POTPOURRI

UKUR

Pasukan Mataram itu bergerak di kegelapan malam, beringsut mendekati benteng yang lebih kecil, Hollandia. Jumlah pasukan yang diturunkan banyak sekali. Ada pula pasukan yang khusus membawa tangga dan alat-alat pelantak (manjanik), yang mereka buat dengan meniru apa yang dibangun pasukan Ukur.

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode-29

Pada 12 September 1628, manakala balatentara Tatar Sunda atas perintah Ukur berhasil menyelamatkan diri ke rawa-rawa Jatina Nagara, pasukan Kompeni memang tak keterusan mengejar mereka. Mereka kehilangan minat. Pasukan terlatih itu tahu, rawa-rawa dengan banyak semak dan rapatnya pepohonan adalah medan perang yang tepat untuk perkelahian langsung jarak dekat. Suatu kondisi yang benar-benar memberikan keuntungan kepada wadya bala Ukur, bukan mereka.

Tetapi bukan berarti pasukan Kompeni itu pulang dan masuk benteng. Tidak. Alih-alih kembali ke benteng Batavia, 50 anggota pasukan Kompeni, beberapa ronin Jepang dan para mardijker, dengan dukungan 150 musketir yang berdiri di atas tanggul, menerobos tentara gabungan Tumenggung Bahureksa. Pasukan itu datang dari belakang, dari arah Jatina Nagara usai mengejar pasukan Ukur[1].

Serangan mendadak, apalagi datang dari belakang itu segera memporak-porandakan pasukan Mataram. Dalam perang yang secara jumlah sebenarnya tak seimbang karena pasukan Mataram jauh lebih banyak, pasukan Kompeni membunuh 30-40 orang di tempat, dan menghalau sekitar 300-an lebih sisanya kabur ke berbagai arah[2].

Saat itulah, tulis Coen Murjangkung dalam laporannya, begitu tentara Mataram lari tunggang langgang, dari berbagai arah datang rombongan orang-orang Tionghoa dalam jumlah besar. Mereka mengejar tentara-tentara Mataram yang kabur melarikan diri, sambil tak lupa merampas apa pun yang dianggap orang-orang bertaucang itu sebagai barang berharga. Markas sementara dan tempat perlindungan pasukan Mataram langsung mereka bakar. “Mereka, orang-orang Tionghoa itu begitu banyak membawa barang rampasan masuk kota,” tulis Murjangkung.

Sepekan lebih kedua pihak hanya saling berjaga-jaga. Pasukan Coen bahkan sempat memperbaiki beberapa kerusakan kecil pada tembok dan gerbang benteng Batavia yang dirancang oleh Simon Stevin atas perintah Tujuh Belas Wali VOC atau De Heren XVII tersebut. Beberapa tembok yang sempat ambrol segera diperbaiki dan ditembok ulang dengan bahan pasir dan kapur[3]

Namun tak lama. Pada malam hari 21 September, Tumenggung Bahureksa dan pasukannya kembali menyerang. Bagaimana pun, pintu kehidupan di Mataram telah tertutup buat mereka. Tak mungkin mereka kembali dan diberi kesempatan meneruskan hidup, sementara Sinuhun mereka punya watak dan adat yang pasti: membunuh siapa pun yang gagal menjalankan misi. Jadi, pilihannya hanya menang, atau mati di sini.

Pasukan Mataram itu bergerak di kegelapan malam, beringsut mendekati benteng yang lebih kecil, Hollandia. Jumlah pasukan yang diturunkan banyak sekali. Ada pula pasukan yang khusus membawa tangga dan alat-alat pelantak (manjanik), yang mereka buat dengan meniru apa yang dibangun pasukan Ukur. Kelebihannya, pelantak pasukan Mataram dilengkapi roda, yang cukup banyak tersedia dalam logistik mereka. Sementara pasukan infanteri maju dan berusaha memanjat dinding Hollandia, sekitar seratus anggota pasukan bedil menembaki benteng dengan bedil laras panjang untuk memberi perlindungan kepada upaya kawan-kawan mereka. Bedil itu, sebagian besar didapat pula dari Kompeni pada era damai sebelum meletusnya peristiwa Jepara, saat orang-orang Mataram membumi-hanguskan Loji Belanda di Jepara, 1618.

