5 PUISI ARMEN SETIAJI UNTUNG

PERJAMUAN DI TENGAH RERUNTUHAN
Mereka menggelar meja
di tengah kota yang mendidih
kursi kosong berbisik
tentang janji yang terpangkas
dan lilin kecil berjuang
melawan angin berita palsu.
Piring-piring retak
menampung sisa-sisa sumpah
dihidangkan bersama roti kering
dari rasa malu
dan gelas-gelas anggur merah
lebih banyak berisi air mata
daripada perayaan.
Di antara mereka
seorang lelaki berkepala burung
memainkan biola dari tulang rusuk
mengalunkan lagu
tentang negeri yang kehilangan nama.
Tak ada doa penutup
hanya gelak tawa yang kaku
dan siluet-siluet
menari di atas meja
seperti tamu-tamu tak diundang
yang membawa kabar buruk.
Ketika dini hari merayap
mereka bangkit
membungkus semua
dengan kertas kado
menamainya “kemajuan”,
lalu menari di atas tanah
yang belum sepenuhnya dingin.
2025
*
CATATAN REDAKTURIAL
Meja, Roti, dan Kepala Burung: Perjamuan Distopia Armen S. Untung
Oleh IRZI
Di tengah reruntuhan harapan yang digambarkan Armen S. Untung dalam puisinya yang berjudul “Perjamuan di Tengah Reruntuhan”, kita tidak diajak makan malam yang nyaman, melainkan dijebak dalam perjamuan absurd—lengkap dengan lilin yang sekarat dan gelas-gelas yang menampung lebih banyak air mata daripada anggur. Dari judulnya saja, puisi ini sudah menyampaikan satu suasana distopia, semacam table setting post-apokaliptik yang bukan saja membicarakan dunia yang sedang panas-panasnya—baik secara politik, sosial, maupun spiritual—tetapi juga menyindir kemasan eufemistik yang sering kita gunakan untuk membungkus kegagalan kolektif sebagai “kemajuan.” Coba tengok: ada kursi kosong, piring retak, roti kering dari rasa malu. Ini bukan jamuan biasa. Ini adalah drama nasional dalam bentuk makan malam.
Armen S. Untung, penyair kelahiran Jakarta, 5 September 1980, mungkin bukan nama yang setiap orang kenal di halte atau minimarket, tapi dia sudah cukup lama menyimpan gemuruhnya dalam puisi. Buku perdananya, Ziarah Kenang (2019), seperti judulnya, mengajak pembaca menapaki kembali jejak-jejak luka dan ingatan. Karyanya kerap hadir dalam media seperti Kompas, Litera, Kawaca, dan Pikiran Rakyat. Ia juga masuk dalam sejumlah buku bersama yang mencatat geliat puisi Indonesia kontemporer. Puisinya “Palung Ingatan” bahkan menjadi nomine Penghargaan Sastra Litera 2018—yang artinya, ini bukan penyair yang baru turun dari truk tronton. Armen punya bekal, dan ia tahu betul cara menyajikan satire yang dingin namun menusuk seperti garpu perak dalam jamuan formal.
Ada yang menarik dari gestur lelaki berkepala burung yang memainkan biola dari tulang rusuk—simbolisme yang agak surealis tapi sukses membangun atmosfer. Dalam perjamuan tersebut, tidak ada doa penutup; yang tersisa hanya gelak tawa kaku dan siluet yang menari seperti tamu tak diundang. Armen bermain di wilayah antara absurditas dan alegori sosial. Ia menyentil masyarakat yang terbiasa merayakan reruntuhan, yang begitu mudah melabeli luka sebagai kemajuan, yang rela menari di atas tanah yang belum dingin: tanah korban, tanah sejarah, tanah rakyat yang makin hari makin digembosi.
Apa yang membuat puisi ini kuat adalah kemampuannya menyusun metafora yang tidak terlampau “sok susah”—tapi juga tidak jatuh ke klise murahan. Tekniknya seperti membuat kolase dari sisa-sisa simbol: lilin, gelas, burung, tulang rusuk, jamuan, kabar palsu. Semua elemen terasa menyumbang satu nada getir yang beresonansi hingga akhir. Ia tidak memberi kita resolusi, tapi justru menyajikan penutup yang menyebalkan: perjamuan selesai, mereka membungkus semua dalam kertas kado bernama “kemajuan,” lalu menari. Armen menertawakan absurditas zaman ini sambil menyisipkan harapan samar—jika pembaca cukup jeli untuk menahan mual dan menggali makna lebih dalam.
