POTPOURRI

UKUR

Pegangan atau kode keksatriaan semacam apa yang bisa membenarkan sepasukan prajurit sebuah negara menyerbu sebuah wilayah dan merampok harta bendanya, menistakan kehormatan para gadis dan istri-istri warga wilayah itu, sementara para lelakinya sedang berjuang untuk nama baik, atau setidaknya kepentingan negara pasukan penyerbu? Pengkhianatan seperti apa lagi yang lebih rendah daripada itu?

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode -25

Hanya sekitar dua pekan setelah kepergian Ukur dan pasukannya untuk bersama-sama pasukan Mataram menyerang Batavia, datanglah ke Dayeuh Ukur, pusat pemerintahan Tatar Ukur, sepasukan besar orang-orang Mataram. Mereka dipimpin Senapati Ronggonoto. Begitu datang, tata cara dan perilaku mereka, bahkan para pimpinannya, sungguh jauh dari tata krama dan sikap orang berbudi. Wakil yang Ukur percayakan untuk menggantikan dirinya mengurus pemerintahan sementara,  senyampang penyerangan ke Batavia, diperlakukan tak hanya kasar, melainkan biadab. Wakil yang masih kerabat dan jelas keturunan bangsawan itu diusir dari pendapa, ditendangi hingga terampun-ampun.

Sementara, pasukan Mataram pun seolah dibiarkan merambah, merusak dan mengganggu kehidupan warga Tatar Ukur. Mereka berkeliaran tanpa disiplin, masuk warung dan mengambil segala yang mereka mau tanpa membayar. Begitu pula bila mereka makan di warung-warung makan.

Bahkan pada suatu malam, pada sebuah hajatan yang ‘menanggap’ hiburan ketuk tilu, para prajurit Mataram yang awalnya menonton sambil bermabuk-mabukan, kehilangan kendali angkara mereka. Dengan bernafsu mereka melecehkan para penari yang ada. Saat para nayaga  atau kru kesenian itu marah, justru para nayaga itu yang disiksa. Beberapa di antaranya sampai meninggal di tempat.

Segera, Tatar Ukur menjadi wilayah tanpa hukum. Kegelisahan merebak, rakyat gempar ketakutan. Mereka marah, tapi tak berdaya. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka tahu, memprotes kelakuan para tentara Mataram tak lebih dari menyerahkan nyawa percuma.

Pernah dua kali Senapati Ronggonoto datang ke kediaman Nyi Mas Ukur. Sebagai tamu, tentu dia diterima. Persoalannya, ternyata pangkat tinggi tak membuatnya sikapnya yang tak berbudi terhalangi. Di kesempatan pertama itu pun, tanpa sungkan ia merayu Nyi Mas Ukur, membuat istri Ukur itu jijik dengan sifatnya yang culas.

Kedatangannya yang kedua bahkan lebih parah. Senapati buruk rupa itu datang dengan niat melamar Nyi Mas Ukur. Bayangkan, melamar seseorang yang masih bersuami! Dia berdalih, Ukur sudah palastra di medan jurit Batavia.  

“Mayatnya saja tak ditemukan. Mungkin dibawa orang-orang Kumpeni dan dibakar di dalam benteng mereka,” kata Ronggonoto, kian membuat sedih Nyi Mas Ukur. Hanya kesadaran sebagai istri seorang ksatria saja yang membuat Nyi Mas Ukur bertahan tak memperlihatkan perasaannya yang bergolak dalam jiwa. Ingin rasanya ia mengusir senapati Wetan yang tak punya tata krama itu. Namun, tentu semua itu tak mungkin ia lakukan. Akhirnya ia bisa terlepas dari kondisi yang menjijikan itu—menerima Ronggonoto sebagai tamu, setelah seorang anaknya, Kanilaras, datang mengajak bermain-main keluar rumah.

Semua itu, terutama melihat penderitaan rakyat Ukur, Nyi Mas Ukur pun berpikir cepat. Hari itu juga ia meminta orang kepercayaannya, sekaligus kepercayaan suaminya, untuk mendatangi Ukur di Batavia. Pesannya hanya satu, memintanya pulang, karena urusan di Tatar Ukur jelas lebih genting. 

“Ki Sena,”kata Nyi Mas Ukur setelah Ki Sena, abdi setianya itu datang menghadap. “Bawa surat itu ke Kakang Ukur. Temui beliau secepatnya. Paksa, dengan bagaimana pun caranya agar segera pulang, jika ia tak bisa diyakinkan surat ini.”

