Puisi

5 PUISI ASEP SALAHUDIN

MANEKIN

lalu pada sebuah alun alun yang terik
dipenuhi manekin
dalam aneka dandanan bahkan yang bersorban
lantang meneriakkan allahu akbar

seperti disusupi napas baru
digerakkan bayangan ramalan yeremia

dan mereka tertawa
mungkin bahagia
barangkali kecewa
*

CATATAN REDAKSIONAL

Manekin, Sorban, dan Ramalan Yeremia: Ketika Asep Salahudin Menyulap Alun-Alun Jadi Teater Puisi

Oleh Irzi Risfandi

PUISI Manekin karya Asep Salahudin ini pendek, dingin, tapi menggigit seperti es kopi susu yang disajikan di tengah terik alun-alun. Iya, alun-alun! Tempat di mana biasanya orang piknik, anak-anak main layangan, atau emak-emak jualan cilok—di tangan Asep, alun-alun itu mendadak berubah jadi panggung distopia penuh manekin. Tapi jangan pikir ini hanya parade fesyen beku. Asep menaruh mereka dalam posisi yang menggelitik: manekin bersorban meneriakkan Allahu Akbar. Lah ini, Pak Rektor, baru tiga larik sudah bikin kita geleng-geleng, nyengir, lalu diam—karena tahu: ini bukan puisi main-main.

Sebagai Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Asep Salahudin memang bukan sekadar penyair akademik. Ia adalah pemikir budaya, penulis spiritualitas Sunda, dan pendobrak batas antara keislaman, kesundaan, dan keindonesiaan. Maka, tidak heran jika puisinya tidak pernah polos-polos saja. Dalam Manekin, ia menyajikan ironi yang tajam—bahwa bahkan mereka yang bersorban, simbol religius yang mestinya penuh makna, bisa jadi sekadar manekin: diam, didandani, diposisikan, dan… digerakkan. Digerakkan oleh siapa? Oleh “bayangan ramalan Yeremia.” Nah ini dia, ledakan lirikal yang centil tapi sangat menghantui.

Ramalan Yeremia, dalam tradisi kitab Yahudi dan Kristen, penuh peringatan, tangisan, dan nubuat tentang kehancuran moral. Ketika bayangan itu diselipkan Asep ke dalam puisi, kita langsung tahu: ini bukan puisi spiritual galau. Ini semacam satire suci yang menyodok lewat lirik. Apakah kita hari ini sedang hidup dalam dunia yang penuh manekin ideologis? Orang-orang yang lantang meneriakkan nilai, tapi kehilangan gerak batin? Apakah mereka “tertawa” karena bahagia, atau justru karena sudah tidak tahu harus menangis atau marah?

Dan yang paling kejam—dan manis dari sisi penyair—adalah penutupnya: “dan mereka tertawa / mungkin bahagia / barangkali kecewa.” Tiga baris ini seperti nonton ending film arthouse yang dibiarkan menggantung: mau kita tafsirkan optimis atau sinis, silakan. Tapi satu hal pasti: Asep tidak memberikan kepastian. Ia menyodorkan permen keras dengan rasa tak terduga, dan mempersilakan kita mengulum sampai leher kaku. Cerdik. Sadis. Tapi puitis.

Asep Salahudin, dalam puisinya yang tampak mini ini, justru membangun dunia. Ia tidak butuh bait panjang-panjang; cukup satu alun-alun dan beberapa manekin, lalu boom—puisi ini bicara soal kekuasaan, simbol, agama, bahkan penggiringan massa. Singkat kata, Manekin adalah contoh sempurna bagaimana puisi bisa menyisip seperti angin—tak terlihat, tapi terasa dinginnya sampai ke ubun-ubun iman. Jadi hati-hati, kalau kamu pikir puisi Asep ini cuma permen metafora, siap-siap giginya copot karena terlalu tajam untuk dihisap santai.

2025

*

4 PUISI LAINNYA

DI NEGERI INI, ORANG BILANG, IJAZAH SEGALA NYA

kupersembahkan ijazah kepada orang tuaku
mata mereka seketika basah
dalam sekejap kegembiraan merekah
memenuhi orang-orang sekampung sedaerah

terberkatilah secarik ijazah
mungkin tuhan melihat hidup yang letih, langkah yang gigih:
tidak harus berlama-lama gajihku meruah
cita-cita lama menghajian orang tua sudah

satu keinginan ibuku yang selalu disampaikan, “nak, kapan ibu bisa momong cucu? “

“wajahmu tidak terlalu tampan, tapi uangmu bisa menutupi kejelekanmu, ” seperti biasa ayahku kalau bicara amat jujur

mereka seketika menganga
ketika kuutarakan niatku melamar artis ibukota
kutegaskan alasannya, “supaya sang cucu kelak mewarisi kecantikan istriku dan kepintaran bapaknya”

tibalah lebaran berikutnya
kusampaikan penolakan sang artis, “ramalanku justru kalau kawin sama kamu. anaknya bodoh sepertiku, dan jelek persis kau”

ibu, bapak, dan aku tertawa terpingkal-pingkal
dengan senyum lengang
tak ada yang lucu
hanya ingin merayakan takdir sembilu
yang menyusup-nyusup waktu
lalu pelan-pelan mengabu

terkutuklah secarik ijazahku
*

ARCA RAJA

hari ini, seorang raja menanggalkan mahkota
sepanjang jalan orang-orang melemparkan senyuman
sebagian tersaruk-saruk dalam impian
yang lain memacu ingatan pada dusta berulang

kemudian kita melihat
anak-anak raja diarcakan
seakan ditawarkan tuhan
seolah direstui alam
dan beribu orang mengikrarkan kesetiaan

adakah kalian dengar debur laut merah
di tengah samudera lamat terdengar pengakuan:
amantu bi rabbi musa wa harun

setelah itu semua tenggelam dalam lusuh
sorga semakin jauh
pada gilirannya gelap bersintuhan
di sela beban dan bayang-bayang hitam yang tidak sebentar:
perjalanan kita sungguh sialan
*

DERAS

hujan deras dan suara guntur yang menggelegar
basah pada halaman rumah
dan kita tengadah:
menunggu kapan reda

siapa kuyup di langit redup
siapa berlari mencari teduh
siapa tergelincir terucap mengaduh
siapa terperosok jatuh tak mengeluh

dan kita semakin hapal
kemarau dan hujan dipisahkan musim
dan kita semakin kenal
kita dihubungkan cerita yang dibiarkan terbuka
walaupun jarang dibaca
mungkin belum selesai
barangkali sengaja dibiarkan tidak usai
*

BAYANG-BAYANG

tolong sampaikan bahwa kabut yang pekat
tak selalu mengisyaratkan perjalanan lindap
tidak selamanya lampu yang gelap
karena kehabisan minyak

kalau kau masih merawat harapan purba
ikutilah langkah-langkahnya
lalu menyatu dalam zat asma mulia
agar nama kitu sempurna bersama

kemudian lihatlah ke dalam:
setapak demi setapak darah kita menyusup mengairi sukma
dan menjadi telaga
pelan-pelan nafas kita mengurapi jiwa
dan menjelma muara
*

Asep Salahudin, Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Puisi dan cerpennya di muat di Pikiran Rakyat, Bali Politika dan Tribun Jabar. Bukunya yang terakhir Kitab Tritangtu: Kesundaan, Keislaman, Keindonesiaan (2021) dan Jatiniskala: Memahami Spiritualisme Manusia Sunda (2023) dan Antologi Puisi “Like “ (Bali, 2023).

Back to top button