Maka pantas jika kita menyebut Armen sebagai penyair yang tahu cara membangun suasana dari hal-hal remeh tapi simbolik, dan yang lebih penting, tahu bagaimana menutup puisi dengan semacam tepukan bahu sinis: “lihatlah, kalian sedang menari di atas puing.” Tapi ia tidak berdiri di atas podium—melainkan duduk bersama kita, pembaca, dalam satu meja panjang di tengah reruntuhan. Kita makan malu, minum air mata, dan mungkin tertawa, meski hati gemetar.
2025
*
NEGERI TANPA CERMIN
Di negeri tanpa cermin
tak ada yang tahu bentuk wajahnya.
Mereka menggambar diri di udara
lalu bertengkar tentang
siapa yang paling benar.
Setiap pagi
matahari tergelincir
menyisakan bayang-bayang
yang saling melahap.
Burung-burung kehilangan udara
terbang berputar-putar
sampai jatuh ke sumur berita.
Anak-anak tumbuh
dengan punggung menghadap langit
belajar membaca dari debu
dan menulis puisi
dengan darah rahasianya.
Tak ada kidung kebangsaan
hanya dengung panjang
seperti mesin rusak
yang lupa cara mati.
Di negeri itu
mimpi dipelihara dalam toples kaca
dan keberanian dijual di pasar gelap
dengan harga yang tak terjangkau.
Pada suatu malam
sebuah suara dari perut bumi berbisik,
“Kau tak akan menemukan
wajahmu di sini.
Karena di negeri ini,
yang bercermin adalah mereka
yang sudah tidak punya wajah.”
2025
*
BALADA TANAH RETAK
Aku menggali tanah ini
menemukan tulang-tulang kata
yang tak sempat diucapkan.
Hujan turun
tapi airnya asin
membasuh luka yang malah mekar
seperti bunga besi di pagi beku.
Di tengah ladang
sebuah bendera dipancang
dengan warna-warna
yang tak lagi diingat siapa pun.
2025
*
MARSINAH DI HARI LIBUR
Marsinah
bukan nama bulan
bukan juga merek sepatu sekolah.
Ia buruh pabrik jam
yang jarumnya berhenti
di perutnya sendiri.
Di hari libur nasional
Marsinah jalan-jalan ke sebuah kantor
menenteng mimpi gajian
dan senyum kawan-kawan
yang tak jadi dipecat.
Tapi jalan-jalan itu tak pernah pulang
ia menginap di semak belukar
ditemani nyamuk dan laporan rahasia.
Upahmu akan naik,
kata seorang berpakaian sopan
lalu memukulinya dengan
jam dinding besar.
Marsinah tahu
di negeri ini
waktu bisa jadi senjata tajam.
Dan suara buruh
hanya boleh terdengar
jika diatur nada dan temponya.
Kini setiap 1 Mei
Marsinah duduk di kepala saya
memegang jam rusak
dan mencatat
siapa saja yang belum belajar
mendengarkan.
2025
*
NASI DARI LANGIT
Pak Sulam tidak suka nasi.
Bukan karena dia aliran diet keto atau vegetarian militan.
Tapi karena sejak kecil, dia sudah trauma.
Pernah, waktu TK, dia dapat nasi kuning basi di suatu acara ulang tahun. Sejak itu, setiap melihat nasi, perutnya langsung mual.
Tapi sekarang dia jadi kepala sekolah.
Dan program pemerintah bilang: Makan Siang Gratis Untuk Anak Sekolah.
Maka datanglah nasi.
Berton-ton. Bertumpuk. Berbungkus.
Seolah-olah sekolahnya bukan SD Negeri 13, tapi depot katering.
“Pak Sulam, kita dapat kiriman 800 bungkus lagi!” teriak Bu Tati, guru kelas 4, yang lebih mirip distributor sembako.
