5 PUISI IMAN SEMBADA

PUISI BELUM MATI
Sepi makin keras dan tajam. Sebentar saja
Aku lupakan surga dan neraka. Lorong waktu
Seperti sebuah pintu yang menuju ke masa
Depan. Lalu aku membuka buku diri untuk
Menemukan kesalah-alpaan diri sendiri
Sebuah buku yang dipenuhi kekhilafan
Dan dosa. Ada juga rindu yang membatu
Dalam pelukanku. Adakah yang lebih tersamar
Selain dosa? Adakah yang lebih tak terdengar
Kecuali suara hati? Sebentar saja: aku lupakan
Surga dan neraka, di antara gambar atau adegan
Yang disensor setelah pidato pelantikan presiden
Peta dan gugus angin tak terbaca lagi. Aku
Periksa lagi angka-angka pada almanak tua:
Dusta dan nafsu makin berkarat di urat. Lalu
Birokrasi amburadul bersama stempel-stempel
Palsu di dalam drama anggaran kegiatan fiktif
Tetapi puisi belum mati. Bacalah puisi ini
Sebentar saja. Kata-kata juga belum mati
Di antara hotspot dan roaming. Sebuah kamus
Bahasa melawan badai kuitansi-kuitansi kosong
Depok, Maret 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Sinyal Masih Hidup, Puisi Juga
oleh IRZI Risfandi
Menjelajahi puisi “Puisi Belum Mati” karya Iman Sembada rasanya seperti menyusuri feed media sosial yang tiba-tiba berubah jadi ruang kontemplatif—sunyi, artsy, dan surprisingly relatable. Di tengah dunia yang makin sibuk mengurusi citra dan algoritma, puisi ini datang seperti push notification dari hati nurani: mengajak berhenti sebentar, menyelami luka, rindu, dan absurditas birokrasi, tapi tetap dengan gaya yang tidak menggurui. Iman tahu betul cara meramu perenungan spiritual, keresahan sosial, dan estetika bahasa dalam satu frame yang kekinian. Kalau puisi ini difilmkan, mungkin tampilannya seperti klip Instagram Reels dengan filter noir dan suara latar detak jam tua.
Sebagai penyair sekaligus pelukis kelahiran Grobogan yang kini tinggal di Depok, Iman Sembada bukan nama baru dalam dunia sastra. Karya-karyanya telah beredar sejak awal 2000-an dan tercermin dalam judul-judul puisinya yang menggugah dan kerap politis—dari Airmata Suku Bangsa sampai Garis Lurus yang terbit 2025. Latar visual yang kuat dalam puisinya bukan kebetulan: ia melukis dengan kata, seperti menoreh warna di kanvas kesadaran pembaca. Puisi ini tidak hanya menyampaikan pesan, tapi juga membangun atmosfer—lorong waktu, buku dosa, suara hati, dan drama anggaran terasa seperti instalasi seni dalam ruang budaya yang makin riuh namun hampa.
Keunikan Iman dalam puisi ini adalah keberaniannya menabrakkan hal-hal yang biasanya tak satu ranah: spiritualitas dan sensor politik, rindu dan kuitansi kosong, bahasa dan birokrasi. Gaya bahasanya meluncur liris tapi menyimpan api sinis, semacam satir halus terhadap dunia yang kerap melupakan substansi demi tampilan. Kalimat “kata-kata juga belum mati di antara hotspot dan roaming” begitu segar, centil, dan ironis—seolah mengolok era digital yang gemar berbicara tapi enggan mendengar. Ia menegaskan bahwa bahkan di tengah koneksi tercepat pun, puisi tetap punya tempat—sebagai bentuk perlawanan terhadap kesunyian makna.
Secara teknis, puisinya membentuk blok-blok yang mengalir seperti paragraf pendek, menciptakan ritme sunyi tapi mendesak. Tidak banyak metafora berlapis, tapi justru itu yang membuatnya terasa jujur dan relevan. Puisi ini bekerja seperti password yang membuka pintu kesadaran personal dan kolektif: bahwa kita hidup di zaman penuh data namun kehilangan arah, penuh rapat tapi minus makna, penuh tayangan tapi minim perenungan. Di tengah semua itu, Iman menyalakan lilin kecil: kata-kata yang belum mati.
Maka membaca puisi ini bukan sekadar membaca teks, tapi seperti menyalakan ulang koneksi dengan sisi terdalam diri. Sebuah reminder, bahwa ketika sistem membeku dan realitas kehilangan warna, puisi masih bisa jadi pemantik api kecil di layar batin kita. Dan Iman Sembada, dengan ketenangan khas seniman jalan sunyi, berhasil membuktikan satu hal: puisi belum mati—dan bahkan bisa jadi bentuk perlawanan paling elegan di zaman serba palsu ini.
