5 PUISI MOCHAMAD SYU’AIB

PUISI DAN PUISIKU
Puisi itu apa
Tanyamu di suatu remang petang
Cerita perjalanan yang dipadatkan,
Ucapku
Lalu
Mana puisimu
Kejarmu mencecar
Jawabku,
Kamu adalah puisi abadiku
Republik NGOTA Senami, 09 Mei 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Puisi, Kamu, dan Republik NGOTA
Oleh : IRZI Risfandi
“Puisi itu apa?” Begitu tanya polos yang dilemparkan dalam larik pembuka puisi Mochamad Syu’aib, membuat kita serasa sedang duduk di warung kopi saat petang yang malas turun, di antara aroma tanah basah dan kecipak cangkul yang baru diletakkan. Tapi jawaban yang datang kemudian tidak kalah menggoda: “Kamu adalah puisi abadiku.” Nah, ini dia! Syu’aib berhasil memelintir puisi menjadi bukan hanya soal diksi dan rima, tapi tentang seseorang yang hadir dan menetap di ruang batin paling rahasia. Inilah kekuatan utamanya: kesederhanaan yang manis tapi punya kejutan di ujung baris.
Mochamad Syu’aib menulis dari Republik NGOTA Senami—sebuah tempat imajiner atau sindiran ringan dari desa tempatnya bermukim. Pria asal Pati ini bukan penyair full-time dengan kursi empuk dan meja kerja bersih, tapi seorang pekebun yang mungkin menulis puisi di bawah naungan pohon rambutan. Tak heran bila puisinya terasa sangat organic, dekat dengan napas sehari-hari, dan tidak malu-malu memanggil “kamu” sebagai bagian dari semesta puisi. Ia tidak sedang berpretensi menjadi penyair salon, tapi justru menyematkan kesyahduan dalam kerangka santai nan personal.
Namun, kekuatan kesederhanaan ini juga menyingkap celah. Secara struktur, puisi ini terlalu singkat untuk digali lebih dalam, dan bahkan cenderung seperti status medsos yang sedang mencari “likes” dari mantan gebetan. Padahal, dengan potensi ironi dan ruang puitik dari kata “puisi” yang berulang, Syu’aib sebenarnya bisa mempermainkan diksi lebih jauh, mengejutkan pembaca dengan twist metaforis yang lebih tebal. Karena ketika puisi menggoda dengan pembuka filosofis, kita berharap lebih dari sekadar punchline romansa manis. Saat pembaca sudah terseret dalam teka-teki “apa itu puisi?”, penutupnya terasa seperti pintu yang buru-buru ditutup padahal tamunya belum sempat duduk.
Kendati demikian, kita perlu menghargai pilihan estetik penulis. Dengan liris pendek yang disisipi tanya-jawab dan percik romansa, Syu’aib menghidupkan kembali daya tarik puisi sebagai wahana interaksi yang santai, nyengir, dan tidak sok intelek. Pembacanya bisa saja remaja TikTok yang baru belajar mengenal Chairil, atau guru honorer yang butuh pelarian dari riuhnya RPP. Inilah sisi pedagogis yang tak kentara tapi penting: puisi seperti ini mampu membuka pintu awal menuju literasi rasa.
Singkat kata (dan memang puisinya juga singkat), Puisi dan Puisiku bukan puisi untuk diseminarkan, tapi untuk dinikmati saat matahari miring dan otak tak ingin berpikir keras. Bila Mochamad Syu’aib terus mengasah gaya celutukan kritisnya sambil menambahi unsur reflektif yang lebih dalam, bukan tak mungkin ia akan meracik puisi-puisi sederhana yang tidak hanya genit di bibir, tapi juga menggoda di kepala. Seperti kata anak zaman sekarang: lowkey sweet, highkey jleb.
SECANGKIR TEH
(DALAM PUISI)
Petang menjelang
Aku duduk di beranda hari
Saat matahari belum meninggi
Secangkir teh, seikat puisi
Dan kau, melengkapi
Kubacakan untukmu
Puisi tentang kejujuran dan kesetiaan
Disela-selai minum teh seduhanmu
Yang aromanya menenangkan
Sepasang Joan yang hinggap di dahan menyaksikan
Ketika kau dan aku larut bercengkrama
Tetiba angin kemarau gugurkan dedaunan
Lalu semua sirna
Malam menjelang
Secangkir teh, seikat puisi dan kau menghilang.
Republik NGOTA Senami, 10 Juni 2025
SECANGKIR TEH BERISI KAU, SENJA DAN KENANGAN
Senja
Kau
Dan kenangan
Kuseduh dalam secangkir teh.
Republik NGOTA Senami, 13 Juni 2025
AKU RINDU
Sepasang kata
melata
di dada senja
Khatamkah
kau
mengejanya
Puan.
Republik NGOTA Senami, 08 Mei 2025
KANGEN
Dia datang tanpa beruluk salam
Tetiba memenuhi bilik hati
Usah kau tanya siapa yang datang
Bukankah kau pun merasakannya.
Republik NGOTA Senami, 29 Mei 2025.
BIODATA :
Mochamad Syu’aib, penyuka puisi dan pekebun yang lahir di Pati, Jawa Tengah, kini menetap di Batang Hari, Jambi. Ia aktif menulis puisi di sela aktivitasnya di kebun. Silaturahmi bisa dijalin melalui FB: Fajar Bumi, email: boejang78@gmail.com, atau WA: 0812-7899-7223.