“Kita cuma punya 221 murid, Bu.”
“Ya… sisanya buat kita bagi-bagi, toh ada slogan: makan bersama membangun bangsa.”
Pak Sulam mengangguk. Tapi dalam hatinya menjerit.
Dia tahu, makin hari, nasi makin licik.
Kadang menyamar sebagai lontong. Kadang jadi bubur. Kadang muncul di mimpi, mengomel soal gizi.
“Nasi itu ibarat cinta,” katanya suatu pagi di ruang guru, “kalau kebanyakan, malah bikin pusing.”
Pak Darsono, guru olahraga, menyahut: “Tapi Pak, cinta itu tetap dibutuhkan. Apalagi oleh perut kosong.”
Hari itu, anak-anak makan lauk telur balado. Telurnya satu dibelah empat.
“Pak, saya dapat bagian putih semua!” seru Bima, sambil menunjukkan sebutir telur yang sudah tinggal cangkangnya.
“Itu tandanya kamu bersih hatinya,” jawab Bu Rini bijak.
Lalu datang masalah.
Nasi tiba-tiba hilang.
Hari Senin, datang 500 bungkus.
Hari Selasa, cuma 40.
Hari Rabu, nihil.
“Ke mana nasinya, Bu Tati?” tanya Pak Sulam.
Bu Tati panik. “Saya sudah telepon vendor. Katanya nasi sedang mogok. Protes karena dianggap hanya pelengkap, padahal dia aktor utama.”
“Aktor utama?” Pak Sulam memijit pelipisnya. “Saya ini kepala sekolah, bukan sutradara nasi!”
Seketika itu, ruang guru berubah jadi ruang sidang darurat.
Bu Rini membawa kalkulator. Pak Darsono bawa timbangan.
Pak Samin, penjaga sekolah, diam-diam membawa pulang dua bungkus.
“Apa kita kena sabotase?” tanya Bu Rini.
“Bisa jadi. Dengar-dengar SD sebelah kekurangan nasi juga. Tapi SMP 2 malah kelebihan. Bahkan katanya mereka pakai nasi buat main bola.”
Pak Sulam geleng-geleng.
“Apa jangan-jangan nasinya kabur ke sana?”
Sementara itu, di kantin belakang, dua ekor kucing jantan bertengkar.
Rebutan kepala ikan.
“Kalau kucing saja masih berebut makan,” renung Pak Sulam, “bagaimana manusia bisa adil?”
Keesokan harinya, datang satu truk nasi. Tapi semuanya sudah keras seperti batu bata.
Tertulis: “Maaf, nasi sempat transit di gudang tropis.”
Pak Sulam meratapi nasib.
“Dulu saya ingin sekolah jadi tempat belajar. Sekarang jadi gudang beras.”
Lalu, muncul ide gila.
Pak Sulam mengumumkan:
“Mulai besok, makan siang akan dilakukan dalam bentuk digital.”
Anak-anak bingung.
“Pak, maksudnya gimana?”
“Kalian akan bayangkan makan. Kita sediakan gambar nasi, aroma nasi, dan suara kunyahan.”
Bu Tati protes, “Tapi itu cuma khayalan!”
“Betul. Tapi khayalan lebih kenyang daripada kenyataan yang kosong.”
Tiba-tiba semua diam.
Bima, yang biasanya cerewet, mengangkat tangan.
“Pak, saya suka ide itu. Soalnya saya pernah bayangkan ayam goreng tiap hari… dan perut saya ikut bahagia.”
Hari itu, SD Negeri 13 jadi viral.
Wartawan datang.
Youtuber datang.
Influencer datang.
Semua ingin liputan: Sekolah yang Mengenyangkan dengan Imajinasi.
Salah satu murid bahkan diundang ke podcast.
“Gimana rasanya makan digital?” tanya pembawa acara.
“Enak, Kak. Nggak bikin kenyang, tapi juga nggak bikin lapar. Nggak ada ampas, nggak ada beban.”
Kementerian mulai resah.
Panggilan datang ke Pak Sulam.
“Program makan siang bukan untuk ditertawakan!”
“Tapi kami tidak menertawakan, kami memaknai,” jawab Pak Sulam dengan tenang.
