Puisi

5 PUISI JUMADI

PENYAIR BUKAN PENJAHAT

Penyair bukan penjahat
tak perlu dipantau saat orasi di tempat
keramaian hiruk pikuk debat
menyuarakan ketidakadilan rakyat
terutama ketimpangan sosial ekonomi yang menjerat

Penyair bukan penjahat
perang penanya bersuara lantang
bergerak dengan gejolak pikiran dan hati meradang
melalui tulisan ditata tak sembarang
lahirlah puisi-puisi cantik nan menawan

Hanya ada satu kata “Lawan !!”
Mendiang Widji Thukul menyuarakan kebenaran
namun menguliti borok pemerintahan
merasa sakit hati, beliau dilenyapkan
dianggap penjahat yang menggoyang kedudukan
mestinya berhak menyandang gelar pahlawan

Penyair bukan penjahat..
mengapa harus takut bersuara
lenyapkan barisan koruptor yang merajalela
mereka tertawa menguras harta negara
mengakibatkan rakyat menderita
kelaparan tersebar di mana-mana
yang tak kuat mental menggantungkan nyawa

Sedangkan Senayan berpesta-pora
gerombolan tikus kongkalikong berbagi proyek negara
menutup muka bertopeng Pancasila
sejatinya hanya slogan tanpa susila
mengibuli rakyat dengan lakon drama Korea

Penyair bukan penjahat
Biarkan mereka berpanggung menebar amanat
demi ketimpangan negeri agar sehat
tak bisa berpangku tangan melihat nasib rakyat
jangan tergiur janji-janji kandidat
satukan tekat
melibas berbagai penyimpangan pejabat
agar keadilan bisa tegak bermartabat

Indonesia, 30 Januari 2024


CATATAN REDAKSIONAL

Oleh : IRZI Risfandi

Dari Pena ke Panggung: Penyair Tak Boleh Dibungkam

“Penyair bukan penjahat”—sebuah deklarasi sekaligus mantra pembuka dari puisi Jumadi ini langsung menyambar perhatian. Lugas, tajam, dan tanpa basa-basi, bait pertamanya menjadikan puisi sebagai arena politik, bukan sekadar pelipur lara. Di tengah zaman yang kian banyak mendewakan “netralitas” padahal abai terhadap ketimpangan, puisi ini memilih sikap: keberpihakan pada suara rakyat. Di sinilah kekuatan utamanya: penyair digambarkan bukan hanya sebagai penggubah kata, tapi sebagai penggugat kenyataan. Dan betul, dalam puisi ini, penyair menjadi semacam orator revolusioner—dengan pena sebagai senjata.


Tak hanya bicara gagasan, Jumadi juga menyematkan sikap historis dengan menyebut Widji Thukul—ikon perlawanan puisi era Orde Baru. Ini semacam homage yang tepat sasaran, walaupun penyajiannya sedikit “textbook.” Namun, justru dalam penyebutan langsung dan penggunaan nama-nama besar seperti “Senayan,” “koruptor,” atau “drama Korea,” kita melihat kecenderungan puisi ini bermain dengan diksi yang relatable dan catchy. Kombinasi antara gaya centil dan isi yang berapi-api menjadikan puisi ini seperti poster dinding yang bersuara: bisa dibaca anak SMA, bisa juga didiskusikan di ruang kelas sosiologi.


Secara struktur, puisi ini mengalir seperti pidato dengan jeda-jeda dramatik yang diperkuat repetisi—terutama frasa “Penyair bukan penjahat”—yang muncul layaknya slogan demonstrasi. Kekuatan itu makin kentara saat bait-baitnya dirancang berima longgar, membuatnya mudah dibaca keras-keras (dan memang cocok dibacakan dalam forum publik). Ini memperlihatkan kepekaan Jumadi dalam memilih bentuk yang sesuai dengan substansi: antara protes dan estetika. Beberapa baris bahkan terasa begitu teatrikal, seperti “Senayan berpestapora / gerombolan tikus kongkalikong berbagi proyek negara”—penuh metafora sarkastik yang khas aktivisme pop masa kini.