Ki Sena, abdi setia itu, tak banyak bertanya. Sekian lama mengabdi membuatnya tahu pasti kegelisahan majikannya. Diambilnya surat, juga kanjut kundang berisi koin perak yang diberikan padanya untuk biaya perjalanan. Hanya berselang satu jam persiapan, ia terlihat keluar pekarangan dengan menunggang kuda. Lepas dari halaman rumah Nyi Mas Ukur, tali kekang disentaknya keras, membuat kuda itu melompat sebelum berlari kencang ke arah utara: Batavia. Menuju pasukan Ukur yang saat ini entah berada di sisi Batavia sebelah mana.   

                                                          ***

Nyi Mas Saribanon atau Nyi Mas Ukur melayangkan pandangan ke sekitar pekarangan rumah tempat diri dan anaknya menumpang. Masih ada ratusan warga Tatar Ukur bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil, bernaung di keteduhan teras rumah atau pepohonan. Mereka duduk duduk atau gelimpangan tiduran beralaskan daun-daun pisang atau daun jati, sekadar melepaskan lelah.

Beberapa adalah perempuan, ibu-ibu yang memeluk anak-anak mereka, menenangkan manakala bocah-bocah kecil itu menangis ketakutan dan bingung. Mereka, rakyatnya yang tak kebagian tempat menumpang karena sedikitnya rumah yang ada di kampung ini, Kampung Pasir Angling, sebuah perdukuhan kecil di lereng Gunung Bukit Tunggul.

Semalaman Nyi Mas Saribanon dan sekian ratus rakyatnya melarikan diri, kabur dari Dayeuh Ukur yang telah dirogahala oleh karaman tentara Mataram.  Setelah beberapa waktu merajalela, akhirnya tiga hari sebelumnya pasukan yang telah kehilangan disiplin keprajuritan itu menghancurkan Dayeuh Ukur. Mereka menjarah rumah-rumah, mengambil barang-barang berharga. Bila di rumah itu ada perempuan yang masih muda, istri-istri yang ditinggal pergi dalam tugas menyerang Batavia, tanpa ragu mereka melecehkannya.  

Hanya karena kesiagaan telik sandi Tatar Ukur, orang-orang yang kini tersisa dan mengungsi, keburu untuk kabur sebelum rumah-rumah mereka didatangi rombongan tentara. Mereka lari meninggalkan Tatar Ukur, segera setelah telik sandi menyampaikan pesan adanya penjarahan bala tentara Mataram. Tak tahu berapa keluarga yang tak sempat mengungsi, menjadi korban kebiadaban orang-orang Wetan itu.

Belakangan Nyi Mas Saribanon mendengar sekian banyak kampung telah terbakar dan rata dengan tanah. Tak terhitung para mojang bahkan perempuan-perempuan bersuami yang diranjah dirogahala bala tentara Wetan. Nyi Mas Saribanon mendengar, sebagai istri Dipati Ukur, dirinya termasuk yang paling dicari pasukan itu. Asap mengepul menjangkau langit saat mereka menengok ke belakang dalam pelarian. Kampung mereka, rumah-rumah mereka sudah terbakar menjadi abu.

Tanpa terasa air matanya hangat meleleh membasahi pipi. Ia sedih oleh banyak hal. Tak tega hatinya melihat rakyatnya kini terlunta-lunta sebagai pengungsi, menghindari serbuan pasukan sebuah negara yang justru tengah dibela mati-matian oleh suami dan sekian ribu suami lain di Batavia.

Ia tak habis pikir, apa yang ada di kepala pasukan Mataram itu? Pegangan atau kode keksatriaan semacam apa yang bisa membenarkan sepasukan prajurit sebuah negara menyerbu sebuah wilayah dan merampok harta bendanya, menistakan kehormatan para gadis dan istri-istri warga wilayah itu, sementara para lelakinya sedang berjuang untuk nama baik, atau setidaknya kepentingan negara pasukan penyerbu? Pengkhianatan seperti apa lagi yang lebih rendah daripada itu?

Sedih, karena di saat-saat seperti itu suaminya beserta sekian ribu rakyat pilihan negerinya justru tengah bertaruh nyawa demi kepentingan orang yang mungkin sekali memerintahkan penyerbuan kepada Tatar Ukur yang tengah kosong itu. Sedih, betapa pengorbanan suami dan ribuan anak buahnya justru mendapatkan balasan menyakitkan. Ibarat air susu dibalas air tuba, nu asih dipulang sengit.

“Betapa hina, kau Sultan Agung,” Nyi Mas Saribanon mendesis penuh murka. “Ternyata kau hanya kepala dari sejenis anjing hutan yang culas dan pengecut.”