“Lagipula, anak-anak lebih bahagia sekarang. Mereka bisa makan apa saja, asal punya daya khayal.”
“Lalu, gizi mereka?”
Pak Sulam mengangkat brosur:
Imajinasi mengandung serat, vitamin C, dan harapan tinggi.
Kementerian makin pusing.
Tapi karena sekolah jadi viral dan anak-anak makin rajin masuk, akhirnya dibuatlah regulasi baru:
“Sekolah boleh menyesuaikan bentuk konsumsi dengan kreativitas daerah.”
Lalu datang orang dinas, membawa sekotak nasi digital.
Isinya cuma selembar kertas:
“Bayangkan ini rendang. Kalau lapar, tambahkan memori masa kecil.”
Pak Sulam terharu.
“Ini namanya negara mulai paham. Paham bahwa lapar itu bukan cuma urusan perut, tapi juga pikiran.”
Tapi kemudian, masalah baru muncul.
Anak-anak mulai terlalu imajinatif.
Bima membayangkan makan pizza tiap hari.
Siti membayangkan pesta ulang tahun lengkap dengan badut dan es krim.
Joni bilang dia sudah kenyang sejak pagi karena tadi malam mimpi makan kambing guling.
Bu Rini resah. “Pak, kalau semua kenyang karena mimpi, nanti siapa yang lapar sungguhan?”
Pak Sulam mengangguk. “Betul. Ini bahaya. Kita harus seimbangkan antara imajinasi dan kenyataan.”
Lalu dibuatlah Jadwal Makan Realistis:
Senin: Makan nyata
Selasa: Makan bayangan
Rabu: Makan sisa kenyataan
Kamis: Makan puisi
Jumat: Makan doa
Sabtu: Bebas, tergantung mimpi semalam
Kementerian mengirim surat pujian.
“Sekolah Bapak berhasil menyatukan seni, pendidikan, dan ketahanan pangan.”
Pak Sulam tersenyum.
Di ruang kerjanya, ia menyusun buku berjudul:
“Mengunyah Realita: Pedagogi di Era Nasi Gratis.”
Tapi sebelum bukunya terbit, datang lagi truk nasi.
Kali ini isinya lontong, tapi dibungkus kertas bertuliskan:
“Selamat datang di dunia nyata, Pak.”
Pak Sulam menatap ke langit.
Mendung.
Tapi ia tahu, suatu saat nanti, mungkin nasi benar-benar akan turun dari awan.
Dan waktu itu tiba.
Pada suatu siang yang biasa, anak-anak bersorak.
“Pak, hujan nasi! Hujan nasi!”
Pak Sulam keluar.
Melihat butiran putih jatuh dari langit.
Bukan nasi. Tapi kelopak bunga.
Anak-anak kecewa.
Tapi Bima tersenyum.
“Pak, bunganya wangi. Bisa buat lauk imajinasi.”
Pak Sulam terdiam.
Lalu tertawa.
“Baiklah, anak-anak. Hari ini kita makan puisi bunga.
Dan kalau kalian masih lapar, mari kita makan negara. Tapi sedikit-sedikit saja. Jangan rakus.”
2025
*
BIODATA PENULIS
Armen Setiaji Untung, lahir di Jakarta 05-September-1980. Alamat: Perumahan Babelan Indah. Blok C 416, RT 006/08. Kel. Kebalen. Kec. Babelan. Jawa Barat – Bekasi Utara. | No. HP/WA: 087723153312 | Email: armensetiajiuntung@gmail.com
Buku antologi pertama berjudul Ziarah Kenang terbit tahun (2019).
Beberapa karya termuat di media, seperti Kompas, Litera, Kawaca, Majalah Elipsis, Pikiran Rakyat dll.
Dan juga tergabung dalam buku bersama, seperti Tifa Nusantara 3 (2016), Monolog Di Penjara (2018), Bulu Waktu (Sastra Reboan, 2018), Jugijagijug (Redaksi Meja Tamu, 2018).
Puisinya yang berjudul “Palung Ingatan” juga terpilih menjadi salah satu Nomine Penghargaan Sastra Litera 2018.






