POTPOURRI

UKUR

Yang menjadi tujuan adalah Kerajaan Talaga Manggung. Di sana berkuasa Dalem Aria Sacanata alias Pangeran Aria Salingsingan, seorang ksatria Sunda yang sejak lama bersahabat dengan Ukur

Oleh  :  Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode—35

Ukur memperbaiki sikap duduknya, mengetatkan sikap bersilanya. Dimintanya para prajurit disekelilingnya mengikuti apa pun yang ia lakukan dan katakan. Setelah menarik nafas panjang, ia bersedekap dan mengatupkan matanya. Beberapa detik kemudian Ukur mulai merapal mantera.

Mantera itu didului dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Rahman dan Rahim, sebelum beberapa baris kalimat berbahasa Jawa lama, yang terdengar lebih sebagai sebuah salam dan permohonan. Lalu terdengar pula petikan ayat-ayat Alquran, di antaranya jelas diambil dari surat Al-An‘Am ayat 103.

Laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar. Wahuwal lathiiful khabiir,”kata Ukur. Kemudian beberapa ayat lain yang diikuti ke-12 prajurit tersebut dengan takzim.

Setelah menyebutkan “aamiin ya Rabbal ‘alamiin”, Ukur menghentikan bacaannya dan membuka mata. Tanpa dikomando  para prajuritnya pun melakukan hal serupa. Tak ada satu pun yang terdengar mendenguskan nafas, seolah menahannya untuk tahu apa yang akan terjadi.  Karena semua orang diam, suara sekecil apa pun saat tu akan terdengar nyaring. Ganjilnya, tak ada suara apa pun yang terdengar. Tidak suara kodok, cericit jangkrik, teriakan burung-burung malam, jerit caricangkas, bahkan kegembiraan lutung di kejauhan yang biasanya tak pernah absen terdengar setiap malam. Angin pun seolah terdiam, mengambang tertahan di udara Gunung Lumbung, membuat daun dan ranting tak bergesekan, hingga mustahil menghasilkan bunyi.

“Bismillahirrohmaanirrohiiim…” kata Ukur lebih keras dibanding doa yang tadi ia rapalkan.  Ia lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan yang sejak tadi menadah meminta. Serentak hal yang sama dilakukan para prajuritnya.

Beberapa saat setelah mengusap wajah, Ukur belum sadar apa yang terjadi. Sampai Ki Mardawa tiba-tiba terlonjak kaget. Tangannya menunjuk Ukur, pria yang selama ini dibela dan dijaganya.

“Ka…Ka..Kanjeng Dipati!” katanya, jelas terperanjat. “Wajah Kanjeng Dipati berubah jadi wajah hamba!”

Ukur pun tak kalah terperanjat. Benar bahwa dulu pun gurunya pernah berkata seperti apa maunat ajian Grojog Sewu tersebut. Konon, kata gurunya yang kini telah tiada, ajian itu bisa membuat pemegangnya bisa mengubah rupa menjadi apa pun. Binatang, pepohonan, wajah orang lain yang ia inginkan. Apa pun! Tetapi karena merasa hal itu terlalu berlebihan bila memang terbukti, Ukur tak pernah sekali pun mencoba ilmu itu. Apalagi kalau dipikir secara jernih, apa keperluannya ia menjadikan dirinya berwajah lain, atau bahkan menjadi seekor hewan?  Kali ini pun ia baru setuju setelah sekian kali dibujuk Ki Mardawa, dengan segala rupa alasan yang kian lama terdengar masuk akal.

Sebaliknya, yang dilihat Ukur lain dengan penglihatan Ki Mardawa. Ukur melihat ke-12 prajurit itu kini memiliki wajah yang sama. Wajah dirinya: paras Dipati Ukur! Memang itu pula yang tadi saat merapalkan mantera dan permintaan terbersit di kepalanya. Dia menjadi Ki Mardawa, sementara Ki Mardawa dan 11 orang anak buahnya berubah wajah menjadi dirinya.

“Ki, ambil cermin!” kata Ukur kepada Ki Mardawa yang saat ini telah menjadi dirinya. Ki Mardawa segera bangkit, berjalan ke dalam rumah. Ia kembali dengan cermin logam di tangannya[1].

“Cobalah Kalian berkaca!” seru Ukur.

Ramailah kemudian rumah itu dengan pekik-pekik kekagetan. Benar, para prajurit relawan itu telah diberi tahu kemungkinan yang bisa jadi terwujud sebagaimana yang kini terlaksana: mereka berubah wujud. Tetapi meski begitu, tetap saja para prajurit muda itu kaget setelah melihatnya sendiri.

