Puisi

DARAH DAN SEJARAH

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Saya menerima buku kumpulan puisi Udo Z Karzi, kawan sebaya dalam bidang sastra dan jurnalistik yang berhidmat di Lampung. Bukunya diberi juluk Kesibukan Membuat Sejarah – 100 Sajak (1987-2025), di dalamnya terdiri dari tiga parsial, yaitu ‘Tilas Perjalanan’ yang terdiri dari 35 judul puisi, ‘Tilas Muasal’ terdiri dari 32 judul puisi, dan ‘Tilas Negeri’ terdiri dari 33 judul puisi. Saya cermati dari awal hingga akhir isi buku 348 halaman ini.

Hal yang membuat saya iri dan tak mungkin dapat ditandingi dari Udo adalah perkenalannya dengan dunia Sastra yang sudah terjalin lebih dini dari saya. Di masa SMP Udo sudah menulis cerita fiksi (prosa) tapi belum karib dengan genre puisi. Pada saat itu, saya masih membenci pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang oleh guru, dipaksa untuk menghapal nama-nama sastrawan dan karyanya, termasuk periodisasi sastra Indonesia.

Pada 1987, Udo masuk SMA dan mulai menulis puisi, di mana empat judul puisinya yang ditapalkan pada 1987, diikut-sertakan dalam antologi ini. Adalah linier bila kemudian Udo meraih banyak prestasi di bidang sastra, antara lain menerima Penghargaan Kamaroeddin 2014 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, lalu untuk buku puisi “Bagaimana Mungkin Aku Bisa Lupa” memenangi Lomba Cipta Puisi Naratif Wisata Budaya Lampung Festival Krakatau 1999, dan tiga kali memenangkan Hadiah Sastra Rancage (2008, 2017, dan 2025) untuk buku puisinya Mak Dawah Mak Dibingi (2007), novelnya Negarabatin (2016), dan kumpulan cerpennya Minan Lela Sebambangan (2024).

Pada 1987 saya memasuki perpindahan dari SMP ke SMA (di sekolah umum saya telat masuk satu tahun, di pesantren saya lebih cepat masuk satu tahun) saya justru membenci pelajaran bahasa Indonesia yang di dalamnya ada bagian kecil pelajaran sastra. Kebencian itu bermula dari metode mengajar sang guru yang tidak menarik bagi saya, juga ada beberapa teman di SMA yang tidak suka atittude guru bahasa dan sastra Indonesia. Ketika melanjutkan studi, saya malah diterima di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Jurdikastrasia) IKIP Bandung. Karma telah menghukumku.

Mencermati pengalaman Udo dan saya pribadi, dan makin ke sini, semakin saya disadarkan jika menyukai sesuatu, jangan suka habis-habisan, pun kebalikannya, sebab arah hati bisa berbalik, dari asalnya suka menjadi benci, pun bisa kebalikannya. Dan, puisi-puisi Udo dalam buku ini, juga memberikan pelajaran terkait dengan sikap atau attitude dalam menjalani kehidupan yang fana ini: tidak mencintai dengan membabi buta, tidak membenci yang berlebih.

Puisi-puisi Udo dalam buku ini, menggunakan bahasa yang bersahaja namun sangat efektif, yang membuat buku puisi ini bukanlah karya sastra yang bergelap-gelapan, yang menyamarkan amanat dengan bungkus metafor tidak linier atau simbolisasi beku, melainkan puisi-puisi yang benderang dan bernas dalam mengedepankan ‘maksud’ yang ingin dikomunikasikannya. Saya memandang, menulis puisi adalah salah satu cara manusia untuk mengkomunikasikan apa yang membelenggu jiwa (batin: pikiran, perasaan, imajinasi, angan, dll), dan olah kata menjadi sarana artistik untuk penyampaiannya. Jiwa dan raga puisi, isi dan bentuk, keduanya dibutuhkan dan sebaiknya diapungkan dengan seimbang. Pandangan klise tersebut selalu saya pegang, sehingga saya berpendapat, puisi yang baik adalah yang berhasil menyampaikan gelegak jiwa, dan bukan semata olah diksi dengan kecanggihan craftmanship tapi maksud malah tersamar gelap. Kongklusi klasik tersebut menjadi latar untuk mengatakan bahwa puisi-puisi Udo dalam buku ini berhasil menyuarakan padangan nurani dan intuisinya dalam merespon aneka pelangi kehidupan, yang kemudian dipetakan menjadi tiga bagian seperti dituturkan pada paragraf pertama tulisan ini, kemudian dibingkai dengan judul buku yang tepat: Kesibukan Membuat Sejarah.

