Puisi
Trending

PUISI H. SHOBIR POER

CAMAR DI SENJA ITU

lenggok tarian di senja tiba,
katup mata mulai satu dua pergi ke hulu sunyi
tidur rebah dan berbaring di dipan rapuh
dan kicauan burung yang hilang ditelan pekat,
sembunyi di balik bulan

nampak setitik cahaya terlintas
memberi senyum sumringah, kekuatan jiwa
menjemput,
jejakjejak kaki yang membekas di pematang sawah
yang rindukan camar tembangkan kicaunya

hari ini kau hadir,
mengecup keningku dengan bibirmu,
yang lungit mungil tersisa di sajadah ka’bah
kini, aku tak lagi menyerah,
ada nyala sinar yang semburat
masuk ke rulungrelung jiwa
bersama asmaNYA.

di pucuk pohon,
camar di senja itu.

Tangerang Selatan, 6/21-25


CATATAN REDAKSIONAL

Puisi, Camar, Dan Cinta Di Sajadah Kelas

Oleh IRZI Risfandi

Ada puisi yang melodius seperti musik petang. Ada juga puisi yang seperti catatan harian spiritual. Tapi dalam Camar di Senja Itu, H. Shobir Poer—atau Drs. H. S. Purwanto, M.Pd, seorang guru sekaligus penyair senior dari Tangerang Selatan—menciptakan semacam perpaduan keduanya. Ini puisi yang lirih tapi tidak lemas, religius tapi tidak kaku, dan yang paling menarik, pedagogis tapi tidak berkhotbah. Sebagai guru, beliau tahu betul bahwa kebenaran yang diajarkan dengan kelembutan lebih mudah meresap. Maka, alih-alih mencekoki pembaca dengan dogma, ia memilih menari bersama camar di ujung senja dan membisikkan cahaya ke rulung jiwa yang mungkin sudah lama kusut.

Dari larik pembuka—“lenggok tarian di senja tiba”—kita langsung diajak membayangkan ruang waktu yang temaram, nyaris magis. Tapi jangan salah, bukan magis dalam arti escapist, melainkan reflektif. Di balik sajak ini, ada kekritisan sunyi terhadap manusia yang lelah, yang rebah di “dipan rapuh”, dan butuh jeda dari hiruk-pikuk dunia yang selalu menuntut. Ada kesan bahwa Shobir Poer sedang menggambarkan kita semua yang mulai mengantuk di ruang kelas kehidupan—murid-murid abadi yang kehilangan arah dan lupa mencatat makna. Maka, kehadiran camar dan cahaya dalam puisi ini bukan hiasan alam semata, tapi metafora pedagogik: pelan, sabar, namun menuntun.

Dan di sinilah kenakalan centil itu muncul. Ada kegembiraan kecil yang diselipkan secara diam-diam dalam larik “mengecup keningku dengan bibirmu // yang lungit mungil tersisa di sajadah ka’bah.” Nah, siapa bilang guru tidak bisa genit? Tapi genit di sini bukan dalam arti dangkal, melainkan dalam makna sufi: mencintai dengan total, meski yang dicintai bisa tak terlihat. Sajadah dan Ka’bah dalam puisi ini menjadi ruang spiritual sekaligus ruang sosial: tempat menyimpan cinta, kenangan, bahkan keinginan yang belum sempat disampaikan dalam bentuk tugas. Di sini, penghayatan religius menyatu dengan sensualitas puisi, menjadikannya semacam ruang doa yang lentur dan hidup. Camar tak lagi hanya burung, tapi penanda arah hati.

Membaca puisi ini dengan pendekatan etnografis juga membuka lapisan lain. Shobir Poer adalah pendidik yang bertahun-tahun berkarya di lingkungan urban-heterogen seperti Jakarta dan Tangsel, tempat siswa-siswi sibuk dengan gadget, guru-guru diburu kurikulum, dan puisi nyaris dianggap kuno. Maka puisi ini juga bisa dibaca sebagai respons atas kegelisahan dunia pendidikan modern: saat nilai-nilai spiritual mulai redup, saat siswa lupa cara membaca langit, saat “kicauan burung ditelan pekat” dan sekolah kehilangan nyanyian. Maka, lahirlah puisi ini sebagai peringatan yang santun: bahwa kita tetap butuh camar—sosok yang ringan, bebas, tapi tahu kapan harus mendarat dan menyapa.

Dengan pengalaman panjang sebagai guru, penyair, pelatih teater, dan pendiri komunitas sastra seperti KSI dan Sarang Matahari, H. Shobir Poer tidak menulis dari ruang isolasi. Ia menulis dari ruang kelas, dari panggung, dari masjid, dari lobi sekolah, dari ruang sidang Dewan Kesenian. Camar di Senja Itu adalah salah satu ekspresi paling utuh dari semua itu: puisi yang lembut namun sarat gagasan, yang menenangkan namun menyelipkan nyala, yang seolah hanya bicara pada senja tapi diam-diam mendidik siapa saja yang sempat membaca. Jadi kalau suatu hari murid-murid lupa pelajaran PPKn, mungkin mereka bisa mulai belajar ulang dari puisi ini—karena puisi, pada akhirnya, juga bisa menjadi tempat belajar mencintai hidup dengan utuh.