“Wah, bisa nyari istri lagi nih!” kata seseorang. Jelas ia bercanda, dan karena itu disambut tawa riuh teman-temannya.

Ukur masih membiarkan para prajurit relawan itu berganti-ganti mematut diri di hadapan cermin logam, benda langka yang ia dapatkan beberapa tahun lalu, hasil jual beli dengan seorang pedagang Cina di Dermaga Cimanuk, Kerajaan Sumedang Larang. Pelabuhan Cimanuk sejak seratus tahun sebelumnya telah ramai dilayari kapal-kapal barang dari manca negara, terutama armada dagang India, Cina dan Arab. Bahkan armada Portugis pun pernah singgah, mendaratkan seorang pengelana bernama Tome Pires, yang saat itu sempat berkunjung ke Keraton Padjadjaran di Dayeuh Pakuan.  

Sebenarnya, hati Ukur trenyuh melihat para prajurit relawan itu tampak biasa, malah terlihat senang dan saling tunjuk mengolok-olok sesama mereka, laiknya anak-anak yang mendapatkan mainan baru. Dia tak bisa membayangkan, karena tahu beberapa di antara relawan itu sudah berkeluarga. Bagaimana mereka bisa meyakinkan istri-istrinya dengan rupa yang sudah berubah itu, bahwa dia benar-benar suami yang kemarin, bapak dari anak-anak mereka? Tentu hal itu memerlukan pengorbanan besar, yang barangkali tak semua keluarga mereka dapat menerimanya. Belum lagi wajah yang menjadi pengganti itu adalah wajahnya, wajar Dipati Ukur, seorang yang saat ini menjadi buronan nomor satu Mataram, kerajaan besar yang tengah jumawa dan tak mau keinginannya ditentang. Artinya, ke-12 orang di hadapannya itu kini adalah buronan besar, yang akan dikejar-kejar para prajurit Mataram serta rahayat Sunda yang terbeli oleh iming-iming kepeng emas dan perak yang dijanjikan untuk kepalanya!

“Para prajurit,” kata Ukur setelah beberapa lama. Dengan segera gelak tawa itu berhenti. Suasana kembali khidmad, yang berbeda, kali ini suara binatang-binatang malam mulai kembali terdengar, angin pun kembali melayang terbang mengisi udara-udara kosong di seantero area Gunung Lumbung, terdengar dari gemerisik suara daun dan ranting kecil yang beradu digerakkan olehnya.

“Kula berharap Kalian semua sadar, mulai saat ini hidup Kalian sangat berbeda dengan apa yang telah Kalian lalui kemarin dan dulu. Sejak saat ini, Kalian adalah Ukur, seorang buronan. Kalian akan dikejar-kejar, ditangkap. Mungki akan dibunuh di tempat, hanya kepala yang akan dibawa sebagai bukti ke hadapan Sultan Agung. Mungkin pula dibawa dalam kondisi hina dan tersiksa ke Kartasura, sebelum di sana pun jelas Kalian akan dibunuh perlaya. Setahu kula, orang-orang Wetan pula banyak cara keji untuk menghilangkan nyawa. Bagi mereka, nyawa manusia hanyalah permainan, jadi manakala kalian tertangkap, maka Kalian pun akan dijadikan permainan keji terlebih dulu, sebelum pada akhirnya Kalian akan dibunuh.”  Ukur terdiam beberapa saat. Suaranya kini tercekat. Dipandanginya para prajurit relawan itu satu persatu dengan pandangan penuh belas dan terima kasih.

“Nah, bukan Kula mengusir. Senyampang hari masih malam, sehingga tak akan membuat warga rahayat kita terkejutkan, silakan Kalian berangkat menuju tujuan Kalian masing-masing. Bawalah anak-istri Kalian bila mereka sepakat. Kalau nasib baik bersama kita, mungkin pada saatnya, setelah semua ini terlupakan dan kondisi kembali normal, insya Allah kita akan berkumpul kembali. Namun bila tidak, anggaplah malam ini sebagai saat kula meminta maaf dan berterima kasih pada bela Kalian semua.”

Mendengar penuturan Ukur, tak sedikit di antara para prajurit relawan itu terisak. Bukan karena kemungkinan terburuk yang jelas membentang di hadapan mereka. Yang lebih mengiris perasaan para prajurit itu, inilah malam terakhir mereka bersama pimpinan yang mereka cintai. Besok, entah sampai kapan berakhirnya, mereka semua akan terpisah tanpa kejelasan kapan akan bertemu kembali. Semua terpulang pada pihak Mataram, sampai kapan mereka akan memusuhi Dipati Ukur, pimpinan mereka semua, yang saat ini dianggap sebagai pembangkang dan menjadi buronan Keraton Mataram. Bila Mataram menyatakan semua dimaafkan, semua dilupakan, maka persoalan pun sebenarnya segera berakhir. Tapi mengingat sifat Sultan Agung, rasa-rasanya hal seperti itu tak akan pernah terjadi.

