Puisi

5 PUISI IMAS MULYATI

DI LENGKUNG LANGIT

Di sini, di bawah lengkung langit,
jerit klakson merintih,
menyalip lantun-lantun doa.
Alun mengalir mengikis dinding,
mengantar tatap pada riang tunas-tunas mimpi,
mengayun langkah ke altar cita.

Gemuruh mendobrak pintu kalbu.
Tatapku terhenti, membawaku kembali
menyusur alur.
Di sini, di bawah lengkung langit
kuukir mimpi bersama lumpur-lumpur kapur.
kulukis angan bersama deru angin.

Kuajari hati dengan bayang reklame,
dari sisa cerita penjual koran dan dongeng radio usang.
Langit di atas sana luas,
tapi tak pernah menjelma jadi halaman teks.

Jika pagi turun terhuyung,
‘kan kutulis mimpi di atas kardus bekas.
Meski ia terlipat, lusuh, dan kuyup,
tetap menyimpan berjuta harap.

Bekasi, 1 Mei 2025
*
CATATAN REDAKSIONAL

Di Bawah Kardus Bekas dan Langit Bekasi: Membaca Imas Mulyati yang Tak Bisa Diam

Oleh Irzi Risfandi

Kalau puisi bisa bersolek sambil bergosip soal kota, Di Lengkung Langit karya Imas Mulyati ini mungkin salah satu yang paling senang nguping suara klakson dan diam-diam curi dengar doa-doa orang lewat. Begitu puisinya dibuka dengan baris “Di sini, di bawah lengkung langit,” rasanya kayak diajak duduk di trotoar Bekasi sambil ngelamun sore-sore, dengar deru mobil, suara pengamen, dan lantun doa ibu-ibu yang mulutnya bergerak tanpa suara. Ada keberanian usil nan santun di situ, menabrakkan antara jerit klakson dan lantun doa — kayak sengaja bikin dua hal bertabrakan biar pembaca paham: ini Bekasi, Bosku. Kota yang doa saja harus bersaing dengan deru angkot dan spanduk diskon 70%.

Yang bikin gemas, Imas nggak berhenti di situ. Ia terus menggiring pembacanya ke riak-riak detail yang begitu personal sekaligus komunal. Ada tunas mimpi, lumpur kapur, dongeng radio usang — bayangkan, siapa lagi coba penyair zaman sekarang yang masih dengan santainya menyebut dongeng radio usang di puisi? Ini bukan soal nostalgia norak, tapi soal keberanian membiarkan masa lalu nongol di antara deru klakson dan gemuruh beton. Di bait itu terasa betul karakter Imas: seorang ibu pengawas SMA, jebolan Sastra Indonesia IKIP Bandung, yang sudah kenyang urusan soal-soal ujian tapi diam-diam masih nakal menulis puisi tentang kardus bekas.

Bicara soal kardus, di bagian penutup puisi ini, Imas tampil santuy tapi filosofis. “Jika pagi turun terhuyung, ’kan kutulis mimpi di atas kardus bekas.” Nah, ini kalimat yang sukses bikin pembaca mikir: kenapa kardus? Kenapa nggak di kertas HVS atau di layar ponsel? Di situlah letak usilnya Imas — dia tahu, di tengah semua yang serba digital, justru mimpi yang paling jujur seringnya ditulis di atas benda-benda yang tak dianggap: kardus lusuh, sudut meja makan, atau mungkin di balik struk belanja. Ada satire halus yang manis di situ. Dan tahu nggak, Imas ini memang aktif di banyak komunitas penulis, dari ASIAN WOMEN WRITERS ASSOCIATION sampai Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat. Jadi jangan heran kalau puisinya bisa kayak warung kopi penuh obrolan seru — kadang edukatif, kadang receh, tapi selalu hangat.

Yang patut diacungi jempol, Imas paham betul cara menyelipkan kritik sosial tanpa harus pakai jargon berat. Ia cukup sebut “Langit di atas sana luas, tapi tak pernah menjelma jadi halaman teks.” Nah loh. Sekali sentil, langsung ngena ke sistem pendidikan kita, ke ruang-ruang mimpi anak-anak kota yang sering kali cuma jadi mural di tembok gang. Di tangan penyair lain, ini bisa jadi pidato panjang. Tapi di tangan Imas, cukup dua baris. Ringkas, pahit, tapi tetap dibungkus senyum.

Jadi kalau kamu pikir puisi harus serius dan galau terus, karya Imas Mulyati ini bisa jadi obat penawar. Dia paham betul bahwa hidup itu absurd — doa bersaing sama klakson, mimpi ditulis di kardus, cinta diselipkan di antara suara angin dan reklame, dan kenyataan pahit ditertawakan dulu sebelum ditulis. Dan mungkin, di situ letak indahnya: puisi yang tidak pernah benar-benar selesai diucapkan, tapi selalu tinggal di sela-sela udara kota. Seperti Bekasi yang tak pernah benar-benar sepi, meski tengah malam.

