Pemanggilannya ke Mataram tak lebih untuk menerima hukuman mati oleh penerus Sultan Agung, Amangkurat I. Sejarah mencatat, lebih dari bapaknya yang bengis, Amangkurat I terkenal sebagai raja Mataram paling keji. Ia tercatat membantai 5.000 orang ulama beserta keluarganya di Alun-alun hanya dalam 30 menit.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Episode-37
Penutup
Setelah peristiwa penghukuman massal tersebut, Tatar Sunda yang sempat memanas pun kembali tenang. Namun tentu saja ketenangan yang semu. Tak mungkin penjajah yang telah membasmi secara massal warga sebuah wilayah akan mendapatkan pengakuan sukarela dari warga wilayah tersebut, yang bagaimana pun memiliki kaitan darah dengan para korban telah dihilangkan.
Barangkali, sadar akan kelemahan tersebut, Sultan Agung lalu memecah wilayah Parahyangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Galuh, yang sebenarnya sudah sangat terbatas itu pun diurai menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil. Galuh Utama diperintah oleh Sutamanggala, wilayah Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah Adipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah Bagus Sutapura.
Khusus untuk para kepala daerah yang berjasa membantu Mataram menumpas perjuangan Adipati Ukur, mereka diangkat Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi bupati Kawasen. Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) diangkat menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wira Angun-angun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) diangkat menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.
Bagus Sutapura memerintah Kawasen sampai dengan 1653, kemudian digantikan oleh puteranya, Tumenggung Sutanangga (1653-1676). Yang menarik, Dipati Imbanagara kemudian justru dicurigai pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur. Akibatnya, alih-alih mendapatkan pahala, ia justru kebagian palu alias dijatuhi hukuman mati (1636). Itulah orang Mataram, padahal Dipati Imbanagara telah berjasa kepada mereka dengan membujuk Sutapura menangkap Ukur.
Namun demikian, karena saat itu bupati pun merupakan jabatan yang diwariskan, posisi bupati kemudian diberikan kepada anaknya, Adipati Jayanagara (Mas Bongsar), yang diangkat menjadi bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan digabungkan dengan Kawasen[1]. Belakangan, pada 1810, pada saat Gubernur Jenderal Herman Daendels memerintah, Kadaleman Kawasen resmi dibubarkan. Peninggalan-peninggalan dari kebesaran Kadaleman Kawasen yang tersisa saat ini hanya tonggak-tonggak pusara para Dalem Kawasen yang pernah berkuasa. Nama Bagus Sutapura pun kini nyaris tak dikenal orang.
Bagaimana nasib selanjutnya dari ketiga umbul yang mendapatkan hadiah dari Mataram berupa kenaikan pangkat menjadi bupati?
Ki Astamanggala, yang diangkat menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wira Angun-angun, memilih kawasan yang sekarang disebut Dayeuhkolot sebagai pusat pemerintahan pertama wilayahnya. Dengan menjadi wilayah taklukan Mataram, maka Kabupaten Bandung pun memiliki sistem pemerintahan Mataram. Lebih jauh lagi, sejak itulah bahasa Sunda pun mengambil contoh bahasa Jawa yang hierarkis dan anti-egalitarian. Berkembanglah basa Sunda dengan gaya bahasa Jawa Mataram yang mengenal hierarki antara ngoko dan kromo, yang di Sunda dikenal dengan istilah undak-usuk.
Jauh dari pusat kekuasaan di tengah Jawa, para bupati Sunda pun hidup laiknya raja-raja kecil. Mereka memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati itu antara lain ditunjukkan dengan pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dimiliki raja, antara lain hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan, serta hak mengadili.
Tumenggung Wira Angun-angun bahkan sempat pelesir ke Kerajaan Belanda di tahun-tahun pertengahan masa pemerintahannnya. Saat ia pergi, dirinya sedang berencana memindahkan pusat kota ke lokasi Kota Bandung saat ini. Pulangnya, beberapa tahun kemudian, ia mendapati gedung pusat pemerintahannya berada di lokasi yang tak sebagaimana ia minta. Namun Wira Angun-angun tak sempat lagi mengubahnya, karena penyakit tua membunuhnya pada tahun 1681. Jenazahnya dimakamkan di Gunung Batu, Baleendah. Pada 1984—300 tahun kemudian, makamnya dipindahkan ke Leuwi Bandung, Dayeuhkolot, tempat yang menjadi pendopo pertama pemerintahan Bandung. Penulis belum menemukan catatan khusus tentang pemindahan makam tersebut, serta bagaimana kondisi sisa-sisa tubuh Tumenggung Wira Angun-angun saat dipindahkan.