“Kami yang sepatutnya berterima kasih, Kanjeng Dipati,” kata Ki Mardawa, mewakili para prajurit. “Kami berterima kasih telah mengalami saat-saat penuh kepahlawanan, kesetiakawanan, kejujuran dan belas kasih. Saling asah, silih asih, serta silih asuh di antara kita yang senantiasa Kanjeng Dipati hidup-hidupkan. Atas bimbingan Kanjeng Dipati, kami semua tahu mana yang sikap yang layak, mana yang hina. Mana loyang, mana emas yang berharga. Sebaliknya, bila saja sepanjang kita bersama-sama itu ada kesalahan dan khilaf kami, pada saat ini kami memohon pemaafan dari Kanjeng Dipati. Bila ada gurat nasib, insya Allah kami akan mencari Kanjeng Dipati pada saatnya,” kata Ki Mardawa.

Malam itu Ukur masih mengizinkan para prajurit terbaiknya itu saling bercengkerama hingga sekitar waktu yang disebut orang Kompeni sebagai dua jam. Sebelum waktu yang oleh urang Sunda disebut janari leutik[2] , mereka pun bubar. Ukur memberi ke-11 prajurit tersebut sebuah kanjut kundang, pundi-pundi berisi kepeng emas dan perak seorang satu.  Untuk Ki Mardawa, yang akan tetap bertahan sebagai Ukur di Gunung Lumbung, Ukur memberikan jumlah yang lebih besar, mengingat ia pun harus mengatur warga dan prajurit yang masih bertahan. Kas pasukan sendiri masih ada di Juru Simpen dengan jumlah yang cukup.

Lain dengan para prajurit relawan yang harus menghindari warga Gunung Lumbung yang pasti akan terkaget-kaget bila bertemu, Ukur sendiri merasa tak harus  berangkat meninggalkan Gunung Lumbung pada dini hari. Ia akan mengajak anaknya berangkat kira-kira pas wanci haneut moyan[3].

Kemarin, Ukur telah bicara panjang dengan Kanilaras dan adik laki-lakinya yang masih kecil—anak keduanya dari Nyimas Ukur. Meski tak yakin Kanilaras, apalagi adiknya mengerti yang ia bicarakan, Ukur menjelaskan panjang lebar tentang kemungkinan untuk menggunakan aji Grojog Sewu. Ia bahkan telah bicara, wajah siapa yang akan dicobanya untuk dipakai dalam upaya tersebut.

“Suara bapakmu tentu akan kamu kenali dengan baik, Nak. Percaya saja pada pendengaranmu nanti,” kata Ukur saat itu.

Besok pagi adalah waktu Ukur dan kedua anaknya melakukan perjalanan panjang. Mereka bertiga hanya akan ditemani seorang abdi yang juga telah lama hidup bersama keluarga mereka. Awalnya Ukur berpikir untuk memakai kuda, ditunggangi begitu saja. Toh Kanilaras pun sudah bisa menunggang kuda. Tetapi mengingat jauhnya perjalanan, sementara Kanilaras belum punya pengalaman berkuda jauh, niat itu ia urungkan. Apalagi Ukur harus membawa adik Kanilaras yang masih kurang dari lima tahun. Tak mungkin anak itu dibawa bersama di atas pelana kuda.

Sempat Ukur berpikir untuk menggunakan gorobag atau kereta yang ditarik sapi, sebagaimana laiknya orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Kadang sampai ke Mataram, bahkan Surabaya. Namun itu pun ia urungkan. Sapi adalah hewan manja yang kalau sudah ngamuk dia bisa seharian tak mau berjalan sama sekali. Wajar jika di Sunda kemudian ada peribahasa ‘mogok sapi’. Belum lagi kecepatan jalan sapi pun tak bisa diandalkan manakala mereka harus berjalan cepat.

Akhirnya pilihan jatuh pada kereta kuda dengan empat roda, bukan dua roda laiknya delman. Kereta itu pun harus tertutup, tidak terbuka seperti delman. Tak susah membuat semua itu. Semua sudah dilakukan pekan lalu.

