5 PUISI HILMI FAIQ

Foto Istri
Di sakumu tergenggam sepotong nostalgia—
foto istri, penangkal gelombang rapat berduri.
kawan-kawan menatap, penuh hayal:
suami setia, kau pasti berbahagia!
Aku tertawa—tawa yang retak di ujung malam—
foto itu, bisikku, bagaikan lilin padam,
memberi cahaya sesaat sebelum kegelapan menelan.
Saat rapat kantor mengalahkan akal sehat,
cukup tatap senyum itu, dan beban berangsur pudar.
Mereka ternganga, betapa ajaibnya!
Namun rahasiaku lebih pahit dari kopi basi:
masalah kantor hanyalah bayang-bayang tipis
di dinding hidup yang penuh retakan.
Tapi perseteruan rumah tangga?
Gajah hitam menari di tengah ruang tamu.
Ada kebenaran pahit dalam tawa ini:
hidup adalah panggung tragedi—kadang gelap komedi.
Kesetiaan, kukata, adalah mata pisau bermata dua:
menebas kesepian, sekaligus menebar luka.
Foto itu kini tumbuh berat di sakuku,
bukan hanya penawar duka,
tapi juga pelengkap daftar dosa:
setiap kali kulihat, kutanya pada diri—
apakah makna setia ini?
apakah cinta menyelamatkan atau malah menjerat?
Di antara lembaran berkas dan tumpukan harapan hampa,
kutemukan satu pelajaran abadi:
bahwa beban terberat bukan terletak di pundak,
melainkan di hati yang terus menimbang,
antara harapan dan kenyataan yang menolak pudar.
2025
*
CATATAN REDAKTURIAL
Foto Istri dan Panggung Sandiwara Rumah Tangga: Hilmi Faiq Mengguncang dengan Gaya
Oleh IRZI RISFANDI
Kalau ada lomba puisi paling dramatis tapi tetap nyeleneh, “Foto Istri” karya Hilmi Faiq ini mungkin sudah dapat standing ovation dari emak-emak pengajian sampai bapak-bapak kantoran yang pura-pura bahagia saat coffee break. Dengan gaya menohok yang seolah-olah menyapa langsung isi dompet dan isi hati para suami karier, Hilmi menyeret kita masuk ke dunia absurd relasi modern: di mana foto istri bukan hanya simbol cinta, tapi juga alat survival di antara tumpukan rapat, deadline, dan pertengkaran rumah tangga yang selevel perang dingin. Ya, Hilmi memang tahu betul cara mencampur aduk getir dan geli, lalu menyajikannya dalam piring sajak yang—duh, renyah sekali.
Hilmi Faiq bukan penulis kemarin sore. Ia adalah jurnalis (lumayan) senior dari Kompas kelahiran Lamongan yang sering kali menulis dengan gaya ashoy-geboy tapi tetap rapi jali. Buku puisinya Perkara-perkara Nyaris Puitis (2023, GPU) seolah menegaskan satu hal: hidup kadang terlalu absurd untuk terlalu serius. Dalam puisi ini, kita disuguhi potret batin suami urban yang digambarkan bukan sebagai pahlawan keluarga, tapi sebagai manusia setengah rapuh yang menggantung harapan pada selembar foto. Tentu saja bukan sembarang foto. Ini “foto istri, penangkal gelombang rapat berduri” — dan kita pun terpingkal dalam kepedihan. Bukan karena istri cerewet, tapi karena hidup terlalu ribet untuk sekadar disederhanakan dengan senyum digital.
Tapi tenang, Hilmi tidak sedang menjelekkan pernikahan. Ia hanya membuka lapisan dalam realitas yang kerap kita bungkus dengan stiker “keluarga bahagia”. Coba saja simak bait ini: “Gajah hitam menari di tengah ruang tamu” — kalau ini bukan metafora paling aduhai untuk konflik rumah tangga, aku tak tahu lagi harus bilang apa. Dengan usilnya, Hilmi mengajak kita ngakak di pinggir tragedi. Ia tahu bahwa hidup sebagai pasangan bukan selalu tentang makan malam romantis, tapi juga tentang meredam ledakan dengan senyum sok kuat dan tatapan kosong ke arah langit-langit.
Dan ketika masuk ke bagian paling jleb—“Foto itu kini tumbuh berat di sakuku…”—barulah kita menyadari: ini bukan cuma soal cinta, tapi juga beban eksistensial. Foto sang istri berubah dari pelipur lara menjadi pengingat bahwa bahkan cinta pun bisa membebani. Di sinilah Hilmi menggoda kita untuk bertanya ulang: apakah cinta selalu menyelamatkan? Atau justru menjerat dalam bayang-bayang harapan yang tak sejalan dengan kenyataan? Wahai para suami tersenyum palsu di Zoom Meeting, puisi ini ditulis buat kalian!
Dengan gaya centil tapi tak murahan, kritis tapi tetap berkelas, Hilmi Faiq membuktikan bahwa puisi tidak harus selalu melangit dan misterius. Ia bisa sangat membumi, bahkan bisa masuk ke sakumu—dalam bentuk selembar foto, dan kemudian meledak jadi perenungan panjang. “Foto Istri” adalah contoh bagaimana kepedihan bisa dikemas seperti snack ringan, tapi setelah digigit, eh… isinya mercon.