Nyi Mas Saribanon merasa beruntung sempat meraup emas perhiasan serta sekantong kepeng perak dari penyimpanan tersembunyi sebelum pergi menyelamatkan diri. Tak banyak yang bisa dibawa mengingat saat itu pasukan Mataram bisa kapan saja datang menyergap. Uang perak itulah yang dipakai untuk sekadar menutup kerugian penduduk Pasir Angling yang kebanjiran pengungsi. Menutup kerugian tanaman mereka yang dipanen belum saatnya, untuk mengisi perut sekian ratus orang yang saat ini keleleran.

Nyi Mas Ukur baru saja hendak masuk rumah, menengok anaknya di kamar, saat seorang prajurit Ukur dengan berlari mendapati dirinya. Ia tak sempat mengatur nafas saat berkata dengan terburu-buru.

“Raden Ayu…ma..maaf,” katanya terbata-bata, berlomba antara apa yang ingin ia ucapkan dengan napas yang tersengal-senyal kecapekan.

“Ada apa, Paman? Minumlah dulu,” kata Nyi Mas Ukur. Meski ia pun segera ingin tahu apa yang hendak dilaporkan prajurit tersebut, tentu ia berharap agar apa yang dikatakan nanti bisa tersampaikan dengan lancar agar dapat dimengerti dan diambil keputusan yang lebih baik.

“Te..terima kasih, Raden. Ta..tapi persoalannya mendesak. Wadya bala Mataram sudah berada di mulut kampung. Ki..kita harus segera pe…pergi dari sini. Segera!” kata si prajurit. Selesai juga ia melaporkan apa yang harus ia katakan meski harus terpatah-patah.

Seharusnya memang laporan itu ditanggapi biasa oleh Nyi Mas Ukur, mengingat sejak tiga hari lalu diri dan keluarganya terus-terusan dikejar pasukan Mataram. Artinya, kesadarannya pun terus menegaskan bahwa keamanan diri dan keluarganya masih tak punya jaminan. Setiap saat bisa saja pasukan penuh nafsu amarah itu bisa tiba-tiba datang menyerbu. Tetapi tetap saja kabar tersebut membuat wajah Nyi Mas Ukur pucat. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dialaminya kalau pasukan Mataram yang ganas dan liar itu sampai bisa menangkap dirinya dan seorang anak Dipati Ukur yang masih kecil, Kanilaras.

Hanya untunglah, bagaimana pun ia sadar bahwa dirinya adalah istri seorang prajurit agung yang namanya telah tersebar harum ke berbagai pelosok, jauh melampaui Cipamali, sungai yang menjadi batas Kerajaan Sunda. Ia ingat cerita Dyah Pitaloka dalam kisah pengkhianatan di Bubat yang diturunkan dari generasi ke generasi Sunda. Dyah Pitaloka benar-benar seorang perempuan Sunda yang punya harga diri. Ia lebih tega mengorbankan nyawa dibanding harga dirinya diperlakukan hina oleh orang-orang Majapahit.

“Bila Putri Citraresmi Sang Dyah Pitaloka mampu menjaga dan menunjukkan keagungan harga diri urang Sunda, apa yang membuatku tak bisa melakukan hal yang sama, demi harga diri Sunda, harga diriku, harga diri suamiku Ukur? Kop tah badak, kop tah maung, kalau perlu aku rela berkalang tanah, bertarung berebut nyawa dengan orang-orang Wetan itu,” kata Nyi Mas Ukur membatin.

Dengan tetap berusaha tenang ia memanggil para emban, memerintahkan mereka segera membawa Kanilaras menyingkir lari ke belakang. Lari sejauh-jauhnya lebih dulu, itu yang paling penting. Segera setelah para emban berangkat bersama anaknya, dikawal lima orang prajurit Ukur, Nyi mas Ukur segera memanggil seorang prajurit.

“Satria, segera beritahu orang-orang. Sebaiknya memang lari karena kudengar orang-orang Wetan itu sangatlah kejam. Aku akan membawa anakku pergi menghindar. Ada pun apa yang akan kalian perbuat sebagai prajurit, kalian tentu lebih tahu daripada diriku. Lakukanlah, sepanjang tidak memalukan orang-orang Sunda!” kata Nyi Mas Ukur.

Segera ditariknya kain penutup bawahannya. Ternyata di balik kain itu ia mengenakan celana pangsi, sama seperti para pendekar laki-laki Ukur. Celana itu memungkinkannya bisa bergerak lebih gesit tanpa terganggu sempitnya jarak langkah bila memakai kain. Dirabanya patrem, duhung kecil tajam yang ia sisipkan di pahanya. Ada, siap untuk ditikamkan manakala perlu. Dengan cepat kain itu dibelitkannya dipinggang, sehingga gerakan Nyi Mas Ukur kini laiknya gerakan seorang pendekar wanita, sigap setangkas gerakan burung srigunting.