2025


KERINDUAN

di sepi kerinduan,
aku setiap saat ingin mendekapMu
luruh membersamai air mata jatuh

di sajadah tempat adu
di setiap kata, tersulam kata Allah,
beratusribu aku meracau, akan kebenaranMu
kini, tak mau terluka,
dari dosadosa terkubur batu

di kerinduan, ku cuci biar jadi putih
hingga kilau itu kan jadi embun pagi,
teduh bersamaMu,
dan kini biarkan aku jemput pagi,
serta memeluk matahari

di cahyanya yang menari di antara debu,

biarkan aku berzikir di sembilan puluh sembilan asmaMu.

2024


SUARA DUNIA BISU

Suara dunia bisu
Menjelma tirani mengurung
dari tidur tanpa mimpi
dari liar burungburung yang terbang
ketakutan,
menggigil darah

kau berani hanya sebagai pecundang,
di belakang buritan
kau merayap sepi
usik ketentraman jiwa
kawan, sahabat
di bumi bersuara

hari lusa,
tunggulah balasan dari
tingkahmu yang mati
sering menyakiti
cintacinta diruntuhkan
di ujung penjara
di ujung kematian
kau sedang ditunggu
biarkan saja pergi
ke neraka

2025


RAPUH

ramadhan penuh muhabah,
tapi Jakarta juga kotaku tak menyimpan sepi,
ada yang menghamba ketuk pintu di malam buta,
tapi ada yang hedon menuang arak bermabuk,
ada yang sembunyi bermain cinta semalam,
ada yang selingkuh bukan dengan istrinya atau suaminya,
ada yang jadi Satria di jalanjalan memalak rakyat,
ada yang korupsi merampok uang rakyat,
ada yang menikam
dengan kejam,
-di bagian kota lain-
banjir air mata dan pilu
tak berkesudahan,
jadi roda berputar
jadi sandiwara dunia.

ya, kotaku dan kotamu,
sering sekali menelan ludah
yang dosa dibilang pahala,
yang salah dibilang benar,
yang hitam dibilang putih,
sudah tersimpan kusut dari otakotak yang kalut,
dari hidup karutmarut,
dari iman yang hilang,
dari benteng tak kokoh,
dan tiangtiang menjulang
tapi rapuh.

wajah kotaku juga kotamu,
kini penuh kengerian
simbol akhir masa
begitu nyata,
tapi sayang, kau lupa berjalan menuju pulang
padaNYA.

Tangsel, 30 Maret 2025


DI UJUNG MATA RINDU

di ujung mata rindu
pernah kau tanamkan
secuil hasrat
lirih sentuh jiwaku
yang masih kosong
tak ada rasa

lalu perlahan alirkan
air bening yang sejuk
masuk ke dalam hati
menyeruak lorong yang beku,
mulai tumbuh rasa cinta
dan bermabuk suka
ingin dekapmu
dari kasih yang diberiNYA

cinta kini bergelora
hari ke hari
menjulang tinggi,
kau percikkan dengan kedalaman
akhirnya kita duduk bersama di pelaminan.

2025

***

BIODATA :

H. Shobir Poer (Drs. H. S. Purwanto, M.Pd) lahir di Cilacap, 22 September 1967. Ia adalah lulusan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Jakarta (sekarang UNJ) tahun 1992. Saat ini mengajar di SMP Negeri 15 Jakarta, setelah sebelumnya berpengalaman panjang di lembaga pendidikan seperti SMP/SMA Bakti Mulya 400 Pondok Indah, SMA Insan Cendekia BSD, dan Universitas Pamulang (2015–2020).

Sebagai pendidik dan sastrawan, ia telah meraih berbagai penghargaan, antara lain Guru Berprestasi Harapan 1 dan 2 DKI Jakarta (2002 & 2004), Juara 1 Guru Penggerak Literasi DKI Jakarta (2022), serta Penulis Terbaik Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional (Agustus 2024). Karya-karyanya—puisi, cerpen, dan esai—telah dimuat di berbagai surat kabar lokal dan nasional.

Ia merupakan salah satu pendiri Komunitas Sastra Indonesia (KSI) tahun 1996, serta pendiri dan pimpinan Sarang Matahari, komunitas penggiat sastra. Selain aktif menulis, ia juga dikenal sebagai narasumber dan pelatih dalam bidang musikalisasi puisi, penulisan sastra, penyutradaraan teater, serta pendidikan dan pengajaran. Ia pernah menjabat sebagai Sekjen dan Ketua Umum Dewan Kesenian Tangerang Selatan (2015–2020).

Telah menerbitkan sekitar 15 buku pribadi dan tergabung dalam lebih dari 100 buku antologi bersama, kini ia menetap di Tangerang Selatan dan terus aktif di dunia pendidikan dan kesenian.

Check Also
Close
Back to top button