Ukur
“Kalau Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi mewariskan Binokasih Sanghyang Pake sebelum ngahiang atau moksa, artinya Sri Baduga menghendaki Sumedang Larang menjadi kokojo atau pemimpin bangsa Sunda,” kata Ukur dalam benaknya. “Lalu mengapa anak kandung langsung Prabu Geusan Ulun ini begitu kumeok memeh dipacok, miyuni hayam kabiri, bersifat pengecut dan langsung menyatakan takluk kepada urang wetan?”
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode-6
Usai melakukan pembantaian, orang itu enteng saja membalikkan badan menghadap Ukur.
“Bekel Ukur, para penjahat seperti ini tak boleh dibiarkan hidup. Mereka akan jumawa dan menganggap kita para prajurit penegak keamanan negara tak ada harga,” kata salah seorang hulubalang yang bertugas sebagai pemimpin Abdi Dalem Brajanata itu. Entah darimana datangnya, tiba-tiba tempat itu kini dipenuhi para prajurit Brajanata, satuan yang bertugas menjaga gerbang keraton dengan jiwanya.
“Bereskan layon-layon ini malam ini juga. Kubur di pemakaman para penjahat dan orang hukuman,” kata Senapati Ronggonoto memberikan perintah. Ia berlaku seolah Ukur tak ada di depannya, juga seolah orang-orang yang kini telah menjadi mayat itu tak pernah ada sangkut pautnya dengan Ukur.
Ukur hanya diam. Kepalanya berputar cepat mengulang kejadian-kejadian yang terjadi malam ini dengan begitu cepatnya. Sejak makan malam tadi, lalu kedatangan tiga durjana yang hendak menghabisinya, lalu tiba-tiba tanpa bewara pimpinannya telah berada di sini, mengunjunginya. Namun tentu saja tidak pada tempatnya ia bertanya. Biarlah pada saat yang tepat ia memikirkan kejadian ini lebih teliti. Bukan saat ini, minimal bukan pada saat orang-orang ini berada di tempat tinggalnya.
Para prajurit segera melaksanakan perintah pimpinannya, Senapati Ronggonoto. Mereka mengangkat mayat-mayat itu setelah lebih dulu menutupinya dengan karung goni. Rupanya mereka telah mempersiapkan semua dengan baik, terbukti dengan cepat sebuah kereta mayat telah tiba pula. Mungkin memang begitulah standard pelaksanaan pekerjaan di Kesatuan Brajanata. Lengkap, dengan membawa-bawa kereta jenazah segala kemana-mana?
“Kowe besok disuruh menghadap Gusti Sultan di balairung,” kata Ronggonoto. “Sebelum Dhuhur, sehingga kowe masih bisa sasarap lebih dulu.”
Menurut Ronggonoto, tadi sore tiba Raja Sumedang Larang Pangeran Raden Aria Suradiwangsa. Ia tiba di mataram untuk menyatakan serah bongkokan alias menyatakan takluk kepada kekuasaan Mataram.
“Nah, kowe orang Sunda disuruh Gusti Sultan menemani Sinuhun menerima itu orang taklukan,” kata Ronggonoto.
Ukur tak punya banyak pilihan kecuali berlutut satu kaki, sementara posisi kaki yang lain lebih tinggi. Kepalanya ia tundukkan dengan khidmat, sementara kedua tangannya terbuka rata, bertemu satu jemari kiri dengan jemari lain yang serupa di tangan kanan, bersikap menyembah.
“Sendika, Senapati Ronggonoto!” ujarnya. Suara Ukur terdengar lantang di tengah keheningan malam.
“Yo wis,” kata Ronggonoto. Pendek saja, sebelum berbalik arah dan melangkah pergi diiringi para prajuritnya. Kereta jenazah pun bergerak, membawa tiga layon yang tak pernah bisa lagi dikenali Ukur.
Sikap Ukur yang sedikit semaunya, awalnya mengusik hatinya untuk mengintai dari jauh pergerakan pasukan Brajanata itu. Ia tetap punya kecurigaan kepada kedatangan pasukan tersebut. Siapa yang memberi tahu pasukan penjaga keraton tersebut bahwa ada begalan pati di tempatnya? Mengapa pula harus Senapati Ronggonoto lebih dulu yang datang turun tangan, bukan sekian banyak prajuritnya yang lain, seolah senapati itu sudah tahu bahwa urusan itu tidak akan mengancam nyawanya?
Bolehlah dia seorang prajurit tangguh yang memiliki kepandaian olah jurit tinggi. Tetapi Brajanata tentu punya standar pergerakan tersendiri yang harus mereka patuhi, yang akan menjamin keselamatan pimpinannya. Yang lebih membuat Ukur curiga, untuk apa Ronggonoto langsung membunuh pimpinan para durjana itu, tanpa bertanya apa pun lebih dulu kepadanya?