Dengan cepat Nyi Mas Ukur membungkus barang-barang yang dianggapnya berharga dengan kain sarung. Sebenarnya lebih tepat tinggal dibawa, karena bagaimana pun ia selalu mempersiapkan kondisi darurat yang mungkin terjadi. Hanya memang ada satu dua barang yang belum terangkum dalam kain sarung itu, hingga ia perlu memasukkannya dan memastikan.

Baru saja kaki Nyi Mas Ukur keluar dari golodog ke pekarangan rumah, manakala ia segera berhadapan dengan hal terburuk yang selama ini paling ditakutkannya. Orang-orang Mataram bersenjata lengkap sudah mengurung dirinya, tak memberikan lubang gerak untuk kabur. Sementara seorang prajurit Ukur yang menjaga dirinya terkapar di halaman dengan leher nyaris putus. Seorang lagi berada di ambang ajal: ia disandera dengan golok tajam menempel di leher. Itu yang membuat mengapa suasana begitu sepi manakala tadi ia sekejap beres-beres di kamar.

“Paling tidak bocah itu sudah aman bersama para emban. Semoga dia bisa menuntut balas pada saatnya,”pikir Nyi Mas Ukur. Yang ada di hatinya kini tinggal satu: bagaimana ia tetap terhormat, bahkan kalau pun untuk itu harus mati. Mata Nyi Mas Ukur menyelidik, melihat sisi mana yang paling lemah untuk diserang. Hanya dengan begitu ia mungkin bisa melabrak kepungan dan melarikan diri.

“He he he…Mau lari kemana, Nyai?” Seseorang menyeruak dari barisan para pengepung, terkekeh seperti Sengkuni. Namun yang ini lebih parah, karena bukan hanya caranya tertawa yang menyebalkan, wajahnya juga benar-benar bisa membuat orang mual melihatnya. Pipi kirinya dihiasi tiga gurat luka parut yang parah. Meski telah kering, bekas lukanya begitu putih, sisa-sisa daging terkoyak yang kini sembuh. Luka yang menunjukkan dengan jelas bahwa dulunya terkoyak memanjang, dalam dan cukup besar sehingga dominan merusak parasnya. Orang bisa-bisa mengira mereka bertemu dengan jin jahat buruk rupa dibanding bertemu manusia! Hanya pakaian yang dikenakannya saja yang membuat orang tahu bahwa pemakainya seorang yang punya jabatan tinggi dalam dinas keprajuritan Mataram. Orang itu memakai pakaian senapati. Dialah Senopati Ronggonoto, orang yang paling membenci Ukur di seluruh dunia, tampaknya. 

“Mendingan terima lamaran Kakang. Kita kawin, jauh lebih enak dibanding lari tanpa tujuan. Mau ke mana? Toh Si Ukur pun telah mati dipanggang sangkur Kumpeni..”

Nyi Mas Ukur terdiam. Wajahnya pucat. Namun tak lama, paras ayu itu kini merona jambu, lalu kian merah, seiring kemarahannya.

“Menyingkir dari hadapanku Ronggonoto! Kau benar-benar binatang!”

Ronggonoto mendengus. Setelah wajahnya rusak, ia kian baperankata yang tercipta 400-an tahun setelah wajahnya dirusak Lodaya peliharaan Ukur–pengarang. Setiap kali melihat orang berkaca, ia akan marah. Tak senang karena telah lama dirinya mengharamkan kaca. Kalau ada dalang berpentas menggambarkan ketampanan Raden Arjuna, ia tak akan ragu membubarkan pentas wayang tersebut. Tentu saja, apalagi bila disebut binatang, yang terbayang justru wajahnya yang kini buruk. Lebih buruk dari siamang, bahkan.   

“Si Ukur sialan, suamimu itu yang membuat wajahku jadi buruk begini. Aku tak akan pernah lupa, dan aku akan membalasnya dengan membunuhnya pelan-pelan pada saatnya, Nyai!” suara Senapati Ronggonoto serak, menandakan gejolak kemarahan dalam dadanya. Bagaimana pun berjumpa dengan istri musuh bebuyutannya tentu mengingatkan dirinya akan Ukur, orang membuatnya kini cacat dan terlihat hina meski berpakaian kebesaran keraton Jawa.

“Terima saja, jadilah istriku!”  Ronggonoto berjalan mendekati Nyi Mas Ukur, tangannya membentang, seolah bersiap menerima pelukan wanita yang diidamkannya itu.  [bersambung]

Back to top button