
Dimensi ketiga dari pembelajaran mendalam adalah joyful learning, atau pembelajaran yang menggembirakan. Konsep ini bukan berarti mengubah kelas menjadi ruang hiburan, tetapi menciptakan suasana psikologis yang kondusif bagi rasa ingin tahu, partisipasi aktif, dan kesejahteraan emosional peserta didik. Carol Ames (1992) menunjukkan bahwa motivasi intrinsik siswa meningkat ketika mereka merasa memiliki otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial dalam pembelajaran. Dengan kata lain, kegembiraan belajar tumbuh ketika siswa merasa aman, dihargai, dan dilibatkan dalam proses belajar.
Oleh : Laksmi Dewi*
JERNIH– Dalam perubahan paradigma pendidikan abad ke-21, posisi guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai perancang pengalaman belajar yang bermakna. Pergeseran ini mendapat penegasan dalam arah kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, terutama melalui kurikulum satuan pendidikan yang menekankan pentingnya pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning).
Pembelajaran jenis ini menuntut integrasi antara kemampuan berpikir kritis, reflektif, kolaboratif, dan kreatif dalam suasana belajar yang bermakna, berkesadaran, dan menyenangkan. Namun di ruang-ruang kelas, konsep tersebut masih sering dihadapi dengan tafsir yang sempit: pembelajaran mendalam dianggap sekadar model atau metode baru, bukan perubahan paradigma manajemen pembelajaran yang menghidupkan nilai-nilai kognitif, afektif, dan sosial secara bersamaan.
David Ausubel (1968) dalam teori meaningful learning menjelaskan bahwa belajar yang bermakna terjadi ketika pengetahuan baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah ada dalam diri peserta didik. Hubungan inilah yang membuat pengetahuan menjadi fungsional dan tahan lama dalam ingatan. Belajar tidak lagi bersifat mekanis, tetapi menjadi proses internalisasi makna. Ketika guru merancang pembelajaran yang mengaitkan topik dengan pengalaman nyata siswa, seperti mengamati pola konsumsi energi di rumah untuk memahami konsep energi terbarukan, maka ia sedang menuntun terjadinya konstruksi makna. Hal ini sejalan dengan teori konstruktivisme Piaget dan Vygotsky yang menekankan bahwa pengetahuan tidak ditransfer secara pasif, melainkan dibangun secara aktif melalui interaksi sosial dan pengalaman kontekstual.
Dalam praktik manajemen pembelajaran, proses ini menuntut perubahan mendasar. Guru perlu memulai perencanaan bukan dari pertanyaan “materi apa yang harus diajarkan?”, tetapi “pemahaman apa yang perlu dimiliki siswa agar mereka dapat mengaitkan ilmu dengan kehidupan?”. Pembelajaran yang bermakna harus dirancang dengan kegiatan eksploratif dan reflektif: studi kasus, proyek kolaboratif, observasi lapangan, atau diskusi berbasis masalah. Evaluasi pun harus bergeser dari sekadar mengukur hafalan menuju asesmen autentik yang menilai kemampuan berpikir, menalar, dan memecahkan masalah.
Selain bermakna, pembelajaran mendalam juga bersandar pada prinsip mindful learning — belajar dengan kesadaran utuh. Ellen Langer (1989) menggagas konsep ini dengan menekankan pentingnya kehadiran penuh, fleksibilitas kognitif, dan keterbukaan terhadap perspektif baru. Pembelajaran berkesadaran menuntut guru dan siswa untuk benar-benar hadir dalam proses belajar, bukan sekadar menjalani rutinitas. Guru yang berkesadaran tidak hanya menyiapkan materi, tetapi juga membaca situasi emosional kelas, memberi ruang bagi jeda refleksi, dan mendorong siswa mengenali cara mereka belajar.
Pembelajaran berkesadaran dapat diintegrasikan ke dalam manajemen pembelajaran secara sederhana. Guru dapat mengawali pelajaran dengan pertanyaan reflektif: “Apa yang ingin kalian pahami hari ini?” atau menutup kelas dengan “Apa yang paling bermakna dari kegiatan kita hari ini?”. Praktik refleksi ini bukan sekadar formalitas penutup, tetapi sarana membangun metakognisi—kesadaran atas proses berpikir sendiri.