2025
*

TOPENG DI BALIK LAYAR

Di gedung itu, meja kursi sajikan hangat,
tapi tiang-tiangnya tak belajar santun.
Jendela kaca berceloteh dalam bayang semu,
tertawa mengejek pintu yang pura-pura ramah.

Topeng-topeng tergantung di dinding tamu,
berhias janji yang dicat ulang setiap malam.
Tawa palsunya menggema di gelas kosong,
tertumpah ruah saat teh kehilangan aroma hormat.

Sepasang sandal di selasar bagai peramal,
serba tahu tentang jejak
yang ditinggal dengan radikal;
Lalu tersenyum sinis, mengenang sepatu berkilau
yang tak tahu malu,
berjalan angkuh di lorong penuh risau.

Di gedung itu, topeng-topeng menahan malu,
disapa angin dengan senyum beracun.
Ibarat daun gugur melapuk,
topeng-topeng sembunyikan wajah,
lalu menghilang di balik layar.

Bandung, 7 Mei 2025
*

HAKIKAT DALAM JIWA

Bagai mentari setia sinari buana,
kebenaran pancarkan binar,
segala penjuru gelap tanpanya.
Seperti air di dasar tasik,
kebenaran percikkan bening,
tergali dalam batin yang yakin.

Kebenaran adalah lensa
yang lukiskan nyata dalam maya
tanpa berpihak.
Kebenaran adalah bara dalam abu.
Meski tubuhnya dilebur debu,
panas sejatinya ciptakan lepuh.

Kebenaran bertahta dalam jiwa,
pada pintu menuju ruang hakikat;
Tak terangkai dalam untai kata,
namun maknanya sembunyikan wajah
di balik diam.

Sebelum sukma jauh tersesat,
kompas kebenaran ‘kan slalu tunjukkan arah
tuntun manusia ke jalan taat,
sebelum pulang menghadap Allah.

Bandung, 18 April 2025
*

REINKARNASI HATI

Pernah hatiku gugur di musim kemarau;
terinjak waktu, terlindas masa tak terbilang.
Tangis tanpa suara menyelinap di sela parau.
Dan cinta, hanya bayang-bayang di dinding kenang.

Pagiku tak pernah berhenti menyapa
meski langkahku tinggal sisa serpih dan cabik.
Ada nada lembut di relung batin,
seperti tunas kecil, lahir dari sisa gerimis semalam.

Kujahit nganga dengan benang-benang cinta,
kusulam koyak dengan doa dan air mata.
Hari demi hari kutempa luka, kurangkai puing;
bukan untuk lupa, tapi untuk sebuah reinkarnasi.

Kini kutatap dunia dengan mata muda,
tanpa sengsara, tanpa nestapa.
Luka bukan api yang harus membakar.
Luka adalah cahaya yang menghangat perlahan,
bangkitkan nyawa.

Inilah aku, bukan lagi pecahan rapuh.
Hatiku kini tumbuh di musim semi
dari remuk menjadi ranum,
dari kehilangan menjadi keikhlasan membingkai hati.

Bandung, 15 April 2025
*

LUKA DALAM CINTA

Engkau tak pernah bertanya
ke mana langkah ini kuayunkan.
Pun tak peduli jalanan lurus, retak, atau terjal.
Engkau hanya tunduk dan patuh
menopang tubuh yang kian rapuh,
setia dalam janji, tanpa keluh.

Pernah kauikuti aku
menyapu debu di sudut kota,
bersama arungi masa, susuri waktu.

Pernah kubuat kau terluka
karena ayun langkahku menggores paku berkarat
Engkau terkoyak, terkapar, lalu cinta kubiaskan

Kini engkau tergolek di sudut serambi jiwa
Gores paku berkarat t’lah luluh lantakkan cita,
namun cintaku utuh padamu, tak kenal lekang.

Bandung, 9 April 2025
*

Imas Mulyati. Kelahiran Garut, 25 Mei 1971 adalah seorang Pengawas SMA pada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Latar belakang pendidikan Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung mengantarkannya pada hobi menulis. Karya tunggalnya adalah Untukmu Negeriku, Catatan Cinta Rakyat Jelata (kumpulan esai pendidikan); 2025; Gejolak Rasa, ISBN: 978-623-7837-75-6; 2024; Amorphophallus ISBN: 978-623-7837-81-7; 2024; dan Fenomena Bahasa Indonesia: Permasalahan, Pembelajaran, Penilaian, dan Pendeteksian Kecurangan dalam Ujian, ISBN: 978-602-60391-9-4; 2017. Tergabung dalam komunitas penulis: ASIAN WOMEN WRITERS ASSOCIATION (AWWA), Media Guru Indonesia, Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat (KPPJB), Berita Disdik Jawa Barat, Jendela Puspita Indonesia, Asqa Imagination School (AIS #56), dan komunitas lainnya. Telah memperoleh 4 penghargaan kepenulisan: Parasamya Susastra Nugraha 2024, Parasamya Suratma Nugraha 2024, Parasamya Susastra Nugraha 2023, dan Parasamya Suratma Nugraha 2023. IG: @imasmulyati_25

Check Also
Close
Back to top button