Sejarah harus terbaca, dapat dibaca, termaknai dan dimaknai. Maka stilistika puisi Udo yang tidak bergelap-gelapan, adalah pilihan selaras dan sebangun dengan judul besar dalam upaya menuliskan sejarah. Judul ini, terasa seakan tengah merespon upaya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan Indonesia, yang hendak menyusun sejarah Indonesia, dan kabarnya, menjadi satu-satunya sejarah yang akan dibakukan dan dibukukan, yang menuai kritik dari sana-sini karena ada bagian yang dihilangkan dari fakta kejadian di tanah air bila merujuk pada sinopsis atau kerangka tulisannya yang telah diumumkan pihak pemerintah.

Buku puisi Udo ini tidak ada sangkut-pautnya langsung dengan proyek pemerintah, namun ada kaitannya yang kuat, yaitu bahwa sebagian sejarah manusia ditulis dengan kucuran darah. Sejarah dalam konteks negara-bangsa, cenderung dituliskan oleh mereka yang menang dalam berebut kekuasaan, adalah mereka yang berhasil mengucurkan atau memeras darah kaum yang lemah lalu kalah.

Di antara kalah-menang rebutan kekuasaan dan kesempatan menulis sejarah menurut versinya, sejatinya penyair adalah saksi bagi suara kedua belah pihak, dan karenanya penyair ketika menuliskan puisi sebagai saksi kehidupan sebaiknya menempatkan diri sebagai pihak netral yang mengemban tugas kenabian dan kerasulan, yang tidak diizinkan oleh Tuhan untuk mengedit wahyu atau fakta, namun diamanati agar menyampaikan ilham atau inspirasi positif pada tiap untaian diksi yang dianggitnya. Udo sebagai penyair, saya bersaksi, telah menjalankan tugas kenabian dan kerasulan dalam Kesibukan Menulis Sejarah.

Ciri-ciri kenabian dan kerasulan, selalu dari waktu ke waktu adalah menegakkan keadilan, melawan kezaliman penguasa lancung dan pengusaha yang kemaruk, berpihak kepada kaum yang lemah atau kalah, serta berkhidmat untuk kejayaan ‘negeri batin’. Kehidupan ini menjadi latar waktu dan tempat bagi pertarungan, yang seakan ditakdirkan harus ada kaum yang kuat melawan kaum yang lemah, atau pihak yang menang melawan pihak yang kalah. Pertarungan secara gamblang terjadi di kota, tempat manusia larut dalam hiruk-pikuk dan bersaing dengan ketat sehingga ada yang kalah, yang membuat Udo pun berpikir untuk pulang kampung, yang ia duga masih menyimpan marwah tanah yang subur makmur, aman tentram, gemah ripah repeh rapih. Udo menulis:

sementara aku masih saja tersesat
di kota ini
bersama orang-orang 
yang kalah

(Negeri Antah Barantah, 2)

Namun setelah menengok jauh ke belakang, ke akar sejarah, ternyata darah bisa tumpah di mana-mana, tak di kota tak di desa, dan itu terjadi karena getar cinta yang menguar dilatari oleh hasrat purbawi manusia, sehingga yang muncul bukan nuansa kasih, yang mencintai dengan lurus dan tulus tanpa pamrih. Cinta dalam pengertian hasrat, malah kerap melahirkan destruksi ketika dipaksa-jalankan. Sekian kisah legendaris di muka bumi menceritakan kehancuran adab manusia ketika penguasa menyatakan hasratnya dengan membabi buta, sebut misalnya sekuel penculikan Sinta oleh Rahwana karya Valmiki, naskah Hamlet atau Othello yang ditulis oleh William Shakespeare, atau trilogi Oedipus karya Sopochles. Udo menulis:

Tak kan bisa hidup kita tanpa cinta
Kekurangan cinta membuat kita haus dan kelaparan
seperti terdampar di padang gersang
Tapi, cinta berlebih membuat kita menjadi buas,
beringas, dan siap mengenyahkan apa saja
yang dianggap menghalangi cinta kita

Begitulan cinta, jalannya begitu berliku
Barangkali karena cinta itu kita harus menerima cobaan
yang tak putus-putus. Kita tengah dites. 
Ujian cinta, mungkin namanya

