5 PUISI IMRON BINTANG

DI NEGERI MANAKAH
di negeri manakah kawanan burung
terbang rendah bebas meningkah alam
bunga-bunga menaburkan wanginya
tanpa terusik tangan usil atas nama
perluasan pemukiman?
di negeri manakah air mengalir
menggerayangi lekuk liku sungai
bersih bersahabat tanpa luapan banjir
yang dipicu oleh kecerobohan dan kerakusan
tangan-tangan berlumuran ambisi
di negeri manakah langit luas membiru
semilir angin menyusup rimbun dedaun
pohon-pohon patuh berbaris rapi
menerima titah untuk terus menjadi
paru-paru bumi
di negeri manakah pantai permai
debur ombak, desir pasir, nyiur melambai
biduk-biduk leluasa menebar jala
tanpa tersangkut sertifikasi laut
yang mematahkan dayung mereka
di negeri manakah jalan raya kota-kota
arus lalu lintas mengalir lancar
tanpa tersumbat aksi para demonstran
karena memang tak ada yang perlu didemo
segala kebijakan sesuai aturan ditetapkan
di negeri manakah kantor-kantor
bersih dari kecoa-kecoa dan tikus
dan ular beludak yang sama rakus
menggerogoti semua isi brankas
meninggalkan anyir dan penyelesaian tak jelas
di negeri manakah semua kepala
bebas beropini tanpa dibayang-bayangi
intimidasi dan kriminalisasi
panggung dan mimbar terbuka
bagi siapa saja
Kendal, 9 Mei 2025
***
CATATAN REDAKSIONAL
Negeri Imron Bintang: Distopia Indie dari Jalanan Kendal
oleh IRZI Risfandi
Di tengah derap dunia puisi yang kadang terlalu sibuk mematut diri dengan metafora membingungkan atau jargon akademik, muncul suara yang lebih jujur dan membumi dari sosok Imron Bintang. Penyair indie sekaligus pedagang keliling asal Kendal ini menghadirkan puisi Di Negeri Manakah dengan semangat kritik sosial yang terasa centil tapi mengandung dentuman lirih di dada. Puisinya bagaikan poster film dokumenter yang dibentangkan di papan pengumuman kampung, menuntut kita untuk melihat realitas hari-hari ini tanpa filter dan pencitraan. Bukan sekadar bertanya retoris, Imron tampak sedang menggugat dengan nada lirih namun sinis: negeri manakah yang menjanjikan ketenteraman seperti dalam buku pelajaran SD, tapi tak kunjung bisa diwujudkan oleh yang berkuasa?
Setiap baitnya menyuarakan imajinasi tentang negeri ideal, yang sayangnya terasa makin mustahil dijumpai dalam keseharian kita. Di negeri mana “burung terbang bebas” dan “bunga-bunga menaburkan wanginya tanpa terusik tangan usil”? Pertanyaan ini tampak puitik, tapi sekaligus menampar. Sebab kita tahu, hutan yang menyimpan keharuman dan suara burung itu kini lebih sering diukur dengan hektar konsesi, bukan ekosistem. Ketika Imron bicara soal banjir dan kerakusan, ia sedang menulis bukan dari atas menara gading, melainkan dari balik troli dagangannya, dari lorong-lorong kampung yang terendam air setiap musim hujan, tempat tikus dan tikus berdasi bisa punya peran yang sama: merusak.
Ada kejujuran yang mengendap dalam pilihan diksi Imron: sederhana, nyaris polos, tapi memuat kemarahan yang berpendar. Ia tidak perlu menjabarkan detail statistik atau nama-nama menteri, sebab puisi ini sudah menjadi suara rakyat kecil yang muak dengan teatrikal kebijakan. Dari bait soal “sertifikasi laut” yang menghantam nelayan kecil, sampai tentang kantor-kantor yang “bersih dari kecoa dan ular beludak”—semua metafora ini tidak hanya menyindir, tapi juga menyuarakan trauma kolektif kita atas sistem yang tak adil dan birokrasi yang mempermainkan nasib orang banyak. Puisi ini adalah doa yang kesulitan untuk optimis, tapi menolak menyerah untuk diam.
Yang menarik, gaya penulisan Imron tak kehilangan daya indie-nya. Ia tidak sok akademik, tidak sok revolusioner. Puisinya justru berhasil karena ia tetap sederhana, tetap santun, tapi menggedor. Ia ibarat penyair jalanan yang duduk bersila di pelataran, membaca puisi sambil sesekali menawarkan dagangannya. Kesan itulah yang membuat puisinya lebih mudah didekati dan dipercaya. Dan dalam dunia puisi yang kadang terlalu sibuk memoles ego, kehadiran suara seperti ini sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan gema. Di usia 55 tahun, Imron Bintang membuktikan bahwa puisi bukan hanya milik mereka yang duduk di meja seminar, tapi juga milik mereka yang mengarungi jalanan, menjual kejujuran dalam bait-bait sederhana.
