Puisi

5 PUISI HENING WICARA


SULTANHANI CARAVANSERAI

Dari Konya yang menebar damai
Bis puisi bergerak menuju Aksaray
Singgah sejenak di Caravanserai
Sebuah bangunan bekas hotel tua
Tempat inap para musafir purba

Caravanserai telah nenabur diksi
Di dingin lantai batu
Tentang isak sekian banyak sepatu
Yang terperosok dalam lumpur keliru

Hingga pada sebuah cermin retak
Yang tergantung di dinding benak
Seberkas cahaya pantulkan rindu
Bukan kepada ulang
Namun kepada pulang

Turki, 2023

***

CATATAN REDAKSIONAL

oleh : IRZI Risfandi

SEBUAH CERMIN RETAK DI ANTARA PUISI DAN PERJALANAN

Puisi “Sultanhani Caravanserai” karya Hening Wicara berangkat dari sebuah lanskap konkret—Turki, Konya, Aksaray—tapi kemudian mengendap menjadi perjalanan batin. Ia mengaduk realitas wisata dan sejarah dengan atmosfer spiritual, seperti seorang musafir yang lebih suka membaca retakan tembok ketimbang brosur turis. Kekuatan puisinya ada pada cara Hening membingkai tempat bersejarah sebagai medium refleksi. Caravanserai, yang secara literal adalah penginapan musafir di jalur perdagangan kuno, tiba-tiba dihidupkan kembali sebagai ruang diksi, ruang isak, dan ruang cermin retak. Pembaca seakan diajak ikut menapaki lorong batu yang dingin, tapi justru di sanalah percikan rindu kepada “pulang” muncul. Ia tidak jatuh pada romantisasi berlebihan tentang eksotika Timur Tengah—sebuah jebakan klasik bagi penulis yang berkunjung ke Turki—melainkan mengekstrak atmosfer menjadi simbol perjalanan jiwa.

Kelebihan lain yang patut diapresiasi adalah gaya Hening yang santai tapi tetap terjaga musikalitasnya. Irama “Konya – Aksaray – Caravanserai” memberi ritme seperti bunyi roda bis di jalan raya, dan enjambemen pendek-pendek membuat puisinya ringan dibaca, seolah kita sedang mendengarkan catatan harian seorang musafir yang berlagu. Diksi “isak sekian banyak sepatu” juga menarik—ia tak sekadar menulis “manusia yang tersesat”, tetapi memberi metafora pada benda yang paling sederhana: sepatu. Dengan begitu, puisi ini terasa akrab dan tidak menggurui, meskipun sarat simbol. Begitulah kelebihan Hening: ia bisa menyeimbangkan antara kedalaman reflektif dengan kesederhanaan bahasa. Tak heran jika ia sudah menelurkan banyak buku, dari Tentang Kita, Embun, dan Cinta (2014) hingga Teka Teki Turki (2025), yang jelas mengafirmasi kecintaannya pada puisi sebagai catatan lintas ruang dan waktu.

Namun, justru karena ia sudah berpengalaman, kita boleh sedikit cerewet. Puisi ini masih tampak “aman” dan kurang menggigit. Simbol cermin retak dan rindu pulang terlalu familiar dalam tradisi puisi Indonesia. Ia memang manis, tetapi tidak menawarkan kejutan. Bayangkan kalau “cermin retak” itu bukan sekadar metafora batin, melainkan diberi twist lebih liar—misalnya menjadi refleksi tentang identitas yang terpecah, atau bahkan kritik terhadap turisme spiritual yang sering menutupi realitas sosial di tempat itu. Dengan cara itu, puisi akan punya lapisan kritis yang lebih tebal. Saat ini, ia masih cenderung jatuh pada wilayah kontemplatif personal yang indah, tetapi belum menembus ranah “mengganggu” yang bisa menampar pembaca.

Selain itu, ada celah yang bisa diperbaiki dalam pengolahan visual dan imaji. Hening sudah membawa kita ke lokasi historis yang kuat, tetapi deskripsi tentang Caravanserai berhenti pada “bangunan bekas hotel tua”. Pembaca mungkin ingin lebih: bau debu, gema langkah di koridor, atau dingin batu yang benar-benar menusuk tulang. Detail konkret ini akan membuat puisi terasa lebih hidup dan bukan sekadar “catatan puitis”. Apalagi Hening punya modal pengalaman langsung, tentu sayang kalau tidak ditumpahkan lebih penuh ke dalam baris-barisnya. Puisi ini punya bahan yang kaya, tapi belum seluruhnya dimanfaatkan.