2025
Metafora Daging yang Terlupakan
Dalam tubuh kota, luka kita bertumbuh
seperti tanaman yang tak pernah diberi nama,
rimpang-rimpang malam tumbuh di dalam rahim
bukan dalam tanah, tapi dalam kehampaan
yang memanggil dirinya “kesehatan”.
Perempuan, seperti semangka yang terbuang
dalam ember yang tak pernah disentuh,
diperkosa oleh angin yang berbisik tentang keadilan,
di antara gigil angka dan pil yang tergelincir
seperti anak sungai yang menelan tanah.
Di ruang putih rumah sakit,
mereka menyuntikkan jarum yang tidak berisi
hanya untuk menghitung detak yang hilang.
Tubuh perempuan berkarat di meja—
seperti roda gerinda yang menggerus
rangkaian harapan dari daging yang terbungkus
di dalam luka, yang tak pernah tercatat.
Kasus-kasus hilang
seperti cat air yang mencuci jari-jarimu
hingga semuanya tampak tak pernah ada.
Tapi di setiap luka yang tertinggal
perempuan adalah ruang kosong,
sebuah cawan tak terisi
yang dipenuhi bayang-bayang asing.
Dalam catatan medis,
tubuhmu dihitung seperti angka
yang melupakan dirinya,
tapi aku adalah jarum yang hilang
dalam darah yang menetes di lantai—
kamu adalah tangan yang terlempar
ke tepi dunia yang diciptakan oleh lelaki.
2025
*
Buaya Merayu, Hiu Menunggu
Seorang cowok menatap pacarnya,
Dengan mata penuh drama dan gaya,
“Demi kamu, akan aku arungi tujuh samudra!”
Katanya—tanpa napas kedua.
Seekor hiu muncul dari sela,
Mendengar rayuan yang luar biasa,
Ia tersenyum sambil berdoa,
“Allahumma bariklana…”
Laut bergelora, angin tertawa,
Hiu jadi saksi cinta yang gila,
“Kalau dia nyebur, ya selamat tinggal dunia—
hilang lapar saya, insyaallah nyata!”
2025
*
Joke Bapack-bapack
Apa benar kalau akte kelahiran hilang kita mesti dilahirkan lagi?
Mungkin kita lahir bukan dari perut ibu,
tapi dari lemari arsip yang berdebu—
terlalu lama terpendam di sana, hingga kita terlupa
apakah kita benar-benar ada, atau hanya jejak
yang menanti untuk hilang di dalam kertas yang rapuh.
Apa benar kalau main badminton,
tapi mainnya bagus jadinya goodminton?
Aku berharap, ketika kamu tiba-tiba menang,
seratus shuttlecock akan terbang dan jatuh ke kepalaku,
menjadi kenangan yang tak bisa lagi kulepaskan,
seperti potongan masa yang menari di dalam kesepian.
Sebelum sejauh matahari, kita pernah dekat doang,
tapi jadian kagak.
Hanya janji yang dibiarkan mengering di meja makan,
seperti mie instan yang sudah lama terlewatkan,
menunggu di panci kosong, tanpa rasa,
dan aku menanti terlalu lama,
hingga kehilanganmu lebih cepat dari waktu yang terlambat.
Aku suka banget main air.
Kebetulan zodiakku Aquarium.
Tapi air yang kugenggam ini,
tak pernah cukup untuk menenggelamkan
semua pertanyaan yang mengambang di udara,
seperti genangan yang hilang begitu saja,
sebelum aku sempat mengerti kenapa.
Kenapa, sih, cicak suka mutusin ekornya?
Padahal, kan, masih bisa dibicarakan baik-baik.
Tapi cicak tahu,
kadang cara terbaik untuk melupakan
adalah dengan memutuskan bagian dari dirimu
yang tak akan pernah kembali.
2025
*
Kesementaraan
Sepotong kayu yang kau beli,
langsung dilempar ke pelukan tanah— peti mati,
tempat janji terakhir diam terkunci dalam sunyi.
Di sana, rahasia terbaring tenang,
tersimpan rapi tanpa kegelisahan,
kaku menunggu tangan yang dingin
mengubur semua ingatan.
Lalu kau genggam uang, licin dan hampa,
seperti rahasia yang sulit kau tahan,
mudah lepas dari jemari,
mudah pula berpindah ke tangan lain.
Sekeping uang melayang,
dan dunia sibuk berlarian,
saling berebut di tengah debu,
memungut harapan dari tanah basah.
Di situlah kau sadar— bahwa
yang kau genggam sementara saja,
hanya singgah sebelum akhirnya
diam-diam meninggalkanmu.
Kini kau kembali berdiri di tepi liang,
memandang peti bisu,
mengingat semua rahasia
dan uang yang akhirnya sama-sama hilang,
ditelan diam.
2025
Hilmi Faiq, jurnalis dan penulis. Menulis antara lain puisi, cerpen, dan novel.