Maka jika hari ini kita membaca puisi Imron Bintang dengan senyum getir dan geleng kepala, itu karena puisinya bekerja dengan cara yang halus namun menghunjam. Ia mengajak kita bertanya, merenung, dan (siapa tahu) akhirnya bertindak. Negeri yang ia tanyakan bukan negeri di awang-awang. Itu negeri yang kita huni hari ini, dengan PR moral yang belum kelar. Dan mungkin, lewat puisi-puisi seperti ini, kita bisa mulai menyusunnya kembali. Bukan sekadar bertanya “di negeri manakah?”, tapi mencoba menjawab: “bagaimana kalau kita mulai membenahinya dari sini?”
***
LANGIT DI BUMI MERDEKA
langit di bumi merdeka
mestinya kokoh menaungi para pemercaya
pada rentang dan rangkul tangan yang sama
antara umat musalla, gereja, pura, wihara
tak boleh ada terpilih karena mayoritas
atau tersisih karena minoritas
langit di bumi merdeka
harusnya kukuh memayungi kebersamaan
tiada istimewa di antara
made, joko, dadang, ataupun siahaan
tak boleh menindas karena berkuasa
dan tertindas karena oposan
langit di bumi merdeka
mestinya jernih dan kondusif
di kolongnya berdaulat negara
tiada tirani dan oligarki
yang memberangus demokrasi
dan mencekik hak asasi
langit di bumi merdeka
mestinya orang-orang pra sejahtera
bebas melambungkan impiannya
bebas mewujudkan harapannya
sambil melepas penat berbaring tidur
jauh dari bayang-bayang hantu penggusur
Kendal, 13 Mei 2025
***
NEGERI PREMAN
di negeri preman para preman
sungguh sangat dimuliakan
dikemas dalam wadah ormas
bebas memeras sebagai anak emas
generasi belakang
tak perlu merasa terbelakang
meski jauh dari bangku pendidikan
untuk menjadi pemimpin berwibawa
disanjung dan dipatuhi pengikut setia
barangkali tak perlu lagi berjasa
tetapi terapkan hukum rimba
menjadi singa atau srigala
untuk menempati kedudukan
produktif dan nyaman
barangkali tak perlu lagi pengabdian
sebarkan keonaran di jalanan
memungut setoran liar dengan paksaan
untuk menjadi terhormat
dielukan dan disegani masyarakat
barangkali tak perlu lagi bermartabat
injak hukum tendang adat
embat dan sikat yang dirasa nikmat
Kendal, 10 Mei 2025
***
NEGERI PARA MAKELAR
di negeri para makelar
urusan bisa jadi sangat lancar
apabila berani membayar tarif di luar
orang-orang sibuk berkoar
menawarkan diri menjadi pengantar
dan pelindung proses persoalan
di terminal, di bandara, di pelabuhan
bahkan di kantor pelayanan
yang bisa memberinya topeng peran
penutup wajah-wajah pengangguran
di negeri para makelar
pejabat-pejabat bermain tender
membuka lelang dan memenangkannya
memberi rekomendasi atas diri sendiri
menjadi makelar atas diri sendiri
di negeri para makelar
jabatan dan posisi bisa dibeli
sesuai tarif yang dibayar
pekerja bisa menduduki kursi
tidak berdasar profesi
Kendal, 09 Mei 2025
***
BIARLAH MEREKA SAJA
biarlah mereka saja
yang kaya
yang boleh meraih titel sarjana
menjadi orang-orang pandai
mengurus negeri indonesia permai
orang-orang papa dan susah
terbiasa duduk di bangku rendah
tak perlu lagi melanjutkan kuliah
kalau pun pandai dan sempat bersarjana
paling-paling sulit mendapat kerja
kompetisi bukan lagi adu prestasi
tetapi tebalnya upeti dan banyaknya relasi
di lingkungan pengendali kursi
biarlah mereka saja
yang bermodal
yang boleh duduk membual
merasa menjadi orang-orang andal
menetapkan segala aturan situasional
bukan konstitusional
orang-orang jelata
cukup memerah keringat mengelucak tenaga
menjadi nelayan bersabung gelombang
menjadi petani memanggang badan
menjadi buruh upah menguap sebelum istirah
biarlah mereka saja
yang merasa hidup mulia
yang memiliki jaringan lingkar istana
menutupi kebusukan dengan cerdas
melanggengkan kekuasaan dengan culas
Kendal, 10 Mei 2025
***
BIODATA :
Imron Bintang, lahir dan berdomisili di Kendal. Saat ini berusia 55 tahun dan sehari-hari bekerja sebagai pedagang keliling. Kecintaannya pada puisi telah tumbuh sejak duduk di bangku SMP, dan terus berlanjut hingga kini.
Sejumlah puisinya tergabung dalam berbagai antologi bersama, antara lain: Under The Moon, Upacara Tanah Puisi, Antologi Puisi Religi, Lampion Merah Dadu, Ketika Dalam Keheningan, dan Jakarta Bukan Lagi Ibu Kota.