Jadi, kalau kita masih suka ribut, berkonflik,
bunuh-bunuhan, saling meniadakan satu sama lainnya
artinya kita masih saling memperhitungkan 
dan mempedulikan satu dengan yang lainnya
Artinya, masih ada cinta di antara kita
Ungkapannya saja yang berbeda-beda
Tapi, bukan Tuhan tak lagi mencintai kita –

Begitulah cinta, deritanya tiada akhirnya

(Begitulah Cinta)

Cinta yang tidak tulus atau hasrat yang kotor akan menggerakkan manusia pada arah yang salah, dan amat bahaya jika si manusia tersebut adalah pemilik kuasa atau pengusaha kaya, sebab keduanya lebih mudah mencederai supremasi hukum dengan segala strategi (politik), yang berdampak besar bagi kehidupan. Hukum dan politik memang ibarat udara dan air, di mana udara bisa menjadi air dan air bisa menjadi udara. Keduanya sangat dibutuhkan untuk kehidupan. Bila kedua bidang ini tercemar, semua orang akan terdampak. Keputusan para politikus di Senayan, menjadi hukum (undang-undang dan peraturan lainnya). Kita ini politikus atau anti-politik praktis, bila hasil keputusan para politikus di Senayan isinya buruk, kita tetap akan ikut terdampak. Kenaikan BBM yang disetujui oleh politikus di Senayan misalnya, akan berdampak kepada semua pihak. Karena itu, orang per orang harus menjalankan rasa cinta yang berbalut kasih, supaya hasilnya tampak lurus dan tulus. Udo menulis:

hukum belum lagi jalan
keadilan masih jauh
hak asasi lupa tijunjung
demokrasi diinjak-injak
kemakmuran tak juga mendekat
maling kecil ditangkapi
koruptor besar malah dilepas
petani tak diperhatikan
konglomerat nakal justru dikasih bantuan
rakyat jelata dibiarkan
penguasa sulit dikontrol

(Anomi)

Puisi-puisi yang Udo tulis dalam buku ini, telah menyampaikan refleksi yang mendalam tentang pencarian makna hidup dan kesadaran diri, menunjukkan perasaan tercenung dan merenung tentang hidupnya, yang merupakan pengalaman universal. Banyak orang di berbagai tahap kehidupan sering kali merasa terjebak dalam rutinitas dan mempertanyakan tujuan mereka. Ini menciptakan koneksi emosional yang kuat dengan pembaca.

Ruh puisi terletak pada amanat, yang di dalamnya berupa ajakan atau persuasi kepada pembaca. Namun salah satu hakikat puisi di dalamnya terdapat unsur cerita atau prosa, dan ruh dari prosa adalah pemaparan tentang konflik. Dalam puisi-puisi Udo, terasa benar adanya konflik internal yang jelas terutama pada beberapa puisi naratif yang bersifat prosaik. Misalnya pada puisi pertama yang dimuat dalam buku in: Damba 1, Udo mempertegas diri merasa malu dan tidak puas dengan pencapaiannya, yang menciptakan ketegangan emosional. Frasa “aku masih barang belum jadi” sangat kuat dan menggambarkan rasa ketidakpuasan yang mendalam terhadap diri sendiri. Ini adalah perasaan yang banyak orang pun dapat merasakannya, terutama di era di mana pencapaian sering kali diukur dengan standar yang tinggi.

Antologi ini menyampaikan pesan moral yang kuat tentang pentingnya memberi makna pada hidup kita, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Penekanan pada “jadikan hidupmu berarti” menunjukkan bahwa penulis menyadari tanggung jawab sosial dan emosional terhadap orang-orang di sekitarnya, dan hal itu merupakan ajakan yang yang menyentuh dan menggugah. Udo berhasil menangkap esensi dari pencarian makna hidup dan kesadaran diri. Melalui refleksi yang jujur dan emosional, mengusung amanat kenabian dan kerasulan, Udo mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka sendiri dan bagaimana mereka dapat memberikan arti lebih dalam hidup mereka dan orang lain. Ini adalah puisi yang sangat relevan dan dapat menginspirasi banyak orang untuk berpikir lebih dalam tentang tujuan dan makna hidup mereka.

Antologi ini ditutup dengan puisi berjudul “Sejarah Hari Ini” yang terbaca sangat kuat dan penuh refleksi, dengan pesan utama tentang pentingnya menghargai sejarah dan warisan budaya di tengah arus modernisasi yang cepat. Antologi ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat ke depan, tetapi juga menghargai dan memahami perjalanan yang telah dilalui oleh generasi sebelumnya. ***

Check Also
Close
Back to top button