Puisi

5 PUISI DALI DAULAY

Ke Jogja, Nonton Goodbye Dragon Inn (2003)

Kamu jauh-jauh ke jogja / untuk menonton film membosankan / tentang kesepian yang sengaja direkam selama 82 menit / benarkah film membosankan memikat orang yang membosankan? / kamu perhatikan kenangan tumpah seperti air jatuh dari atap bocor / lorong menuju bioskop itu penuh hantu / tidak apa-apa / menonton film bersama hantu lebih baik daripada menonton bersama sepi / aduh! film ini benar-benar bikin ngantuk / kamu malah asyik membayangkan gudeg untuk sarapan / tapi lidahmu tidak suka makanan manis / fokus lagi ke film itu saja / sudah jauh-jauh ke jogja /meninggalkan anabul / jangan ngantuk / maka kamu mengagumi bingkai kesunyian yang dipancarkan proyektor / imaji 35mm itu indah sekali, meski ditembak dengan mesin digital sekalipun / bingkai statis adalah identitas film ini / kebetulan kamu juga melihat hidupmu dengan bingkai yang statis / kamu orang yang lambat / sangat lambat / terlalu lambat untuk mengucapkan selamat datang- selamat tinggal / pada semua yang terjadi / hal-hal baik yang tidak terjadi / hal-hal buruk yang terlalu terjadi / hidupmu lambat seperti film-film tsai ming-liang / kamu mulai khawatir / sepi dan sendiri / film selesai / penonton bertepuk tangan / tiba-tiba sutradara tsai masuk ke teater / ada yang bertanya, “apakah tidak khawatir penonton bosan dengan film anda / yang nge-shot satu bingkai selama enam menit panjangnya?” / sayang sekali / sutradara tsai tidak peduli / apa kata penonton.

***

CATATAN REDAKSIONAL

Bosan, Sunyi, dan Tsai Ming-Liang: Tiket Sehala Dali Daulay ke Dalam Dirinya Sendiri

oleh IRZI Risfandi

Puisi “Ke Jogja, Nonton Goodbye Dragon Inn (2003)” karya Dali Daulay ini bukan sekadar catatan perjalanan ke Jogja dengan satu destinasi absurd—menonton film sunyi Tsai Ming-Liang. Ini lebih mirip voice over dari seorang tokoh utama film indie yang sedang menertawakan dirinya sendiri, dengan gaya monolog internal yang sinis, centil, dan—jangan salah—sinematik abis. Dali tidak sedang membahas sinema secara teoretis ala kritik Cahiers du Cinéma, tapi ia memilih jalur naratif yang lebih intim: membiarkan kita duduk di sebelahnya, di dalam bioskop, mengantuk bersama, sambil membayangkan gudeg yang terlalu manis untuk lidahnya. Real, relatable, ridiculous—in the best way.

Lahir di Medan, 28 Juli 2001, Dali Daulay adalah generasi baru penulis yang doyan mengobrak-abrik batas antara film, puisi, dan auto-refleksi. Lulus dari Fakultas Film dan Televisi IKJ, Dali menulis dengan cara yang tahu betul bagaimana bingkai sinema bekerja, tapi juga tahu bahwa hidup sering kali lebih malas geraknya ketimbang long take karya Tsai Ming-Liang. Dalam puisinya ini, Dali menyulap hal-hal sepele dan membosankan menjadi ruang bermain imajinatif yang mengingatkan kita pada kenapa kita datang ke bioskop, atau ke hidup ini: untuk diam sebentar, lalu menertawakan absurditas sendiri—dengan nada yang tidak terlalu serius, tapi cukup menyentuh.

Bacalah puisi ini dengan suara hati aktor indie, dan kamu akan mendengar ritme yang malas, tetapi musikal. Semuanya terasa seperti montage yang tidak diedit: ada anabul yang ditinggal, gudeg yang terlalu manis, lorong bioskop yang penuh hantu—dan tentu saja, dialog penonton yang membosankan seperti film yang mereka tonton. Tapi justru dari repetisi dan kesunyian yang ditulis Dali ini, lahir observasi yang tajam tentang relasi kita dengan waktu, dengan film, dan dengan diri sendiri. Dali sedang tidak menulis puisi, dia sedang menyutradarai pengalaman internal: statis, lambat, dan sangat personal.