Dimulai dengan gerakan diam-diam, beberapa regu mencoba memanjat benteng. Belum terdengar apa pun. Baru setelah salah seorang prajurit Mataram berhasil mencapai ujung tembok dan memasuki area benteng, keributan pun terjadi. Tampaknya ia berhasil menebas seorang penjaga benteng, yang segera menjerit kesakitan. Namun jeritannya itu hanya membuat prajurit Kompeni lainnya segera tersadar. Sebuah letusan senjata api segera menggelegar. Sekitar lima menit kemudian tubuh prajurit Mataram yang sudah tanpa nyawa itu dilemparkan ke bawah benteng, dikembalikan kepada teman-temannya.

Setelah itulah aneka pekik dan teriakan membahana di malam buta, dengan berbagai bahasa. Dari Jawa, Jepang, Tionghoa, Ambon, Belanda hingga Portugis kreol. Saling mengumpat atau meneriakkan pesan kepada rekannya. Suara riuh itu diselingi bunyi benturan senjata tajam dimainkan para pemegangnya untuk merebut atau mempertahankan nyawa, juga bunyi letusan senjata api. Suaranya seolah membangun ritme tertentu, dengan semburan percik api dari moncong senjata yang meledak itu.

Dalam soal semangat, orang-orang Kompeni patut terbelalak. Pada Kamis malam 21 September itu nyaris semalam penuh pasukan Mataram bergantian menaiki tembok benteng. Tangga, tali-temali dengan jangkar di ujungnya, atau bahkan saling punggu (saling bopong menginjak bahu) bahu-membahu di antara mereka, adalah alat dan cara yang mereka lakukan. Kadang, orang-orang Mataram itu seolah sudah sangat dekat dengan kemenangan manakala sepuluh-dua puluh orang mereka lolos hingga puncak tembok dan masuk wilayah benteng. Namun tak lama sekian kali gelegar senjata membuat mereka yang sudah lolos dan siap bertarung jarak dekat itu langsung perlaya. Mayat mereka pun dijungkirkan, dibuang kembali ke luar benteng.

Pertarungan selanjutnya benar-benar mengandalkan mana yang lebih cepat musnah: atau orang-orang Mataram yang terus merangsek laksana air bah tanpa kelihatan takut akan kematian; atau persediaan butiran peluru dan terutama mesiu yang dimiliki pasukan Kompeni VOC.

Dan yang opsi kedualah yang ternyata berjalan. Kompeni Belanda mungkin tak pernah memperhitungkan akan terjadinya perang seperti itu. Mungkin mereka mengira, satu dua peluru cukuplah untuk membuat orang-orang bumi putera takut dan menciut. Tidak demikian yang terjadi.

Hingga manakala waktu mendekati tengah malam, Sersan Hans Madelijn, seorang tentara bayaran asal Pfalz, Jerman, tiba-tiba mendapat ilham yang entah dari lokus benak sebelah mana datangnya.Disuruhnya beberapa anak buahnya menyendoki tinja dari peturasan benteng dengan menggunakan sekop[4].

“Lemparkan tahi ke bawah!” teriak Sersan Madelijn.

Tak ayal, para prajurit Mataram yang sedang merayapi dinding benteng dan berusaha naik, itu terperanjat. Tak sedikit yang karena jijik dengan tumpahan tinja, kontan melepaskan tali temali yang mereka pegang, menjatuhkan diri ke bawah. Sekian banyak tubuh jatuh bergedebukan.

O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan, orang Belanda berkelahi sama tahi,” pekik beberapa prajurit Mataram[5].

“Isi meriam-meriam dengan tahi!” teriak Sersan Madelijn. Para anak buahnya yang telah melihat hasil efektif hanya dengan melemparkan tahi kepada para prajurit Mataram, dengan giat mematuhi. Meriam-meriam yang ada mereka isi dengan tinja hingga padat penuh.

“Tembak!”

“Duaaaaaarrrr!!”

Suara gelegar meriam terdengar bersahutan. Suara itu beberapa saat kemudian digantikan sekian banyak teriakan kemarahan di kubu Mataram. Kekuatan meriam melontarkan tinja-tinja tersebut ke berbagai penjuru, menyiram pasukan Mataram dengan tahi!

