Uni Soviet Pernah Punya Ide Gila: Kereta Api Pembawa Rudal Nuklir
Setelah bubarnya Uni Soviet, 62 RT-23 sempat dimiliki Ukraina sebelum dikembalikan ke Rusia pada 1994. ‘Ghost Train’ akhirnya pensiun antara tahun 2003 dan 2005
JAKARTA—Pada 19 Juli 2018 Kremlin merilis sejumlah video yang memamerkan berbagai sistem senjata nuklir yang sedang dikembangkan, mulai dari rudal balistik RS-28 Satan 2, rudal hipersonik Kinzhal, dan bahkan torpedo nuklir laut yang dirancang untuk menghancurkan kota-kota pesisir dengan tsunami gelombang air yang teradiasi.
Namun, ada satu hal yang tidak mungkin dipilih untuk dilanjutkan adalah proyek pengembangan kereta berudal nuklir sebagaimana film James Bond, produk terusan ‘Kereta Hantu’ Soviet.
Konsep KA nuklir bergerak tersebut datang dari dekade-dekade lalu, berawal dari gagasan bahwa sistem peluncuran nuklir bergerak akan membuat musuh jauh lebih sulit menjadikannya target serangan pendahuluan, dan dengan demikian pertahanan yang lebih kuat. Prinsip itu telah diadopsi dalam sistem kapal selam bermuatan rudal balistik, sebagai bentuk pencegahan nuklir paling efektif.
Tentu saja, kapal selam sulit dilacak karena mereka dapat menjelajah hamparan samudera luas saat terendam. Untuk kereta nuklir, penyembunyian dimungkinkan dengan menyatu bersama lalu lintas kereta api sipil, saat mereka mengembara sebagai kereta api dalam gerakan yang tak pernah henti. Tentu saja, serangan pendahuluan mungkin menghantam beberapa kereta pembawa kiamat itu, tetapi akan sulit untuk memburu dan membinasakan mereka semua.
Pada 1980-an, Soviet akhirnya mengembangkan rudal balistik antarbenua (ICBM) RT-23 Molodets —versi yang lebih pendek dari ICBM sebelumnya agar muat di dalam gerbong kereta standar. Rudal SS-24 yang dihasilkan itu (NATO memberinya nama sandi Scalpel) berdiameter 2,4 meter, menggunakan bahan bakar padat untuk peluncuran yang relatif cepat, dan dapat menyerang target sejauh 6.800 mil berkat penguat roket tiga tahap. Ada juga varian berbasis silo. Rudal 104-ton itu dikemas dengan sepuluh hulu ledak nuklir 550-kiloton yang terpisah, untuk mencapai target yang berbeda pada saat reentry.
Kereta itu ditarik tiga lokomotif diesel DM-62 standar, yang diperkuat sebuah gerbong bahan bakar dan pelumas. Ada juga persediaan makanan yang cukup untuk 28 hari. Di sanalah tiga gerbong bermuatan rudal — yang disamarkan menyerupai gerbong berpendingin berpintu samping palsu. Namun, rudal berbobot 130 ton itu membutuhkan roda baja yang diperkuat. Ini cenderung merusak rel dan mungkin membuat kereta lebih mudah untuk diidentifikasi.
Untuk peluncuran, RT-23 harus berhenti di salah satu dari dua ratus titik tembak yang dibangun khusus di sepanjang jaringan rel, mengurai dulu kabel listrik yang tergantung di perangkat khusus, dan membuka atap gerbong rudal. Untuk menghindari gerbong tergoreng roket, Molodets menggunakan sistem ‘peluncuran dingin’: muatan serbuk mendorong rudal sejauh dua puluh meter ke udara, kemudian pendorong memiringkan rudal menjauh dari kereta sebelum penguat roket akhirnya dinyalakan.
Pada akhirnya, total 12 kereta dibangun di Ukraina dan aktif antara 1987 dan 2002 di tiga divisi aktif di Kostroma, Perm dan Gladkaya. Intelijen AS mencoba melacak pergerakan kereta yang disamarkan melalui satelit, tetapi mereka hanya berhasil sebagian. Faktanya, Pentagon pun akhirnya mengembangkan sendiri kereta rudal nuklirnya, the Peacekeeper Rail Garrison. Dua prototipe yang disamarkan menyerupai gerbong kereta biasa dikembangkan, tetapi berakhirnya Perang Dingin membatalkan rencana untuk membuat 50 kereta sejenis.
Setelah bubarnya Uni Soviet, 62 RT-23 sempat dimiliki Ukraina sebelum dikembalikan ke Rusia pada 1994. ‘Ghost Train’ akhirnya pensiun antara tahun 2003 dan 2005, meskipun dua di antaranya dipajang di museum.