“Seperti memang sengaja ia hendak menghapus jejak. Seolah tak ingin penjahat itu bicara atau paling tidak menunjukkan kenal kepadanya,” kata Ukur membatin. Lamunannya lebih jauh bertanya-tanya, persoalan apa yang membuat Ronggonoto seperti tak menyukai kehadiran dirinya di khusus lingkaran prajurit Mataram?
Namun pikiran sehat Ukur memilih untuk tidak melakukan semua itu. Ia yakin, ada waktu yang lebih tepat untuk menyelidiki semua itu secara tumaninah tanpa harus tergesa. Ia sendiri yakin, bila ada sesuatu yang lain di balik kedatangan para Brajanata itu, tak hanya karena harus menyampaikan perintah Sinuhun Mataram agar dirinya besok menghadap, Ronggonoto dan pasukannya pasti bersiap dan waspada. Bukan tak mungkin malah, mereka justru menantikan kedatangannya dan mencari gara-gara kalau ia ketahuan mengintai.
Ukur ingat apa yang tadi dikatakan Ronggonoto. Kabar bahwa saat ini di Keraton telah tiba seorang raja kulon, Raja Sumedang Larang Pangeran Raden Aria Suradiwangsa. Kedatangannya kemari tak lain untuk menyatakan serah bongkokan alias menyatakan takluk kepada kekuasaan Mataram.
Ukur menarik dan menghembuskan nafas kecewa. Begitu mudah ksatria Sumedang Larang itu menyatakan takluk tanpa berjuang mempertahankan kehormatan para karuhun, leluhur mereka terlebih dulu. Bagaimanapun Sumedang adalah kerajaan besar. Sumedang bukan tak pula hubungan darah dengan trah Cirebon.
Ratu Pucuk Umun, pewaris tahta Sumedang, menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, cucu Syekh Maulana Abdurahman atau Sunan Panjunan, dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Hadramaut yang menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru Kerajaan Sunda. Ibu Pangeran Kusumahdinata adalah Ratu Martasari atau Nyi Mas Ranggawulun, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri, karena asalnya dari pesantren dan berperilaku sangat alim. Sejak saat itulah Sumedang Hindu berubah menjadi Sumedang Islam. Jadi tak ada bahaya bagi Sumedang, baik dari Banten atau pun Cirebon yang dua-duanya merupakan kerajaan Islam.
Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal sebagai Prabu Angkawijaya. Geusan Ulun inilah yang membangun kebesaran Sumedang Larang. Wilayah kekuasaannya saat itu meliputi Kuningan, Bandung, Sindangkasih, Garut, Tasik, Sukabumi, kecuali Galuh Ciamis.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pakuan Pajajaran hancur diserang Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf. Pada saat-saat kekalahan itu sebelum meninggalkan keratin, Prabu Siliwangi mengutus empat prajurit pilihan tangan kanannya, yang disebut Kandaga Lante. Keempatnya adalah Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Mereka ditugaskan menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran yakni Sang Binokasih Sanghyang Pake. Mahkota emas itu dibuat oleh Sanghyang Bunisora Suradipati, raja Kerajaan Galuh (1357-1371) untuk penobatan Prabu Niskala Wastukancana.
Mahkota itu menjadi simbol kekuasaan di Tanah Sunda, yang menjadi kemudian diwariskan kepada Kerajaan Pakuan Pajajaran sampai kerajaan itu hancur. Selain mahkota emas, barang pusaka yang dibawa Kandaga Lante ke Sumedang Larang adalah kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu.
“Kalau Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi mewariskan Binokasih Sanghyang Pake sebelum ngahiang atau moksa, artinya Sri Baduga menghendaki Sumedang Larang menjadi kokojo atau pemimpin bangsa Sunda,” kata Ukur dalam benaknya. “Lalu mengapa anak kandung langsung Prabu Geusan Ulun ini begitu kumeok memeh dipacok, miyuni hayam kabiri, bersifat pengecut dan langsung menyatakan takluk kepada urang wetan?”
Ukur berpikir, kalau saja para Kandaga Lante masih sehat dan bisa melakukan perjalanan jauh, bukan mustahil mereka ikut Pangeran Raden Aria Suradiwangsa ke sini. Namun kemudian Ukur merasa tidak pada tempatnya ia menyalahkan Aria Suradiwangsa.
Ia tak tahu persoalan yang menggayuti Sumedang, dan bukan tak mungkin dalam keputusan itu pun para Kandaga Lante sudah dilibatkan, meski ia tak yakin. Ukur lebih percaya, para Kandaga Lante itu akan memilih pejah dada kehilangan nyawa di medan jurit, dibanding menyerah kalah begitu saja.