Tak hanya amukan kemarahan, lama-lama terdengar suara orang-orang muntah di sana-sini. Lalu orang-orang Mataram berlarian mencari sungai untuk membersihkan diri. Di antara mereka terlihat Tumenggung Bahureksa, dengan sekujur tubuh kuyup tersiram tinja.

Di sungai, berjam-jam orang-orang Mataram membersihkan tubuh mereka bergantian. Sampai menjelang pagi mereka belum juga selesai menumpahkan segala kekesalan atas peristiwa semalam. Tak mereka duga, orang-orang Belanda itu jauh lebih jorok daripada yang mereka bayangkan. Tumenggung Bahureksa adalah orang yang paling kesal atas apa yang terjadi. Bayangkan, sempat terbayang di matanya kemenangan yang seolah tinggal diraih. Orang-orang Kompeni itu bisa mereka usir dari bentengnya, atau sekalian mereka bikin semua perlaya. Hanya karena tahi mereka semua gagal lagi.

Sementara di benteng Batavia, Coen Murjangkung tengah diliputi perasaan senang tiada terhingga. Kembali ia menemukan bahwa para prajuritnya memang orang-orang pilihan dan gagah berani.

Entahlah benar atau justru penuh kebohongan. Dalam laporannya kepada De Heren XVII, Murjangkung mengaku bahwa benteng itu hanya dipertahankan oleh 24 orang prajurit. “Sebanyak 24 orang kami yang berada dalam kubu itu memberikan perlawanan gigih. Sepanjang malam peperangan terjadi hingga musuh bisa dipukul mundur sampai semua mesiu habis. Musuh hanya bertahan pada lima tempat, dimana ada lobang perlindungan  yang dilindungi kayu terhadap serangan Meriam kami,” tulis laporan tersebut[6]

Pada pagi 22 September, Kompeni mengubah taktik. Dipimpin Kapten Jacques Lefebre, mereka yang selama ini terus bertahan hari itu mengambil jalan ofensif. Mereka menyerang tak setengah-setengah.

Dalam catatan Coen yang dilaporkan kemudian, hari itu Lefebre menyerang dengan kekuatan besar, terdiri dari 24 opsir penunggang kuda, 420 prajurit dalam enam kompi, 210 warga sipil yang dibagi menjadi tiga kompi, 210 orang yang terdiri dari ronin Jepang plus mardijker, 260 budak belian sebagai kekuatan zeni, 1.800 orang Tionghoa dengan 900 orang di antaranya bersenjata lengkap, 42 anggota pasukan artileri meriam serta 201 orang budak yang ikut-ikutan di belakang barisan. Semuanya sekitar 3.000 orang, siap menumpahkan darah.

Serentak kekuatan Kompeni dan bala bantuannya itu menggempur pasukan Mataram yang sama sekali tak pernah menyangka akan diserang.

Barangkali karena semalaman bertempur, lalu harus membersihkan badan yang berlumuran tahi, disambung dengan mengeluhkan kegilaan musuh hingga dini hari, yang terjadi kemudian lebih serupa pembantaian. Sekitar 10 markas pasukan Mataram yang berjarak sekitar 500 meter satu sama lain diserbu, diratakan dan dibakar.

Orang-orang yang ada dibunuh, sebagian besar lari tercerai-berai. Pasukan Kompeni juga meratakan rumah-rumah di sekitarnya yang dianggap menghalangi tembakan meriam mereka.

Tumenggung Bahureksa hanya punya waktu sebentar untuk bersiaga. Saat mereka keluar tenda, di luar pasukan musuh sudah tinggal dua puluhan meter lagi jaraknya. Mereka datang bagai air bah menggulung semua prajurit Mataram yang kebanyakan masih berbaring beristirahat. Orang-orang itu sebagian bahkan tak sempat bangun lagi untuk mempertahankan nyawa. Mereka tertembus tombak di dada dan lambung, atau kebagian sebutir pelor di kepala, yang memastikan kematian segera.

Seorang Tionghoa bertaucang segera menusukkan tombaknya, mengarah dada Tumenggung Bahureksa. Hanya dengan menggerakkan kaki kanan Sang Tumenggung luput dari maut. Sebaliknya, Si Tionghoa yang kehilangan keseimbangan dengan cepat kehilangan nyawa, isi perutnya terburai dimakan pedang Bahureksa.