Namun demikian, kritik yang bisa ditawarkan pada puisi ini adalah soal kedalaman dan pilihan gaya penyampaian. Meski semangatnya menggelegak, beberapa bagian terasa terlalu deklaratif dan mengulang-ulang pesan yang sama tanpa intensifikasi makna. Ungkapan seperti “jangan tergiur janji-janji kandidat” atau “agar keadilan bisa tegak bermartabat” terasa klise dan terlalu normatif, sehingga menipiskan potensi reflektif dari puisi itu sendiri. Di sisi lain, penggunaan metafora juga belum cukup berlapis; penyair bisa menggali ironi sosial lebih subtil atau menyematkan simbol-simbol kultural yang lebih bernas untuk menghindari kesan “ceramah.”


Namun, dari kacamata literasi pedagogis, Jumadi memang konsisten merancang puisi yang bisa menjembatani antara kritik sosial dan semangat literasi masyarakat. Sosok guru dari Demak ini bukan hanya penulis produktif dan peraih berbagai penghargaan nasional, tapi juga pelestari tradisi puisi yang lugas dan mudah dipahami. Melalui Jejak Pelangi di Hatimu hingga Pitutur Jawa, ia terus menunjukkan bahwa bahasa bisa menjadi alat perubahan—bukan hanya untuk ruang seni, tapi juga ruang belajar dan ruang hidup.Dengan demikian, “Penyair Bukan Penjahat” bukan sekadar puisi—ia adalah selebaran masa kini yang bisa disebar dari kelas ke kelas, dari tongkrongan ke tongkrongan, dari layar ke layar. Dan Jumadi, dengan gayanya yang centil dan kritis, mengingatkan kita semua: bahwa bersuara, apalagi lewat puisi, bukanlah kejahatan. Tapi keengganan untuk bersuara, itulah barangkali dosa yang paling sunyi di negeri ini.


MERAH PUTIH LUKA

Seperti berjalan menyeberangi laut merah
Tertatih, meraba mencari arah
Tanpa pijar, apalagi sinar
Naluri menjadi navigasi, firasat menjadi tongkat

Merah merona laksana gumpalan darah
Terjebak dalam teka-teki seribu amarah
Mengumpulkan puzzle terserak agar menjadi satu arah
Mengapa harus ada luka bernanah?

Netra tak lagi punya indra, hati tak lagi peka
Karena telah terkoyak oleh cedera
Entah apa sebab musababnya
Hanya Tuhan dan hatimulah yang punya kuasa menjawab segala tanya

Merayu bulan turun ke bumi, adalah kemustahilan
Merajuk pun tiada keberhasilan
Meminang matahari bersanding bulan
Tidak akan bertemu jua di pelaminan

Bertemu dalam mimpi, jauh dari harapan
Pasrah..
berpijaklah..
Bumi akan selalu menopang raga
Menerima segala perih merah putihnya luka
Sekalipun raga tak menyatu dengan jiwa

Purwodadi, 17 Agustus 2024


TOPENG BERDASI

Terselubung, layaknya kelobot jagung
dikemas rapi menghadirkan setiap hidung
dalam rengkuhan mendulang untung
agar mendapat suara melambung
mengemas kampanye terselubung
lewat acara seni, sastra dan keagamaan yang menggaung

Hari-hari dalam hitungan algoritma
melingkari kalender keliling kota
menyiapkan strategi paling mengena
agar rakyat tergiur janji-janjinya
tetapi setelah jadi, mereka lupa
bak angin lalu belaka

Siklus terjadi berulang kali
agenda setiap lima tahun sekali
namun rakyat tak sadar dikibuli
menggelontorkan dana triliunan serasa mati
katanya wakil tapi malah minta dilayani
kok bisa selalu begini
ada apa sebenarnya dengan bangsa ini

