapak tanah, si kerbau segera menyerang pemuda itu. Kali ini lebih kalap, seolah jadi babi buta.

Tapi si pemuda sejak tadi memang sudah menantikan serangan tersebut. Ketika tanduk kerbau itu menunduk untuk mencungkil selangkangannya, tangan pemuda itu menepis tanduk, membuatnya menjadi semacam pijakan seraya melompat menyamping ke atas punggung kerbau.

Sekejap kerbau itu sudah ditungganginya. Sambil mencondongkan badan ke depan, tangan kiri si pemuda terentang ke belakang, meraih ekor kerbau tersebut. Setelah ekor itu terasa tergenggam di jemarinya, dilipatnya ekor itu sebelum diremasnya kuat-kuat, yang membuat kerbau itu serta merta berlari cepat.

Tangan kanan si pemuda tak ongkang-ongkang. Diraihnya tanduk kerbau dan diperlakukannya bagai tali kekang untuk mengarahkan kemana kerbau itu berlari. Meski menghambur kesetanan, laju kerbau itu kini sedikit terarah. Sesekali orang-orang yang sejak tadi berdesakan di pinggir alun-alun kerajaan Mataram menonton peristiwa itu, berteriak ketakutan setiap kali kerbau itu seperti hendak melabrak mereka sebelum dibelokkan si pemuda.

Si pemuda sendiri kini seolah menikmati kelakuannya di atas punggung kerbau. Sesekali diremasnya ekor yang terlipat itu lebih keras. Selalu, kerbau gila itu meresponsnya dengan berlari tunggang langgang lebih kencang lagi. Atraksi itu tak urung mendapat tanggapan meriah orang-orang seputaran alun-alun. Tepuk tangan membahana mengagumi kelihaian si pemuda.

Tiba-tiba semacam kesadaran melintas di benak si pemuda. “Tidak pada tempatnya aku menyiksa binatang ini,” pikirnya. “Toh Sinuhun pasti memintaku membunuh kerbau ini karena sudah tak mungkin lagi dijinakkan.” Kini si pemuda merasa kelakuannya itu tak layak bagi seorang ksatria seperti dirinya. Mempermainkan hewan, apalagi yang jelas-jelas segera menuju kematian.

Hanya perlu beberapa detik berpikir sebelum tekad pemuda itu bulat. Sejak awal memang Sinuhun Kerajaan Mataram, Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, memintanya menaklukkan kebo edan itu. Kerbau jantan, besar dan kokoh yang sebelumnya sama sekali bukan kerbau gila. Kerbau itu dibuat gila agar sempurna untuk lawan uji coba dirinya.

Dari sisi itu saja sebenarnya sudah cukup pemuda itu bisa berpikir bahwa si kerbau itu benar-benar dizalimi: dibuat gila untuk diadu, kemudian mau tak mau harus dibunuh karena tak mungkin lagi disembuhkan dari kegilaan.

Pemuda itu ingat, kata menaklukkan dalam terma pribadi Sang Sultan tak pernah lain kecuali membunuh, menghancurkan, membuat lawan-lawannya sirna tanpa daya, bahkan jika perlu sampai keturunanan yang akan menjadi penerus lawannya itu.

Itu artinya ketika Sultan memintanya menaklukkan kerbau gila tersebut sebagai uji coba kedigjayaannya, Sang Sultan jelas-jelas memintanya membunuh, bukan menjinakkan kerbau itu untuk kembali menjadi hewan ternak buat bantu-bantu mengerjakan sawah.

Tak pernah terdengar cerita Sang Sultan berlaku setengah hati dalam hal ini. Seperti juga ketika Sultan memerintahkan seorang senapati Mataram untuk membunuh utusan Kompeni alias VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda, Jacob van der Marct, yang diutus Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen, penguasa Batavia yang lebih dikenal dengan sebutan Murjangkung.

Van der Marct ditugaskan berangkat ke Jepara untuk membeli beras bagi keperluan VOC. Tugas itu tentu dengan mudah diselesaikannya. Yang membuat Mataram gusar, dengan dalih membalas serangan Mataram pada kantor dagang VOC di Jepara, 18 Agustus 1618, atau sekitar tiga bulan sebelumnya, Van der Marct setelah itu menghancurkan kantor dagang Mataram di Pelabuhan Jepara. Rumah-rumah di sekitar kantor dagang itu dibakar hingga luluh lantak.

Sedikitnya 30 orang Jawa terbunuh dalam insiden penyerangan oleh 160 personel pasukan VOC tersebut. Sultan Agung murka karena pada insiden itu puluhan perahu Jung Mataram yang tengah merapat di Jepara dan Demak dibakar, setelah beras muatannya dirampok pasukan Kompeni.

Pada hari Sultan menerima kabar buruk itu, ia langsung menugaskan seorang senapati sebagai respons penghinaan Kompeni. Tugasnya sederhana: membawa ke hadapan Sang Sultan kepala Van der Marct.

Ukur yang saat itu sudah menjadi prajurit Mataram ingat peristiwa sepekan kemudian, ketika senapati itu melaporkan kegagalannya. Pimpinan prajurit yang terkenal tak pernah takut itu, saat itu terlihat bagai celurut terpeleset ke sungai. Duduk bersila di balairung istana sambil menunggu kedatangan Sultan Agung, senapati itu benar-benar kehilangan jiwa. Mengkeret. Hilang sudah kesadaran dan pendidikan olah juritnya selama ini, digantikan kesadarannya sebagai manusia biasa yang menghadapi kematian.

Ya, kematian! Siapa warga Keraton Mataram yang tak tahu hukuman Sang Sultan terhadap kegagalan? Mati! Hanya cara mati saja yang berbeda-beda, tergantung kehendak Sultan saat itu. Ada yang mati karena direbus, ada yang dipenggal lehernya tepat di alun-alun, ada yang dibiarkan tergantung dengan tali menjerat leher, disaksikan sekian ribu rakyat yang diminta datang menonton. [bersambung]

*Illustrasi dari Grafik novel ‘Kisah Wali Songo’, Gerdi WK

Back to top button