POTPOURRI

Ukur

Satu langkah, lalu si Pilon berhenti menunggu situasi. Tak ada apa pun terjadi. Kini giliran kaki lainnya ia geser. Badannya kini sudah sepenuhnya berada dalam kamar. Diedarkannya pandangannya berkeliling isi kamar. Pemandangan yang dilihat Si Pilon membuatnya kaget bukan kepalang.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode-12

Tejo membuka pintu kamar dan segera memasukinya. Namun tiba-tiba tubuhnya mencelat keluar, terpental dan jatuh dengan punggung lebih dulu menabrak lantai.

“Gedebuk!”

Bunyinya keras sekali, diiringi jerit kesakitan Tejo. Ia berusaha bangun kembali, namun tampaknya cedera di punggungnya cukup parah karena gerakan yang dilakukannya justru membuatnya menjerit spontan kesakitan. Akhirnya Tejo hanya mampu merintih-rintih di lantai, tak mampu bangkit lagi.

Ki Blontang sontak kaget. Diurungkannya langkah kakinya yang tadi bersiap memasuki kamar. Ia pun lebih waspada.

“Kurang ajar! Punya mainan juga nih tengkulak setan,” serapahnya, lebih ditujukan kepada kawanannya, si Pilon. Dengan isyarat mata Ki Blontang memerintahkan anak buahnya itu masuk.

Si Pilon tampak keder. Masuk ke kamar itu risikonya jelas, ia punya kemungkinan akan menjadi korban kedua setelah Tejo. Tetapi tak mematuhi perintah Ki Blontang pun bukan urusan enteng. Ia bisa digampar pimpinannya yang kadang kumat gilanya itu. Tak hanya itu, dibacok pun bukan mustahil mengingat kekejian Ki Blontang selama ini.

Hati-hati Si Pilon menggeser kakinya maju selangkah memasuki kamar. Tetapi dengan cepat ditariknya kembali kaki itu, seolah menginjak lumpur atau bara panas.

“Heit!” katanya. Ki Blontang yang kesal segera menyepak pantat anak buahnya itu.

“Masuk!” perintahnya, dicabutnya golok yang tersampir di pinggang, membuat nyali si Pilon segera kecut. Si Pilon ikut-ikutan mencabut golok, lalu dengan langkah tak meyakinkan menggeser kakinya memasuki pintu kamar yang terbuka.

Satu langkah, lalu si Pilon berhenti menunggu situasi. Tak ada apa pun terjadi. Kini giliran kaki lainnya ia geser. Badannya kini sudah sepenuhnya berada dalam kamar. Diedarkannya pandangannya berkeliling isi kamar. Pemandangan yang dilihat Si Pilon membuatnya kaget bukan kepalang. Di sebuah ranjang besar dilihatnya si Tengkulak dan istrinya terbaring pulas seolah tak ada apa pun yang terjadi menimpa mereka. Kelambu ranjang mereka tak dibuka, pertanda mereka tertidur sebelum menggeraikannya menutup ranjang.

Lalu apa, atau siapa yang membuat temannya mencelat keluar seolah dilempar seseorang dengan tenaga sekuat denawa? Dengan penuh ketakutan Si Pilon kembali mengedarkan pandagannya ke sekeliling ruangan. Tak ada apa pun yang terlihat mencurigakan. Tak ada bunyi apa pun yang terdengar. Semua hening, kondisinya tengah malam yang begitu bening untuk para pencari kesejatian.

Namun manakala tatapan mata Si Pilon kembali ke arah ranjang, pandangannya tertumbuk sebuah objek di depan. Begitu dekat, sehingga menutup seluruh penglihatannya dari apa yang terjadi di depannya kini. Belum lagi Si Pilon lepas dari keterkejutannya, sebuah hantaman telak menghajar dagunya.

“Dug!”

Hanya itu yang ia ingat, sebelum gelap menutup seluruh pandangan mata si Pilon yang ambruk mencium lantai.

“Hei, ada apa Lawuk?” teriak Ki Blontang dari luar. Rupanya terdengar juga olehnya bunyi gedebuk jatuhnya si Pilon. Tak ada suara dari dalam. Hanya keheningan yang menjawabnya.