Namun, manakala Pentagon mengembangkan system pertahanan rudal balistik dalam sebuah program yang disebut Prompt Global Strike, yang dirancang untuk menyerang secara tepat lokasi sasaran di mana pun di planet ini dalam satu jam, tumbuh paranoia Moskow bahwa Amerika Serikat memperoleh kemampuan untuk memusnahkan gudang senjata Rusia dengan serangan pendahuluan. Hal itu tampaknya mendorong Rusia berinvestasi besar-besaran baru-baru ini dalam meningkatkan sistem peluncuran senjata nuklir.
Pada 2012, Institut Teknologi Termal Moskwa mulai mengembangkan penerus RT-23 yang disebut RS-27 atau BZhRK Barguzin, nama yang didasarkan pada nama angin kencang di Danau Baikal, dengan skema yang disetujui pada 2014.
‘Ghost Train’ yang baru akan menggunakan rudal RS-24 Yars yang jauh lebih ringan, dengan berat hanya 54 ton. Kereta itu pun hanya membawa empat hulu ledak nuklir. Sistem baru itu memungkinkan pengunaan gerbong kereta standar dengan roda biasa, dengan memasang enam rudal balistik, alih-alih tiga seperti sebelumnya.
Yars dapat melesat hingga 20 kali kecepatan suara, dan dapat melakukan manuver menghindar dan menggunakan umpan untuk menghindari pencegat rudal balistik. Barguzin akan memiliki tujuh puluh awak, termasuk lusinan perwira, dan akan mampu meluncurkan rudal dari mana saja di jalur kereta api. Gerbong akan dilindungi system pembalas serangan elektronik, dan konon bisa “menahan ledakan nuklir beberapa ratus meter di sekelilingnya”.
Pada 2016 dan 2017 Barguzin menjalani beberapa uji peluncuran, dan direncanakan beroperasi pada 2019. Kenyataannya, beberapa bagian dikeluarkan dari pendanaan program manakala pada 2014 ekonomi Rusia mengalami kontraksi karena sanksi internasional dan penurunan harga minyak.
Pada Desember 2017, surat kabar Rusia mengungkapkan bahwa kereta misil telah ditinggalkan dari rencana persenjataan negara selama 10 tahun, dibatalkan untuk penghematan dana bagi program nuklir yang lebih penting—meskipun dibuat seolah-olah proyek Barguzin dapat dihidupkan kembali jika keadaan berubah.
Mengapa berubah pikiran? Faktanya, banyak kalangan di Rusia mengatakan, mereka menemukan proyek kereta itu memiliki banyak catatan yang tidak masuk akal, termasuk direktur lembaga yang mengembangkannya.
Ada pula sejumlah persoalan besar manakala negara memiliki senjata nuklir yang ‘berguling-guling’ bebas di keseharian publik dalam bentuk kereta api. Bayangkan, berapa banyak dana dibutuhkan untuk prosedur keamanannya. Apalagi rel pun tidak terlalu sulit dihancurkan, apalagi ia pun rentan terhalang salju. Akan ada biaya mahal yang dengan gampang diprediksi.
Robert Beckhusen lebih jauh menunjukkan, perjanjian pembatasan senjata nuklir START Baru mengenai jumlah senjata nuklir yang dikerahkan secara aktif kemungkinan akan memaksa kereta untuk tetap di fasilitas mereka, sampai lonjakan ketegangan terjadi sebelum perang meletus. Ini berarti kereta bahkan mungkin tidak keluar dari depot mereka jika terjadi serangan mendadak yang ingin mereka lawan.
Pada dasarnya, meskipun kereta api rudal nuklir mungkin sulit dilacak, ada banyak keterbatasan yang akhirnya membuat efektivitas mereka lebih rendah dibanding senjata nuklir lain. Barguzin pada akhirnya dianggap terlalu ketinggalan zaman dan mahal.
Memang, tahun lalu Moskow juga telah membatalkan sistem ICBM RS-26 Rubezh dan pada dasarnya menunda program tempur siluman Su-57 yang banyak ditunggu-tunggu selama setidaknya satu dekade. Namun, kereta berpeluncur nuklir mungkin bukan hanya dipikirkan Soviet, Rusia dan akhirnya memaksa AS untuk mencobanya pula. Pada Desember 2015, Cina juga menguji ICBM Dongfeng-41 yang diluncurkan kereta api.
[Sébastien Roblin/National Interest]
Sebastien Roblin adalah master resolusi konflik dari Universitas Georgetown, dan instruktur untuk Peace Corps di Cina.