5 PUISI EWITH BAHAR

IMIGRAN DIGITAL
Akhirnya kita tak mungkin lagi
menghindari peri kehidupan musykil itu
sebagai komando yang kita ikuti dengan taat
Kita adalah imigran digital yang seolah terkunci dalam pasungan
duduk pasif di muka layar monitor
merenangi kanal-kanal web, menjelajah sudut-sudut jazirah
dengan segugus password
Jarak dan ruang menjadi anomali
waktu dan takdir terengkuh dalam genggaman
dunia terbalik setengah edan
manusia tak lagi saling bercakap
toko-toko bermutasi ke ruang-ruang online
rapat akbar antar negara diciutkan dalam teleconference
orang-orang mengendalikan hidup dengan hanya menggunakan ujung jari. Ujung jari!
hidup direduksi ke dalam peti maya tanpa tepi
seperti mimpi, kita lumat dalam ilusi, imajinasi dan khayali
Kita dilucuti dari sekat-sekat identitas demografi dalam semesta global
segalanya sekonyong absurd
sampai-sampai kita dicekam kerinduan terhadap muasal
pada segala kesederhanaan dan keterbatasan
pada kerumitan-kerumitan tanpa penyelesaian masinal
lalu di dalam zikir, Kleinrock dan Berners-Lee,
terucap sebagai nama-nama sakral.
CATATAN REDAKSIONAL
Ujung Jari Dan Zikir Digital
oleh IRZI Risfandi
Puisi Imigran Digital karya Ewith Bahar membuka dirinya seperti notifikasi yang tidak bisa kita abaikan—langsung menyala di layar kesadaran kita yang sudah terlalu akrab dengan scrolling, swiping, dan endless refresh. Dengan diksi yang tampak sederhana namun memuat amunisi renungan postmodern, Ewith menggiring pembacanya masuk ke realitas yang tak lagi bisa ditawar: dunia digital telah menjadi habitat kedua, bahkan satu-satunya. Ia tak sekadar menamai zaman, ia meratapi diam-diam bagaimana “ujung jari” telah menggantikan kaki yang melangkah, mata yang menatap langsung, dan mulut yang bercakap sungguhan. Catchy? Sangat. Menakutkan? Juga iya.
Sebagai penyair yang memulai kariernya di era analog—sejak menjadi penulis naskah radio remaja di majalah Vista dan Gadis, hingga menjadi wajah di TVRI dan penyiar di Amigos—Ewith Bahar tahu betul bagaimana rasanya berpindah dari dunia nyata yang serba fisik menuju dunia siber yang serba klik. Maka tak heran jika puisinya terasa bukan sekadar observasi orang luar, melainkan jeritan eksistensial dari dalam sistem itu sendiri. Ia seperti sedang memberi tahu kita: “Aku sudah hidup di dua zaman, dan percaya padaku, zaman ini aneh.” Ketika ia menyebut “Kleinrock dan Berners-Lee” dalam zikir digitalnya, kita dipaksa menyadari bahwa pencipta World Wide Web dan peletak dasar internet telah menjelma nabi-nabi baru zaman ini.
Yang membuat Imigran Digital benar-benar menggigit adalah sentuhan satirnya yang halus tapi tajam. Baris seperti “hidup direduksi ke dalam peti maya tanpa tepi” bukan hanya metafora keren, tapi juga pengingat pahit: kita, para netizen abadi, sudah lama tinggal dalam algoritma yang lebih tahu isi hati kita dibanding pasangan sendiri. Ini bukan puisi yang mendewakan teknologi, tapi juga tidak mengutuknya membabi buta. Ini puisi yang menatap masa kini dengan mata terbuka—dengan kesadaran bahwa Zoom Meeting dan marketplace online adalah bagian tak terelakkan dari ritual hidup baru kita.
Ewith menulis dengan gaya yang lincah namun penuh beban pemikiran. Ada centil-centil khas penyair senior yang masih getol tampil di panggung-panggung internasional—terjemahan puisinya bahkan sudah menyebar ke 23 bahasa! Tapi di balik itu, ada juga kepedihan generasi transisi yang rindu masa di mana dunia tidak diukur lewat “bandwidth” dan “login berhasil.” Dalam puisinya, kerinduan itu menjelma refleksi tajam: kita dicekam rasa kehilangan, bahkan tanpa tahu persis apa yang hilang. Mungkin, yang hilang adalah kemampuan kita untuk hadir sepenuhnya di dunia nyata.
Imigran Digital adalah puisi yang layak dibaca sambil membuka 3 tab sekaligus, lalu menutup semuanya untuk benar-benar meresapinya. Ini bukan hanya puisi tentang zaman, tapi juga tentang siapa kita di dalam zaman itu. Dan ketika Ewith Bahar, yang pernah menulis siaran untuk radio remaja, kini menulis puisi tentang zikir terhadap para pendiri internet, kita tahu: dunia telah berubah, dan ia ikut berubah bersamanya—tanpa kehilangan kemampuan untuk mempersoalkannya.