Namun belum juga Sang Tumenggung sempat mencari-cari kemungkinan untuk meloloskan diri dari kepungan, sebuah ledakan terdengar membahana. Lima meter jaraknya dari tempat Sang Tumenggung mendekap dadanya yang tertembus peluru, seorang serdadu Ambon menyeringai senang. Bidikannya tepat menembus jantung pimpinan pasukan musuh.

Sayang, senyum itu tak lama menghias bibirnya. Ia terlalu puas dengan apa yang barusan dia lakukan, lupa bahwa dirinya masih berada dalam peperangan yang hebat. Sebuah tombak yang dilontarkan seorang prajurit Mataram yang dendam kehilangan pimpinan, menembus dadanya. Saat ajalnya datang, senyum itu tak ada lagi di wajahnya, berganti seringai kesakitan yang tak akan dilupakan siapa pun yang melihatnya.

Tetapi kematian yang menyambut Tumenggung Bahureksa barangkali adalah nikmat tersendiri yang patut ia syukuri. Ia meninggal dalam laga, bukan dibunuh oleh susuhunan Mataram, majikan yang sangat ia hormati dan tempatnya mengabdi.

Kematian Tumenggung Bahureksa, yang disambut sorak sorai para penyerang, membuat para prajurit Mataram kian kocar-kacir. Tak ada lagi disiplin. Para perwira yang mencoba mengumpulkan pasukan untuk membentuk formasi pun gagal total. Mereka akhirnya memilih ikut para anak buahnya melarikan diri.    

Malam harinya, Kompeni tak kepalang membabat Mataram. Kompeni mengerahkan 50 kapal kecil, 20 di antaranya kapal milik warga Tionghoa menyerang ke Marunda, basis kekuatan pasukan Bahureksa. Di sana mereka membakar 80 tingan dan dua gorap Jawa. Dari sekitar 200 kapal ukuran menengah dan kecil yang dibawa Bahurekso ke Batavia, 150 di antaranya telah dirampas.     

“Menurut kami, hari itu sudah pasti 1.200 atau 1.300 orang musuh tewas; (bahkan) menurut tawanan, yang tewas 2.000 atau 3.000 orang. Dari pihak kita gugur 12 orang Belanda dan sejumlah kecil orang Cina serta Mardijker,” tulis Coen, dalam laporannya.

Jelas, Coen bukanlah seorang yang gampang diancam dan ditakut-takuti. Sebab, malam sebelumnya ia justru menerima  surat yang dikirimkan Tumenggung Bahureksa kepadanya. Dalam surat yang dibawa caraka itu Bahureksa menegaskan bahwa prajurit Mataram akan kedatangan 150 ribu pasukan bala bantuan yang dipimpin Dipati Mandurareja dan Kyai Adipati Upasanta. “Ke-150 ribu orang ini ditugaskan untuk gugur di muka benteng Saudara. Lalu 15 ribu orang lagi akan menyusul, dipimpin Pangeran Adipati Jumena,” tulis Tumenggung Bahureksa.  

“Kalau Saudara menyangka bahwa saya datang untuk memanjat tembok-tembok benteng Anda, Saudara salah, karena itu bukan tugas saya dari raja saya. Saya pun tidak diperintahkan perang dengan Saudara, karena ditugasi untuk tetap menduduki tempat ini.[7]

Begitu mendapatkan laporan dari Kapten Jacques Lefebre yang memimpin penyerangan hari itu, Coen Murjangkung tersenyum senang. Dipujinya si kapten sebelum menyilakannya kembali ke posnya dan beristirahat. Dibukanya gesper yang membelit perutnya, untuk mengeluarkan sesuatu yang tampak ia sembunyikan di sana. Surat Tumenggung Bahureksa yang ia terima kemarin malam. Didekatkannya surat yang ditulis di kulit kambing muda yang telah dikerik bulunya itu ke dekat nyala lilin yang menerangi kamar kerjanya. Segera surat itu terbakar, mengeluarkan bau sangit, laiknya bau tubuh-tubuh tentara Mataram yang pagi tadi mati terbakar.

“He he he…Gertakanmu tak lebih dari bau mulut saja, Bahureksa. Seberapa banyak pun orang Jawa datang, akan kuhadapi di sini,” kata Coen sendirian. 