Purwodadi, 14 Januari 2024


SUMPAH MERDEKA

Sumpah aku masih pemuda tuan
izinkan aku ikut bertanding tahun depan
untuk mengobati kegagalku saat pilihan
berkali-kali terjerembap survei bohongan

Sumpah aku bawa pendamping pemuda
lika liku fotosintesis putusan pakde emka
untuk menutupi luka induknya
dikala terganjal semen tiga roda

Sumpah jiwaku masih kuat berlaga
layaknya pemuda berkerudung satria
karena aku mantan tentara
walaupun prestasiku banyak celahnya

Sumpah…
aku masih pemuda, ndan
belum banyak mengenyam nikmat dunia
tapi mengapa tubuh membeku
menjadi sasaran banyak peluru

Sumpah…
aku masih pemuda, ndan
ingin mengarungi luasnya samudra ilmu
menyumbangkan jiwa, raga dan tenagaku
pada ibu pertiwi yang semakin lesu
tapi aku tak mampu
karena jiwaku sudah menjadi abu
tinggal menunggu waktu
di panggung hari akhir yang Tuhan seru

Aku hanya ingin tahu

Apa sumpah yang kau ucapkan pada Tuhanmu
negaramu
jabatanmu
keluargamu
bahkan pengadilan menjatuhkan vonis palsu
hanya untuk menutupi alibi menggelar sidang lika-liku

Sumpah…
aku masih pemuda, ndan
biar tubuhku menjadi saksi bisu
atas bobroknya tingkah laku
yang selama ini membungkus jiwamu
tunggu saat waktu membuka tabir kabar baru
kau akan kaku
dan berubah biru kecu

Saat itu
aku akan tenang menunggu kamu
untuk sama-sama berenang di tengah api apu
tak ada yang bisa membantu
kecuali amal ibadah dan perilaku
kala kau hidup di dunia penuh adegan palsu

Purwodadi, 17 Agustus 2024


MEMBANGUN DINASTI

Menyibak rumput-rumput liar penghalang jalan menuju gua di ujung sana
Ditemani desahan lembut ranting kering yang terinjak kaki pendaki cinta

Ada sedikit guncangan lindu menambah syahdunya suasana
Mengerang tergelepar di atas tanah basah setelah hujan reda

Kurengkuh perjalanan ini demi mengukir masa depan
Bersamamu menuangkan rasa di bejana pelaminan

Menumbuhkan akar-akar kecil penerus pohon kebajikan
Membangun dinasti baru bertabur seribu harapan

Melambungkan aksara pada setiap pelataran bertakhta sejuta makna kiasan
Aku dan kamu memetik kemenangan di ujung senja yang terpelanting di pojok ruangan

Purwodadi, 7 Oktober 2024


BIODATA :

Mas Jumadi, lahir di Demak, 31 Maret, adalah guru di SDN 2 Kuripan dan menetap di Jetis Utara RT 10 RW 16, Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah. Ia meraih sejumlah penghargaan sastra, antara lain Juara 1 Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional oleh KOPSI (2019), serta tiga kali berturut-turut juara 1 lomba puisi nasional oleh Penerbit Cahaya Pelangi Media (2020–2022). Ia juga Juara 2 Guru Kreatif Kabupaten Grobogan (2022) dan penerima penghargaan Sastratama dari Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia.


Karya-karyanya termuat dalam banyak antologi, baik nubar maupun solo, termasuk bersama DSJ, TISI, DNP, dan Aksi Swadaya. Buku puisinya antara lain Jejak Pelangi di Hatimu (Media Guru, 2019) dan Pitutur Jawa (Kosa Kata Kita, 2022). Ia aktif di media sosial dengan nama Mas Jumadi, dan dapat dihubungi via WhatsApp: 087733055065.

Check Also
Close
Back to top button