Ki Samahita yang diangkat menjadi bupati Parakanmuncang kemudian menamakan diri sebagai Tumenggung Tanubaya atau “Dalem Tanubaya”. Dalam sastra puji-pujian kepadanya yang dibuat semasa ia memerintah, “Wawacan Parakanmuncang”, sang Tumenggung mengurai silsilahnya sebagai putra Tumenggung Demung, dan seterusnya, hingga sampai ke Ratu Galuh, Prabu Siliwangi, Ciung Wanara, Nabi Muhammad SAW, hingga ke Nabi Adam AS. Catatan tentang dirinya setelah itu tergolong langka. Kemungkinan nasibnya sebagaimana diteriakkan ‘Ukur Mardawa’ saat menjalani penyiksaan sebelum terbunuh. Ki Samahita—demikian pula umbul-umbul lainnya yang memihak Mataram, mati di ranjang.
Ngabehi Wirawangsa, yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I, dipanggil pula sebagai Dalem Pasir Beganjing. Ia menjadi bupati Sukapura yang beribu kota di Sukakerta. Pada 1674, sang Wiradadaha meninggal dalam usia tua. Kepemimpinan Kabupaten Sukapura selanjutnya diserahkan kepada putra ketiganya, Raden Dajamanggala yang bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II.
Kepemimpinan Wiradadaha II tidak berlangsung lama. Pada tahun yang sama dengan pengangkatannya, Wiradadaha II wafat dalam suatu kunjungan ke Keraton Mataram, Wiradadaha II difitnah. Pemanggilannya ke Mataram tak lebih untuk menerima hukuman mati oleh penerus Sultan Agung, Amangkurat I. Sejarah mencatat, lebih dari bapaknya yang bengis, Amangkurat I terkenal sebagai raja Mataram paling keji. Ia tercatat membantai 5.000 orang ulama beserta keluarganya dalam 30 menit di alun-alun. Ibu kota Mataram pun segera menjadi anyir.
Jenazah anak Ki Wirawangsa itu dikembalikan ke Sukapura dalam tambela (peti mati), dan langsung dimakamkan. Penguasa Mataram bahkan melarang siapa pun untuk menziarahi makam Wiradadaha II itu selama bertahun-tahun. Wiradadaha II lebih dikenal sebagai Dalem Tambela, karena peti mati yang memuat jenazahnya. Mataram berutang budi kepada ayahnya, sementara anaknya dibunuh semena-mena.
Tak ada catatan jelas—atau setidaknya belum tersebar luas sebagai pengetahuan bersama, di mana jenazah, atau setidaknya bagian tubuh ‘Ukur Mardawa’ dimakamkan. Yang pasti, di sepanjang paruh kedua abad 17 tersebut, sekian banyak ‘Dipati Ukur’ disebut-sebut telah wafat di Tatar Sunda. Makam-makam ‘Dipati Ukur’ itu tersebar di banyak tempat, yang masing-masing dipercayai warga masyarakat setempat sebagai makam Dipati Ukur. Ada beberapa lokasi makam Dipati Ukur, setidaknya di Astana Luhur (Pameungpeuk), Puncak Gunung Geulis (Ciparay), Tepi Citarum (Desa Manggahang), Gunung Sadu (Soreang), Kampung Cikatul atau Pabuntelan (Pacet), Astana Handap (Banjaran), Gunung Tikukur (Desa Manggahang) dan Pasir Luhur (Ujungberung utara). Mana yang benar-benar makam Ukur? Kewajiban para peneliti sejarah dan barangkali arkeolog untuk menjawabnya secara bertanggung jawab. Mungkin, mungkin saja, bahkan kalangan penerus Kerajaan Talaga Manggung pun punya versi makam Dipati Ukur mereka sendiri.