Setelah itu, kedua kekuatan bermusuhan itu persis main kucing-kucingan. Apalagi kekuatan Mataram pun sudah tak terorganisasi baik. Manakala satu pihak dianggap pihak lain kendor, segera pihak yang mengira lawannya sedang melemah itu menyerang. Tapi tak pernah seperti pada tanggal 21 dan 22 September, tak ada lagi serangan besar-besaran yang dilancarkan baik oleh Mataram, apalagi oleh Kompeni yang memang posisinya bertahan. Beberapa serangan kecil memang masih dilakukan beberapa kompi pasukan Mataram, tapi itu tak lebih dari upaya mengganggu-ganggu pertahanan Kompeni semata. Apalagi Mataram pun kemudian menderita kekurangan logistik parah. Sebagian mati karena keracunan umbi gadung yang langsung mereka makan tanpa pengolahan, karena mendesaknya lapar. Sebagian hanya linglung, meracau tak tentu judul. Orang Sunda menyebut keracunan gadung tingkat awal yang tak terlalu berbahaya itu sebagai weureu gadung.

“Tentara musuh sama sekali tidak mempunyai beras. Mereka hidup dari ubi yang disebut gadong. Mereka meminta-minta beras di kampung-kampung Banten[8] . Bahan makanan yang dikirim lewat laut sedikit sekali,” tulis Coen Murjangkung sebagai laporan kepada De Heren XVII.        

Pada Senin, 23 Oktober 1628, datang bala bantuan yang dipimpin Adipati  Mandurareja. Jumlahnya ribuan prajurit. Ada yang menyebut angka sampai 10 ribu. Sayang, darah senapati muda itu terlalu panas dan membuatnya kurang perhitungan. Sesegera tiba, ia langsung  memimpin penyerangan ke Benteng Hollandia, benteng kecil yang tampak benar diremehkannya. 

Perang besar kembali terjadi. Kali ini beberapa bagian benteng rompal terkena serangan Kyai Setomo dan Kyai Segarawana, dua diantara beberapa meriam yang dimiliki Mataram. Namun tetap saja meriam-meriam Kompeni memiliki daya ledak dan daya jangkau lebih baik. Setelah berminggu-minggi melakukan penyerangan terus menerus, akibat kekurangan perbekalan, ditinggalkan sekian banyak anggota pasukan karena kelaparan dan anjloknya moral pasukan, pasukan Adipati Mandurareja pun akhirnya mengalami kehancuran. [bersambung]


[1] Laporan Jan Pieterson Coen kepada De Heren XVII, sebagaimana juga ditulis Adolf Heukeun SJ dalam ‘Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta, jilid III hal 53.

[2] Ibid.

[3] Saat itu adukan dengan campuran semen belum lagi ditemukan. Tak heran kalau piramida Giza di Mesir pun konon memakai campuran putih telur. Semen baru ditemukan pada 1824 oleh Joseph Aspdin, insinyur berkebangsaan Inggris. Ia mengurus hak paten ramuan yang kemudian dia sebut semen Portland, karena warna hasil akhir olahannya itu mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris.

[4] Orang-orang Belanda lebih telat mengenal WC. Mereka baru mengenal budaya WC sekitar 243 tahun setelah kedatangan pertama ke Nusantara. 

[5] Kisah ini terdapat di banyak sumber sejarah. Antara lain dalam ‘Historical Sites of Jakarta’, Adolf Heuken menyitir kisah ini dari tulisan Johan Neuhoff,’ Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Nederlaendern an den Tatarischen Cham’, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666. Kata-kata umpatan prajurit Mataram itu, menurut Heukeun adalah “..untuk pertama kali kata-kata Melayu tercatat dalam buku berbahasa Jerman.”

Dalam tulisan Petrus Johannes Blok dan Philip Christiaan Molhuysen, yang meriwayatkan sosok Madelijn dalam ‘Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek’, yang terbit pada 1911, juga terdapat kisah tersebut.  Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika sedang meredam kerusuhan di Amboina pada 1639.

[6] Kroniek van de Historisch Genootschap, Utrech 1871, hal 150, sebagaimana termuat dalam buku Adolf Heukeun, jilid 3.

[7] Heukeun, op.cit, hal 59

[8] Wilayah Jakatra sekeliling Batavia saat itu memang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Banten.

Back to top button