Penasaran, Ki Blontang bergerak ke arah kamar yang pintunya telah terbuka lebar itu. Dimasukkan golok yang tadi ia pegang. Meski demikian gerakannya saat memasuki kamar jelas menandakan gerak-gerik seorang pesilat ulung yang siap menghadapi ancaman apapun.

Belum juga kaki Ki Blontang memasuki area kamar, sebuah benda berdesing ke arahnya. Benda besar, manusia! Refleks Ki Blontang menghindar dengan berguling di lantai. Posisi bergulingnya ke samping, tidak memasuki kamar yang pasti lebih riskan akan ditunggu penyerang dengan serangan selanjutnya.

“Gedubrak!” bunyi benda lunak membentur lantai ruang tengah terdengar keras. Ki Blontang sadar, benda yang dilemparkan seseorang untuk menyerangnya itu tak lain dari badan Lawuk, si Pilon anak buahnya sendiri. Ia sadar pula, seseorang yang mampu melempar badan manusia sebesar Lawuk tentu manusia yang tangguh. Tapi sebentar, ‘seseorang’? Manusia? Ki Blontang tak yakin ada manusia yang dengan enteng melempar dua anak buahnya seperti itu.

Namun Ki Blontang tak perlu menekur lama memikirkan kejadian itu. Belum lagi posisinya tegak setelah berguling-guling menghindar serangan lemparan badan Lawuk, sebuah bunyi berdesing menuju dagunya yang tak terjaga. Sadar risikonya besar, meski tak yakin apa yang menyerangnya, Ki Blontang menangkis dengan tangan kanannya.

“Wuaaa!” Jeritan Ki Blontang membahana merayapi ruang demi ruang di rumah itu. Tak hanya ia rasakan pergelangan tangan yang dipakainya menangkis bergetar, Ki Blontang juga merasakan sakit yang teramat nyeri, hingga memukul ulu hati. Ia menduga tulang hastanya patah akibat benturan itu.

Saat mukanya tengadah, seseorang dengan entengnya berdiri memukul-mukulkan semacam tongkat pendek seperti penggada ke telapak tangannya sendiri.

“He he he” Orang di depannya tertawa. Nyala pelita perlahan-lahan memandu Ki Blontang akan sosok di depannya itu: seorang pemuda dengan ikat kepala ala Sunda berdiri santai, memegang semacam penggada yang segera ia sisipkan ke sabuknya.

“Cuma segitu saja kedigjayaan perampok-perampok Wetan, heh?” orang di depannya tertawa. “Tadinya akan kubiarkan kalian merampok tuan tanah, tengkulak dan rentenir bajingan ini. Tapi kupikir lagi, rugi juga bila dunya brananya tersebar di Wetan. Itu artinya menambah devisa Mataram, mengurangi jumlah uang beredar di sini, Bajingan! Padahal devisa Tanah Sunda sudah kerontang buat mengimpor beras dari Campa! Ujung-ujungnya mungkin akan terjadi kelangkaan uang seperti yang konon akan terjadi di wilayah ini sekitar 400 tahunan nanti.”

“Tidak, aku Ukur tak menginginkan hal itu. Enak saja! Lebih baik bila apa yang telah kalian kumpulkan ini kuambil. Biar rakyat Tatar Ukur yang menikmatinya, karena sejatinya dari mereka pula rajabrana yang terkumpul menggunung di rumah ini berasal,” kata orang yang tak lain dari Ukur itu.

Ki Blontang terperangah. Ukur? Ternyata anjing ini lolos dari sergapan Kanjeng Senapati, pikirnya. Namun ia tak sempat berpikir lebih jauh. Sebuah pukulan yang tiba-tiba menghantam kepalanya, membuatnya tak lagi mampu mengingat apapun. Gelap semata. Segelap nasib yang akan menimpanya.

Meski ribet Ukur tetap memuatkan tiga buntalan harta yang telah dikumpulkan kawanan Ki Blontang itu ke kudanya. Ia sadar, jerih payahnya membawa buntalan sarung itu akan terbalas lunas dengan kegembiraan orang-orang miskin esok hari, manakala mereka mendapati harta yang ia bagi-bagi itu di depan pintu rumah mereka masing-masing.