Tetapi kemudian Ukur pun sadar. Bukankah dirinya pun tak lebih baik dibanding Aria Suradiwangsa? Sebagai pemuda Kerajaan Sunda yang jagjag wariskas, sehat jiwa raga, mengapa ia harus datang menyatakan bakti dan mengabdi sebagai prajurit Mataram?
Dia tak bisa dengan enteng menyatakan bahwa soal itu telah menjadi harapan kakeknya, berdasarkan ilapat alias wangsit yang diterimanya dari para karuhun. Persoalan dirinya bahkan lebih ringan karena tak melibatkan rakyat, sementara sikap Aria Suradiwangsa pasti melibatkan nasib sekian ribu jiwa rakyat Tanah Sumedang Larang.
Esok harinya, usai shalat subuh Ukur tak melakukan aktivitas rutinnya, yakni melancarkan gerakan, mengolah dan melentur tubuh dengan berlatih bela diri. Ia malah mencari daun lamtoro dan merang padi.
Dibakarnya merang padi hingga menjadi abu. Abu panas merah padi itu kemudian dimasukkannya ke dalam mangkok gerabah. Disiramnya abu dalam gerabah itu dengan air hingga hampir menyentuh mulut gerabah, lalu dibiarkannya abu itu mengendap.
Sambil menunggu abu mengendap dan menghasilkan air yang jernih, Ukur mencari-cari dalam lemari kecilnya baju dan celana yang paling layak dipakai menghadap Sinuhun Mataram.
Ditemukannya celana pangsi hitam yang warnanya masih terang, lalu baju kampret putih tanpa leher yang hanya dipakainya sesekali untuk shalat Jumat. Masih tergolong baru meski belum dikanji rapi. Dari lemari itu pula diambilnya ikat kepala bermotif mega mendung Cirebonan yang warna nilanya masih terlihat tegas.
“Hm, aku tak mau mempermalukan Tanah Sunda dengan berpakaian seadanya. Meski tidak baru lagi, pakaian ini cukuplah,” pikirnya.
Memang Ukur telah beberapa kali bertemu muka dengan Sultan Agung. Namun dipanggil langsung oleh Sinuhun Mataram itu baru kali ini. Tentu saja ia ingin memiliki pengalaman bertemu penguasa kerajaan besar yang ditakuti Negeri Palembang hingga mereka datang serah bongkokan sebagaimana dilakukan Sumedang Larang hari ini.
Ia tahu Sultan tergolong penguasa yang cerdas. Kecerdasan untuk tetap memegang kekuasaan itu pula yang membuatnya terkesan licik dan-–terutama, kejam. Para hulubalang dan abdi dalem tahu, Sultan tak pernah mau melihat kegagalan dalam tugas-tugas yang ia perintahkan.
Tetapi memang Sultan Agung pulalah yang membuat bentang wilayah kerajaan menjadi berkali-kali lebih luas. Ketegasannya membuat raja-raja kecil di sekeliling Mataram tak hendak mencari celaka dengan melakukan baha.
Mereka lebih memilih hidup dan menjamin kelangsungan kehidupan keluarga, meski tak lagi menyandang gelar raja. Ada pun soal keharusan menyerahkan upeti setiap tahun, anggaplah itu harga yang wajar untuk menjamin kepala mereka tetap tersangga di tempatnya.
Sultan juga yang untuk mengharumkan nama Mataram menggerakkan beberapa ekspedisi ke berbagai daerah. Ke barat hingga menembus pulau emas Sumatra. Ke timur hingga Madura dan Bali, meski beberapa kerajaan seperti Sampang dan Pamekasan belum lagi tunduk.
Di barat, Kerajaan Cirebon dan Banten masih kukuh tak mau takluk. Sementara Sumedang Larang yang disebut-sebut sebagai pewaris sah Kerajaan Pajajaran karena menyimpan Mahkuta Binokasih Sanghyang Pake, cuma mampu bertahan hingga hari ini.
Ukur menghabiskan waktu cukup lama di pancuran. Digosoknya badan, tangan dan kakinya dengan daun lamtoro bersih-bersih. Ia pun berangir mencuci rambutnya dengan air endapan abu merang. Rambutnya yang sempat lengket bergabung satu sama lain kini terurai bersih segar.
Usai mandi rambut itu disisirnya dengan sisir tanduk kerbau dan diikat kuat dengan ikat kepala bermotif mega mendung tadi. Kepalanya yang terasa enteng dirasakan Ukur membuat langkah-langkah kakinya pun sigap dan lebih trenggginas. [bersambung]