Yang menjadi tujuan adalah Kerajaan Talaga Manggung. Di sana berkuasa Dalem Aria Sacanata alias Pangeran Aria Salingsingan, seorang ksatria Sunda yang sejak lama bersahabat dengan Ukur[4]. Pangeran Salingsingan sejak lama menyatakan simpatinya kepada apa yang diperjuangkan Ukur.  

Perjalanan yang akan ditempuh Ukur anak-beranak itu termasuk jauh dan panjang. Dari Gunung Lumbung mereka akan masuk wilayah Tatar Ukur, lalu melewati Parakan Muncang, lurus ke Sumedang Larang. Dari sana mereka harus melaju ke Conggeang, Cimalaka dan Legok, sebelum sampai di Desa Pasanggarahan[5], desa perbatasan wilayah Sumedang Larang dengan Kerajaan Sindang Kasih. Setelah itu mereka harus turun dari kuda, memakai rakit untuk melintas Muara Cimanuk dan masuk kawasan Karang Sambung yang sudah berada di wilayah Sindang kasih. Dari Karang Sambung, kuda akan berbelok ke kanan mengikuti jalan yang menanjak seiring lereng Gunung Ciremai. Di lereng Gunung Ciremai itulah Kerajaan Talaga Manggung berada. Ukur menghitung, setidaknya perlu waktu lima hari untuk sampai ke talaga. Itu pun bila perjalanan lancar.

Hari itu, sesegera ditinggalkan oleh ke-11 Ukur palsu yang berpencar ke berbagai arah mata angin, serta oleh Dipati Ukur yang kini telah menjadi ‘Ki Mardawa Palsu’ ke Talaga Manggung, ‘Ukur Mardawa’ alias Ki Mardawa yang telah menjadi Ukur segera mengerahkan warga dan wadya bala untuk memperkuat dinding-dinding benteng Gunung Lumbung. Kabar tentang bergabungnya wadya bala Keraton Cirebon ke dalam pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Narapaksa pun sudah lama ia dengar. Ia bahkan mendengar, seorang pemuda sakti keturunan Galuh bernama Bagus Sutapura telah bergabung dengan pasukan tersebut. Konon, Mataram percaya, hanya orang Sunda juga yang bisa menaklukan Ukur, dan pengumuman perekrutan dengan janji imbalan besar itu tampaknya telah menarik hati dan ambisi Bagus Sutapura.

“Datanglah ke sini, siapa pun orang Sunda yang tega menjual nyawa saudaranya demi kepeng-kepeng Mataram,” kata ‘Ukur Mardawa’ dalam hati. “Sebelum aku, ya akulah Ukur kini, mati, kupastikan sebanyak mungkin cecurut-cecurut Mataram dan kaki tangannya orang Sunda jenis penjilat itu akan mati.” [bersambung]      


[1] Cermin paling awal disebut-sebut dibuat dari kepingan batu mengkilap seperti obsidian. Cermin obsidian yang ditemukan di Anatolia, Turki, berasal dari tahun 6000 SM.  Cermin dari tembaga yang mengkilap telah dibuat di Mesopotamia pada 4000 SM dan di Mesir purba pada 3000 SM. Di Cina, cermin dari perunggu dibuat pada 2000 SM. Cermin kaca berlapis logam pertama tampaknya diciptakan di Sidon, Lebanon, pada abad pertama Masehi. Cermin kaca dengan sandaran dari daun emas disebutkan seorang pengarang dari Romawi, Pliny, dalam bukunya “Natural History” yang ditulissekitar tahun 77 M.

[2] Sekitar pukul dua dini hari.

[3] Sekitar pukul 09 pagi.

[4] Lihat: Rabin Hardjadibrata,”Dipati Ukur: Was it the Week that Ushered 350 Years of Dutch Rule?”. Selain itu menurut Edi S. Ekadjati dalam “Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda” (1982), kisah Dipati Ukur tercatat dalam 23 naskah dan dikelompokkan ke dalam delapan versi, yakni versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram, dan Batavia. Tampaknya kebanyakan ditulis oleh kalangan elit Sunda yang saat itu mengabdi Mataram, karena hanya tiga dari delapan versi ini yang bernada positif terhadap Dipati Ukur. Dalam versi Talaga, Dipati Ukur diselamatkan oleh Pangeran Salingsingan dari Kerajaan Talaga, dan tidak terbunuh dalam penyiksaan di Kartasura.

[5] Pada tahun 1960-an, desa ini berganti nama menjadi Desa Kebon Cau, termasuk Kecamatan Ujung Jaya. Lihat “Jalan Pos Daendels”: Seri Buku TEMPO, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2017.

Back to top button