Sempat hati Ukur bimbang, mengingat secara hukum harta benda yang ia bawa itu milik tengkulak dan rentenir yang hingga kini masih pulas tertidur bagai babi mabok di ranjangnya. Tetapi mengingat harta itu lebih berguna bila tersebar di antara warga, rasa bersalah Ukur itu terlunaskan.

Belum lagi kalau ia berpikir bahwa rentenir itu pun mendapatkan harta tersebut dengan cara memeras dan mencekik para petani dan buruh yang kesusahan. Bukankah pula Allah pun tak suka dengan harta tak berguna, mengendap di bawah bantal atau pundi-pundi para orang kaya yang serakah, tanpa berguna buat perekonomian warga?

Tadi sebelum meninggalkan rumah rentenir itu Ukur sudah menawan ketiga orang itu dengan mengikat mereka bertiga ke tiang paling kokoh di rumah itu. Tak mungkin ketiganya lolos dari tali dadung yang terikat ke tangan dan badan mereka. Ketiga utusan Senapati Ronggonoto yang sudah jadi perampok itu hanya bisa menunggu pagi, saat adzan subuh melenyapkan pengaruh aji sirep mereka. Entah apa yang akan mereka hadapi esok pagi, Ukur tak mau berpikir sejauh itu. Biarlah, toh mereka orang-orang yang telah dewasa, yang tahu risiko apa yang mereka kerjakan.

Malam itu Ukur sibuk membagi-bagi harta rajakaya milik si rentenir. Sedikitnya orang-orang miskin di tiga dusun bisa ia bagi. Lumayan, bila dipergunakan dengan bijak, bagian masing-masing itu bisa untuk menghidupi keluarga tiga anak selama tiga bulan ke depan. Untuk itu, sama seperti yang dilakukan ketiga penjahat itu, Ukur pun harus merapal aji sirep dari sisi lain. Sisi putih. Ia tak ingin apa yang dikerjakannya diketahui petugas ronda atau siapa pun yang memergoki dirinya.

Usai melakukan hal itu Ukur menuju Masigit. Itu nama umum buat masjid agung Tatar Ukur. Ia sempat mengerjakan beberapa rakaat shalat tahajud, sebelum marbot terbangun dan mengumandangkan adzan subuh. Hati Ukur tergetar. Inilah adzan subuh pertama yang ia dengar di tanahnya sendiri, setelah sekian lama berada di pangumbaraan, tempat merantau yang jauh di Tatar Wetan.

Usai subuh dilihatnya orang-orang tengah mengerumuni unggun yang berkobar-kobar. Penasaran Ukur melipat sarungnya, menyimpannya di bawah pelana sebelum berjalan menghampiri. Ternyata orang-orang itu para pekerja dan pedagang keliling yang siap bekerja. Mereka tengah mengerumuni seorang nenek tukang surabi. Apa yang tadi dari dalam masigit dilihatnya sebagai unggun itu ternyata kayu terbakar yang dipakai untuk mematangkan surabi.

Euleuh, ngeunah temen ieu mumuluk isuk-isuk ku surabi,” katanya, mendekati mereka, lalu duduk di bangku panjang yang masih menyisakan ruang kosong untuk dua orang. “Wah, enak sekali ya, pagi-pagi sarapan surabi.”

“Euh, sumuhun Aden, mangga calik. Hatur lumayan,” kata si nenek penjual, menyilakan dengan penuh hormat. Ia sebentar berdiri dari duduknya di hadapan tungku, dengan kedua jari tangan masing-masing beradu dalam posisi menyembah. Ukur segera memintanya duduk dan kembali beraktivitas. Orang-orang yang lain pun agak menyibak, tak enak terlalu dekat duduk dengan kaum menak. Beberapa bahkan segera andeprok[1] di tanah.

Mereka hanya mau kembali duduk setelah Ukur paksa-paksa berkali-kali. Itu pun tampak jelas bahwa mereka sungkan dengan kehadirannya. Bagaimanapun keberadaan Ukur memang tak dapat ditutup-tutupi. Meski ia hanya menggunakan pakaian yang sama dengan yang mereka pakai, tutur kata, gerak-geraknya tak mampu menyembunyikan dirinya yang berdarah biru, terah menak Sunda itu.