Yang bikin puisi ini makin nyentrik tapi nyantol adalah keberanian Dali untuk menertawakan dirinya sendiri sambil mengidolakan Tsai Ming-Liang. Ada ironi yang tidak sinis dalam pengakuannya sebagai orang yang “terlalu lambat untuk mengucapkan selamat datang atau selamat tinggal”—sebuah pernyataan yang bisa jadi tagline film coming-of-age kontemplatif. Puisi ini juga menyentil kita semua yang suka sok film buff, tapi ngantuk nonton arthouse cinema. Dan Dali tahu itu. Ia membiarkan kita merasa seen dalam kebosanan yang suci, seperti sedang memeluk kenyataan bahwa hidup kadang cuma sebatas lorong gelap bioskop yang bocor dan kita tetap duduk di sana, menunggu kredit akhir, dengan harapan ada post-credit scene.

“Ke Jogja, Nonton Goodbye Dragon Inn (2003)” adalah puisi yang menyublimkan kemalasan menjadi kepekaan. Dali Daulay mengajarkan kita bahwa hidup yang lambat, dan bahkan membosankan, tetap layak dicintai, diingat, dan disyukuri. Karena di situlah—di sela bingkai-bingkai statis hidup—kita akhirnya bisa benar-benar merasa hidup, meski hanya dengan menonton film bersama hantu-hantu kenangan yang diam-diam ikut bertepuk tangan di akhir.

2025

***

Atau Atau

Dunia ini tidak berjalan ke arah yang saya mau.

atau

atau

Saya yang tidak berjalan ke arah yang dunia mau.

tapi, maksud saya, lihatlah, siapa yang menulis adegan ini?

EXT. RERUNTUHAN – MALAM

Di kolam bebatuan, Manusia (30), telanjang, memanggang dirinya jadi abu. Kemudian terbawa angin dan tidak berhasil meninggalkan apa-apa.

mungkin, ini bukan tugas untuk kami berdua.

bukan Saya, bukan Dunia, kita sama-sama tidak tahu

arahnya ke mana.

atau

atau

***

Jangan Lihat Aku Sebagai Penjara

Kapan kau sadar kalau

dua bola mataku

bukan penjara

bagi dua burung

yang endemik di matamu.

Jangan lihat kegelapannya

sebagai kerangkeng.

Lihatlah ruang itu:

monokrom, hening—

taplak semesta:

langit, papan, atau kanvas

kau bisa melepaskan

dua burung itu

di sana.

Aku bukan alat

untuk kepunahan

yang begitu

kau takutkan.

aku bukan sesuatu

yang menghapus.

aku bukan—

Aku adalah

yang luas dan diam.

mengajakmu bicara

soal kebebasan—

di dalam bola mataku,

aku termenung

menunggu,

dan menunggu.

***

Pemandangan Hancur

Tidak perlu bertanya

            kenapa ibu masih

            menyapu reruntuhan

            foto keluarga sempurna

            yang menyangkut di alismu

bangunlah!

            meski matamu (selalu)

            terpejam.

hiruplah!

            dunia meski 

            hidungmu hanya bekerja

            untuk menghirup—

udara

            berperisa

darah

***

New Year’s Eve, 2101

Itu 76 tahun lagi,

tetapi kau sibuk menulis

bagaimana merayakan

malam tahun baru

76 tahun lagi.

ah! we should celebrate it

as a challenge—who’ll be the first one

to die—this year, or the year after.

tapi pikirmu: kita terlalu tampak

akan hidup selamanya

kalaupun mati, kita tetap hidup

dalam bentuk apa saja.

or will we celebrate NYE  as

a couple of robots, and i’ll scan

the beautiful electronic current

in your metallic eyes.

tapi kau ragu kalau

robot paham cinta

atau seni mengagumi mata.

ooooh, will there still be fireworks

in 2101? or will there just be

eternal darkness?

kau bingung—terbaring,

rambutmu terurai.

kuletakkan tanganmu

di dadaku—lihatlah ke dalam—

sekarang.

kembang api

berdetak

meledak-ledak.

***

BIODATA:

Dali Daulay, lahir di Medan, 28 Juli 2001. Lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Pernah bekerja sebagai penulis untuk Malaka Project dan Apa-Apa Tentang Film.

Ia gemar menulis apa saja yang dilihat dan dialaminya sehari-hari, yang kemudian dibagikannya melalui laman Medium pribadi.

Instagram: @daulaydali

Check Also
Close
Back to top button