Sebuah peninggalan tertulis menyebutkan bahwa dalam kondisi kritis selama penggempuran Gunung Pongporang dan Gunung Lumbung, salah seorang putra Dipati Ukur bernama Nayasari atau Mudian Gede, bisa meloloskan diri[2]. Bertahun-tahun kemudian, di tempat baru yang menjadi padepokan tempat tinggalnya, lahir seorang putera yang setelah dewasa bernama Dalam Salayadirega atau Dalem Nayadirega. Kelak nama itu lebih dikenal sebagai Embah Dalem Paneger, yang setelah wafat, dikebumikan di Sentakdulang, Kecamatan Cicadas, yang kini masuk wilayah Cimenyan.
Dalem Paneger berputera Embah Dalem Kyai Haji Abdul Manap yang kelak terkenal sebagai ulama besar dengan ribuan santri dari berbagai daerah Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci, putra Dalem paneger ini mendirikan sebuah kampung yang diberi nama “Kampung Mahmud” di tepi Sungai Citarum. Keturunan Kyai Haji Abdul Manap Mahmud sampai kini menjadi ulama-ulama terkenal di kawasan Cigondewah dan Sukapakir, Bandung.
Bila Mataram kemudian tak lagi menyerang Kompeni, tampaknya itu disebabkan dua hal. Pertama, kekuatan Mataram setelah itu terus menurun, seiring kian tuanya Sultan Agung. Kedua, karena setelah urusan tak usai penyerbuan Jakatra tersebut, Mataram lebih disibukkan urusan internal, berupa konflik-konflik di dalam keraton sendiri. Boleh dibilang, sejak itu Mataram terus kehilangan pamor, hingga kemudian terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil seiring konflik dan peperangan di antara para putra keturunan mereka sendiri.
Sejak urusan Ukur usai sekitar 1634 (hingga manajemen kekuasaan baru Mataram atas Tatar Sunda), Sultan Agung mulai sakit-sakitan. Kesehatannya rapuh, berbagai penyakit tua mulai datang. Untuk berjalan, ia merasa membutuhkan tongkat penopang. Konon, tingkat itu berbahan kayu weregu. Bahkan ada yang menyebut, tongkat itu sebenarnya adalah Ki Weregu Hideung yang sebelumnya dimiliki Dipati Ukur.
Suatu hari di tahun 1645, Sultan Agung ingin berjalan-jalan mengelilingi pekarangannya yang berupa kebun luas (sama dengan sekarang, setiap pagi umumnya para orang tua memilih berjalan-jalan menikmati udara pagi dan sinar matahari). Diiringi abdi-abdi perempuan, Sultan pun berjalan berkeliling, disokong tongkat weregu. Di kebun itu Sultan memiliki seekor kijang jantan galak yang sedang dalam masa birahi. Mungkin saja otak binatangnya melihat Sultan sebagai saingan. Sebab, manakala Sultan mendekat, kijang itu menerjang dan berupaya menanduknya[3].
Sultan Agung, yang bagaimana pun di masa mudanya berlatih olah kanuragan, menahan terjangan kijang itu dengan tongkat weregu yang dipegangnya. Konon, karena kuatnya terjangan, serangan kijang itu tak sepenuhnya bisa ia lawan. Kijang memang terpukul kuat di bagian leher, namun tanduknya sempat menancap di paha Kanjeng Sultan.
Merasa dikhianati kayu Weregu karena tak bisa menjaganya dari terjangan kijang, Sultan konon saat itu pun bersumpah. “Besok, jangan ada keturunanku yang memakai kayu weregu, bahkan untuk gagang! Bikin celaka!”
Setelah sekian lama sakit tak hanya akibat luka di paha, melainkan beragam sakit lainnya, pada tahun 1645 atau 1578 tahun Jawa, Sultan Agung meninggal.
Tahun itu bisa dianggap sebagai awal sandya kala ning Mataram. Setelah itu, pamor Mataram terus mengalami penurunan. Pemberontakan—kata ini nyaris tak tergantikan untuk menegaskan perlawanan kepada center oleh periphery—terjadi di mana-mana, sementara pucuk pimpinan berganti kepada figur yang kedodoran, baik dalam kualitas menata negara maupun kualitas personal.