2025
SINDEN TUA
Secarik sejarah bergumpal dalam doa di mulut perempuan itu
sketsa rumah pada tanah tumpah darah
dan perjalanan panjang yang lentur di pematang waktu
membayang remang
Dua dekade telah lewat
sehimpun ilalang liar
terkunci dalam pikiran dan perasaan
tapi ia ingin mengemas sejarahnya sendiri
di tanah asing ini,
ia selimuti tubuh masa lalu
menjadi puisi samar
berupa doa-doa syahdu yang ia rapal
sebagai mantra untuk hidup perkasa
sinden tua,
yang tahan terjaga hingga pagi buta
ia tahu, temali takdir takkan lagi melepasnya
setelah dua dekade yang pahit,
lelaki itu memungutnya
dari atas bangku stasiun kereta
membelenggunya dalam hidup kembara
dari satu kenduri ke lain kenduri
setiap inci dirinya, kini menjadi hutang yang tak terbayar.
MASUKLAH
Masuklah ke dalam tidurku
kita melenting ke masa lalu
lewat jalan-jalan rahasia
yang ditempuh tanpa peluh
akan kita saksikan
dunia yang bungkam bagai kena sihir
di situ, waktu stagnan
kita tak perlu lagi tergesa
bersikejar dengan usia
dalam warna-warni asing alam yang liar
kita menjadi bocah-bocah bebas
mengambil keputusan dengan instink
dan siap ditikam resiko yang paling runcing.
UTPALA
Pahatan utpala, di pinggang prajna paramitha
akan menjadi ornamen di tubuhku
ingatan yang tak lepas-lepas
dari tubuh arca di museum sabtu lalu itu
kini melekat pada sutera warna susu
aku ingin ia magis sesungguh-sungguhnya magis
sehingga bisa kurasakan
ekstasi kemegahan Singasari
dari ruh Gayatri Rajapatni
utpala, teratai biru di batikku
motif teranyar dari hasil meditasi di pantai Klayar
membuat jantungku bergetar
ia inspirasi yang tiba sekonyong
menyusup liat dalam kepala,
menggugah tangan memainkan canting dan malam
dan sejak mencipta desain itu,
seperti kulupa siapa sesungguhnya diriku?
SEORANG LELAKI DAN NASIBNYA
Malam sering menimbulkan ketakutan
Ketakutan menumbuhkan rasa asing yang dramatis
Serta gigil-gigil sebagai tanda perlawanan
Lelaki yang mengidap insomnia itu
Memberanikan diri menantang gelap yang datang dengan bisu
Pada lorong tidur yang buntu
Ada gundah dan gusar yang ingin ia teriakkan
Tapi selalu saja ia takluk pada lidah yang kelu
Kalau saja bisa menukar nasib
Ingin ia menawarkan barter tinggi pada siapa pun
Agar bisa menanggalkan topeng palsu dari wajah
Keluar dari perangkap sandiwara kemuliaan semu
Dan menikmati ketelanjangan hakiki tanpa pura-pura
o…telah berapa windu ia menjual diri pada belenggu?
Tiap mengingat ironi yang tak mampu ia elakkan itu
Pilu yang mengarat di kalbu terasa ngilu
Betapa banyak orang yang iri pada nasibnya, yang kaya dan mulia
Namun tak ada yang tahu,
Hidup ini telah menjadi onak
Yang menusuknya tak henti-henti.
BIODATA :
Ewith Bahar mulai menulis sejak SMA sebagai penulis naskah acara radio dan artikel musik di sejumlah majalah, seperti Vista dan Gadis. Kariernya terus berkembang saat menjadi presenter dan interviewer di TVRI Stasiun Pusat Jakarta, serta aktif di dunia media, termasuk sebagai penyiar radio Amigos dan presenter RCTI. Pengalaman menulis juga ia lanjutkan saat menjabat sebagai PR Manager di Hotel Ciputra dan Hotel Gran Melia Jakarta, di mana ia bertanggung jawab menyusun rilis kegiatan untuk publikasi media.
Ia telah menerbitkan 11 buku tunggal, salah satunya terbit di Amerika Serikat, dan puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam 23 bahasa asing. Buku puisinya Sonata Borobudur masuk 5 Besar Buku Puisi Terbaik Indonesia 2019 versi Perpustakaan Nasional RI. Karyanya dalam bentuk artikel, Asuransi Bagi Penulis Indonesia, meraih Terbaik Ketiga dalam ajang BMA 2022 yang diadakan oleh KUPASI, bersanding dengan nama seperti Saut Poltak Tambunan.
Pada 2023, buku puisinya Impromptu Terzina meraih gelar Buku Terbaik Utama dari Yayasan Hari Puisi. Kiprahnya di dunia internasional meliputi wawancara dengan media asing di India dan Yunani, serta perannya sebagai co-editor dan penulis editorial note dalam antologi internasional World Contemporary Poets, yang melibatkan 165 penyair dari berbagai negara.