Di sana Ukur mengisi perutnya dengan tiga surabi. Dua surabi oncom yang kata pedagangnya dijual para penjual oncom dari Pasir Reungit, sepotong lagi surabi yang ditaburinya dengan potongan pisang. Nikmat sekali makan surabi pagi-pagi, apalagi didorong dengan kopi hitam yang direbus, bukan diseduh.

Kopinya konon diambil dari Gunung Galunggung, dipetik hanya buah-buah yang masak memerah, berlomba dengan para codot dan luwak pemakan kopi. Setelah dibersihkan dari kulit dan dijemur hingga kering, kopi-kopi itu disangrai hingga hitam mengarang, mengeluarkan bau harum yang tak tertandingi.

Haturan, Aden. Kopi nu ditutu ku nini-nini,” katanya merendah, menyodorkan batok kelapa berisi kopi pahit dengan kopi tubruk yang masih mengambang. “Silakan Raden, kopi yang ditumbuk nenek-nenek.“ Ia juga mengangsurkan sebongkah gula merah dari nira yang berwarna merah bening menggiurkan.

“Kalau yang di depan itu bangunan apa, Pak?” tanya Ukur pada seorang lelaki tua di dekatnya.

“Oh, itu Bale Watangan, Den. Penjara.”

“Kalau itu?” Ukur menunjuk sebuah rumah besar di seberang masjid. Rumah itu tampak mewah, dan terjaga ketat. Beberapa penjaganya terlihat mondar-mandir melihat ke arah mereka. Tapi tak ada seorang pun yang beranjak. Mungkin bau kopi yang wangi dan ruap surabi matang membuat perut mereka lapar.

“Itu mah rumah Kanjeng Bupati Sutapura,” jawab si bapak.

Sukar sekali Ukur mendapatkan jawaban tentang siapa sebenarnya Bupati Sutapura. Kebanyakan rakyat kecil itu takut untuk berkata jujur tentang perilaku bupati itu. Mereka banyak menutup-nutupi. Tapi Ukur memang tak ingin menyusahkan orang-orang kecil itu. Ada banyak cara orang kecil untuk membuka persoalan, mengutarakan kekecewaan.

Tak harus dengan bicara gamblang tentang apa yang mereka rasakan. Senyum yang mereka kembangkan sebagai jawaban pertanyaan, tawa renyah namun terdengar ada nada getir di sana, atau jawaban pendek semacam,”Yaa, begitulah..” sudah merupakan jawaban bagi para pejabat yang sensitif.

“Bagaimana kalau orang itu kita ganti saja?” tanya Ukur, seolah berkelakar. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan tawa riuh orang-orang kecil itu. Namun dari mata mereka Ukur tahu, bahkan kalau pun Bupati Sutaputa perlaya dibunuh seseorang, mereka tak keberatan.

Ukur minta Nini menyiapkan sepuluh potong surabi. Dengan surabi itu ia menghampiri rumah Bupati Sutapura. Begitu jarak dirinya dengan gerbang rumah hanya tinggal dua meter, seorang penjaga bangun dari duduknya di gardu dan menghardiknya keras.

“Eureun siah! Setop! Mau apa kemari?”

Bentakan keras itu tak sedikit pun membuat Ukur keder. Ia bahkan menghampiri, menyerahkan surabi yang masih mengepulkan asap harum terbungkus daun jati.

“Silakan, surabi dari sana. Lumayan buat sarapan,” katanya. Rikuh karena dibalas dengan perlakuan seperti itu, si penjaga yang berkumis baplang itu tak mau menerima langsung surabi dari tangan Ukur. Ia meminta rekannya menerima tawaran itu.

“Ambil!” katanya, masih sok kuasa.

Ukur sama sekali tak mempedulikan perlakuan itu. Dengan tangan ia memotong surabi miliknya dalam potongan sekali suap, lalu memakan potongan itu dengan nikmat. Bahkan tanpa dipersilakan ia langsung duduk di kursi panjang yang ada di depan gardu penjagaan.

“Mangga, silakan, ” katanya dengan suara tak begitu jelas karena mulut penuh surabi. [bersambung]


[1] Bersila di tanah dengan sikap hormat

Back to top button