Amangkurat I, yang mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas, tak berdaya mengolah sekian luas wilayah tersebut. Para penguasa wilayah-wilayah yang jauh kini kian ‘merdeka’ untuk memperkaya diri mereka semata. Belum lagi Amangkurat I pun sangat dijangkiti fobia kepada para tokoh senior pengabdi ayahnya. Misalnya, dengan kedok merebut Blambangan dan menaklukan Bali, ia memerintahkan Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya untuk menyerang Blambangan pada 1647. Di tengah jalan, justru kedua tumenggung itu yang dibunuh oleh para perwira baru yang disuruhnya.
Karena dari dalam keraton sendiri timbul pemberontakan yang dipimpin adiknya, Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, Amangkurat I memindahkan keraton ke Plered. Keraton ini dibangun dari batu bata, bukan kayu-kayu unggul seperti Keraton Kartasura. Pemberontakan itu didukung para ulama. Sayang, pemberontakan itu berakhir dengan kematian Raden Mas Alit. Amangkurat I langsung menyeret para ulama dan keluarga mereka, membantainya di alun-alun. Catatan sejarah menyebutkan, 5.000 lebih para ulama dan keluarga mereka terbunuh bermandi darah di alun-alun Kartasura.
Tidak hanya dengan adiknya, Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, Raden Mas Rahmat. Urusannya gara-gara rebutan wanita. Detil soal ini tak perlu diceritakan, karena hanya akan melukai perasaan banyak orang beradab. Karena urusan ini pula, Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik, yang tak lain mertuanya sendiri.
Akhirnya, sang anak, Mas Rahmat, yang sudah dipecat dari putera mahkota, berkenalan dengan Raden Trunajaya, menantu Panembahan Rama di tahun 1670. Raden Mas Rahmat-lah yang kemudian membiayai membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan, dibantu armada para pejuang Makasar, sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin ‘Ayam Jantan dari Timur’, yang baru saja dikalahkan Kompeni yang disokong penuh kalangan pribumi pro-Kompeni dibawah pimpinan Raja Bone Arung Palakka. Bersama Trunajaya, Karaeng Galesong mengambil-alih Keraton Plered pada 28 Juni 1677.
Mas Rahmat yang merasa dikhianatai Trunajaya bersama ayahnya, Amangkurat I, melarikan diri ke barat. “Babad Tanah Jawi” menulis, jatuhnya Keraton Plered itu menandai berakhirnya Kesultanan Mataram.
Dalam pelarian itulah, konon dicatat banyak cerita, Raden Mas Rahmat membunuh ayahnya sendiri dengan racun melalui air kelapa yang diminta sang ayah dalam sakitnya. Banyak catatan menyatakan, Amangkurat I sebelum kematiannya mengeluarkan kutukan. Bunyinya, keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang, dan itu pun hanya sebentar. [SELESAI]
*Kisah ini ditulis ulang tidak dengan semangat untuk menegakkan semangat kesukuan yang picik dan sempit. Niatnya justru sebaliknya, mengajak semua, generasi yang lebih muda terutama, untuk mengenal tokoh-tokoh pemberani di masanya. Tokoh-tokoh yang ikhlas memperjuangkan kebenaran, meski mungkin dalam versi mereka sendiri. Semangat untuk menyatakan kebenaran, memperjuangkan keadilan secara ikhlas dan konsisten itulah yang ingin penulis hadirkan untuk menjadi cermin, terutama bagi penulis sendiri.
Dengan niat tersebut, penulis sangat membuka diri, bahkan sangat berterima kasih seandainya ada lontaran bantuan ide, bahan, catatan, untuk mengangkat tokoh-tokoh lain yang layak kita ingat kembali.
Hatur nuhun nu kapiunjuk, hampura anu diteda,
Darmawan Sepriyossa
[1] ‘Sejarah Galuh, Abad ke-8 s.d. Pertengahan Abad ke-20 (1942)’ tulisan A. Sobana Hardjasaputra, sejarawan dan pustakawan pada Fakultas Sastra Unpad.
[2] “Sejarah Kabupaten Bandung”, 1970: 41-42,
[3] “Hidup, Mistik dan Kematian Sultan Agung”, Dr. Purwadi, M.Hum, Penerbit Oryza, Yogyakarta, 2012.