Meski demikian, “Sultanhani Caravanserai” tetap menyuguhkan sesuatu yang berharga: cara pandang seorang penyair-musafir yang menjadikan perjalanan luar negeri bukan ajang pamer foto, melainkan bahan renungan universal. Hening Wicara menunjukkan bahwa puisi bisa lahir dari bus antar kota, dari lantai batu yang dingin, hingga dari cermin retak di kepala kita sendiri. Dan meskipun saya berharap ia lebih berani mengganggu kenyamanan dengan diksi-diksi yang tak terduga, tetap harus diakui bahwa puisinya berhasil menghadirkan rasa pulang yang tak sentimental. Ia bukan nostalgia murahan, melainkan kesadaran bahwa setiap perjalanan fisik akan selalu mengembalikan kita pada ruang batin: siapa kita, dari mana kita, dan apa arti pulang yang sesungguhnya. Itu pesan yang subtil, tapi justru membekas.

2025

***
TAMAN MARIGOLD

Di lapangan luas yang membentang asa
Di antara megah The Blue Mosque dan Hagya Sophia
Tanaman marigold berbaris melingkar
Kuntum-kuntum jingganya berseri mekar
Dikecup rintik air mancur yang berputar menyebar

Taman bunga marigold itu,
Telah mencuri perhatian
Sekaligus mengundang kekaguman
Setiap mata yang menatap dengan cinta
Setiap telinga yang mendengar dengan renjana

Benih marigold itu telah tumbuh
Dengan kerelaan jatuh
Tersungkur dalam gelap tanah
Lalu berjuang segenap tenaga
Untuk mencapai cahaya

Dan sebagai bunga sejati
Kuntum-kuntum marigold itu mengerti
Bahwa bunga adalah nada-nada tanah
Yang mengalun dari bibir bumi tanpa suara
Itu sebab tak ada bunga yang merasa bersaing dengan bunga di sebelahnya

Turki, 2023

***


MEVLANA MUSEUM

Aksara bergelayut di sudut-sudut museum
Merayu mata para pengunjung
Untuk membaca dan memetik bait-bait hikmah
Yang dirangkai sang pujangga
Dengan jemarinya yang tinta

Kedalaman diksi yang berasal dari telaga jiwanya
Telah menerbangkan kata
Melintasi mega dan samudera
Menuju semarak museum mevlana
Di jantung kota Konya
Yang mendenyutkan rindu dan cinta

Turki, 2023

***


SELENELION

Di perjalanan menuju Cappadocia
Yang mengobarkan rindu dan cinta
Hamparan kuning ladang gandum tak mampu menggoda mata
Yang telah dikuasai kantuk

Namun tiba-tiba kantuk itu sirna
Saat sebutir purnama menyeruak dari balik jendela
Menebarkan ruah cahaya perak
Di singgasana langit yang semarak

Sementara di sisi jendela lainnya,
Matahari bulat berselendang jingga
Menebarkan cahaya emasnya
Menyapa burung-burung pulang ke sarang
Mengecup lembut awan-awan berarak riang

Di dalam bis puisi sore itu,
Berpasang mata senja berbinar-binar sekaligus berkaca-kaca
Dan dari bibir-bibir mengalir takbir
Atas terpilihnya mereka sebagai saksi
Pertemuan nyata dua sejoli;
Matahari sumringah di sisi kiri
Bulan tersenyum ramah di sisi kanan
Dalam peluk waktu yang bersamaan
Sebagai panorama syahdu tak terlupakan
Tak terbahasakan

Turki, 2023

Catatan:
Selenelion adalah fenomena alam, di mana Bulan dan Matahari berada dalam posisi saling berseberangan atau berjarak 180 derajat dari sudut pandang manusia di bumi.

***


BURSA ULU CAMII

Awan sedang sembunyi
Saat puisi tiba di Bursa Ulu Camii
Hangat kecup matahari di ubun-ubun
Getarkan bait-bait yang berteduh di bawah rimbun
Di depan kokoh mesjid enam ratus tahun

Ketika aksara-aksara melangkah masuk
Diksi-diksi berpendar di dinding sejuk.
Terbacalah syair sunyi bangsa Seljuk
Yang mengalirkan rindu pada air mancur tempat berwudhu’
Di tengah ruang cinta
Di bawah cahaya kubah kaca

Mimbarnya terbuat dari potongan-potongan kayu
Saling terkait tanpa perekat atau paku
Seolah perancangnya tahu,
Bahwa kayu ibarat rindu
Yang jika disatukan dengan paksa
Lambat-laun akan berlubang
Mengundang rayap datang

Turki, 2023

***

BIODATA :

Hening Wicara, lahir di Rantau Berangin, Riau, adalah alumni Teknik Elektro STTTelkom Bandung dan bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi di Pekanbaru. Ia telah menerbitkan lima buku puisi, di antaranya Tentang Kita, Embun, dan Cinta (2014), Pelangi Langit Perth (2020), Pukau Petuah (2022), Balon-Balon di Balkon (2024), dan Teka Teki Turki (2025). Karya dan kiprahnya hadir dalam berbagai festival sastra di dalam dan luar negeri, serta ia kerap dipercaya menjadi juri lomba puisi. Puisinya tersebar di sejumlah media cetak maupun daring, baik nasional maupun internasional.

Check Also
Close
Back to top button