John Dewey (1933) menegaskan bahwa refleksi merupakan jantung dari pengalaman belajar; tanpa refleksi, pengalaman hanya menjadi aktivitas tanpa makna.
Dimensi ketiga dari pembelajaran mendalam adalah joyful learning, atau pembelajaran yang menggembirakan. Konsep ini bukan berarti mengubah kelas menjadi ruang hiburan, tetapi menciptakan suasana psikologis yang kondusif bagi rasa ingin tahu, partisipasi aktif, dan kesejahteraan emosional peserta didik. Carol Ames (1992) menunjukkan bahwa motivasi intrinsik siswa meningkat ketika mereka merasa memiliki otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial dalam pembelajaran. Dengan kata lain, kegembiraan belajar tumbuh ketika siswa merasa aman, dihargai, dan dilibatkan dalam proses belajar.
Dalam kerangka manajemen pembelajaran, guru berperan sebagai arsitek iklim kelas yang positif. Ia menata dinamika pembelajaran agar siswa mengalami flow — kondisi keterlibatan penuh dalam aktivitas belajar seperti yang dijelaskan Mihaly Csikszentmihalyi (1990). Guru yang mampu menyeimbangkan tantangan dan kemampuan siswa menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan sekaligus menantang secara intelektual. Contohnya, ketika siswa diajak mengerjakan proyek yang sesuai minatnya—seperti membuat video kampanye lingkungan—mereka merasa belajar bukan karena kewajiban, melainkan karena menemukan makna dalam aktivitas tersebut.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran bermakna, berkesadaran, dan menyenangkan masih menghadapi berbagai kendala. Beban administratif guru yang berat sering kali menggeser fokus dari refleksi ke rutinitas pelaporan.
Orientasi pada ujian dan hasil kuantitatif masih dominan, sehingga guru sulit memberi ruang bagi pembelajaran yang menumbuhkan pemikiran mendalam. Di sisi lain, pelatihan guru masih cenderung berorientasi teoritis tanpa memperkuat praktik reflektif yang berkelanjutan. Dalam banyak kasus, inovasi guru tidak mendapatkan dukungan struktural dari manajemen sekolah yang lebih menekankan kepatuhan administratif dibandingkan pengembangan pedagogik.
Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan kebijakan yang berpihak pada otonomi dan profesionalisme guru. Pelatihan guru hendaknya diarahkan pada practice-based learning yang memberi kesempatan untuk berefleksi atas pengalaman mengajar nyata, bukan sekadar memahami konsep metodologis. Supervisi akademik perlu bergeser dari fungsi pengawasan menuju pendampingan kolaboratif.
Sekolah sebaiknya menumbuhkan professional learning community—komunitas belajar guru yang mendorong saling berbagi praktik baik dan pembelajaran reflektif. Selain itu, sistem asesmen nasional pun harus diarahkan untuk menilai keterampilan berpikir tingkat tinggi, kreativitas, dan karakter, bukan semata kemampuan reproduksi pengetahuan.
Kebijakan pendidikan yang menempatkan guru sebagai pusat transformasi menjadi kunci bagi keberlanjutan pembelajaran mendalam. Ketika guru memiliki ruang dan kepercayaan untuk bereksperimen, refleksi, dan berinovasi, maka kualitas pembelajaran akan meningkat secara alami. Pembelajaran mendalam tidak dapat diwujudkan melalui instruksi birokratis, tetapi tumbuh melalui kesadaran profesional guru bahwa mengajar bukan hanya memindahkan pengetahuan, melainkan menumbuhkan kemampuan berpikir dan merasakan makna.
Pada akhirnya, keberhasilan pendidikan tidak ditentukan oleh seberapa banyak materi yang diajarkan, melainkan oleh seberapa dalam siswa memahami, mengaplikasin, dan merefleksikan pengetahuan itu dalam kehidupannya. Guru yang menata manajemen pembelajarannya berdasarkan prinsip meaningful, mindful, dan joyful learning sesungguhnya sedang membangun fondasi pendidikan yang memuliakan manusia. Di tangan guru seperti inilah kurikulum menemukan ruhnya, dan sekolah menjadi ruang di mana belajar bukan sekadar kewajiban, melainkan proses pertumbuhan yang penuh makna. [ ]
* Kepala Puskurjar, BSKAP Kemendikdasmen RI