2025
BELUM JUGA REDA
Satu puisi kuberikan kepadamu
Tentang rindu yang tak reda
Bagai angin atau udara, meski
Kau hela, terus saja mengada
Tuhan menciptakan cinta
Dari penggalan surga, lalu
Manusia menjadikan cinta
Sebagai permainan tipu daya
Dan sendau gurau di dunia
Satu cerita telah kukabarkan
Kepadamu tentang hujan dan
Sajak yang terpatri di hati —
Sebuah pintu akan kubukakan
Untukmu. Lalu angin berkesiur
Pada ingatan terhadap cinta
Dan umur. Sebuah kenangan
Kau sapa setelah mengalami
Hampa, hama dan derita
Sungguh masih ada keanggunan
Cinta bagai api unggun berkobar
Di rongga-rongga dada, tak sekadar
Sekelebat fatamorgana. Sebuah
Mazmur bagai suar belum juga reda
Depok, Februari 2025
DI LUAR TEMBOK PENJARA
Setelah membaca puisi-puisimu:
Aku membayangkan sebuah senja
Juga tentang pelabuhan kecil. Aku
Membuka jendela, melihat anak-anak TK
Bermain — suaranya berkejaran di udara
Kejalangan adalah kebebasan di antara
Slogan Merdeka atau Mati. Berani melawan
Tiran: puisi-puisimu adalah api semangat
Di luar jeruji besi dan tembok-tembok penjara
Aku masih mempelajari puisi-puisimu:
Angin bergaram mengasini kapal-kapal
Di antara risau camar dan cagak-cagak
Bambu yang pongah menjarah lautan
Potret wajahmu tampak flamboyan —
Mengisap sebatang sigaret. Kau takkan
Mengharap belas kasihan, walau luka
Dan sakit kau tanggung sendiri sampai mati
Depok, 2025
PADA SEBUAH TITIK
Tahukah kau bahwa pada sebuah
Titik selalu ada sebuah cerita yang
Senantiasa bergaung? Sebuah cerita
Yang mungkin belum kau dengar
Sejak jerit dan tangis pertamamu
Angin berbiak di balik pagar bambu
Dengan debar yang tak sabar ingin
Menyaksikan daun-daun menguning
Hampir mati — luruh diberangus sepi
Semua yang kau sangka hampa
Ternyata hujan lebat tak terduga
Aku melihat jemari petir berkelebat
Menuliskan syair-syair dan hikayat
Maut yang kau sebut berulang-ulang
Semakin dekat dan karib, bisikku
Sebelum hujan reda. Sebelum kartu
Tabunganmu ditelan mesin ATM
Daun-daun tumpas. Pohon-pohon
Meranggas. Bayang-bayang musim
Menelusup ke dalam sebuah titik:
Merasai cerita setelah koma dan jeda
Jalanan, Januari 2025
MENGHITUNG KANCING BAJU
Ia masih menghitung kancing bajunya. Padahal
Kancing-kancing bajunya tak pernah bertambah
Atau berkurang. Angka-angka berjatuhan dari
Memori-memori masa lalunya, seperti keramaian
Di antara proyektor dan pemutaran film-film koboi
Aku berjalan melewati toko perlengkapan bayi
Bersamaan angin membuat rute-rute perjalanan
Di akhir tahun. Ia juga berjalan di samping kiriku
Sambil menghitung kancing-kancing bajunya —
Sepatunya dibawa banjir Ciliwung yang purba
Tanah Jakarta perlahan-lahan ambles, tetapi
Harganya semakin mahal. Seseorang bertanya:
Di manakah letak nol kilometer Jakarta di antara
Billboard-billboard hotel dan apartemen? Jarum
Jam berkarat terendam air laut yang pasang
Ia menghitung kancing bajunya berulang-ulang
Seperti menghitung luka-luka hatinya yang tak
Pernah sembuh. Keesokan harinya, satu kancing
Bajunya tersangkut di sela tulang rusuk kanannya
Depok, 2024
BIODATA :
Iman Sembada lahir di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pada 4 Mei. Ia menulis puisi, cerpen, dan juga melukis. Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media cetak dan digital, serta terangkum dalam sejumlah antologi bersama. Ia telah menerbitkan beberapa buku puisi tunggal, antara lain Airmata Suku Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016), Orang Jawa di Suriname (2019), dan Garis Lurus (2025). Saat ini, ia bermukim di Depok, Jawa Barat.