5 PUISI NANANG R. SUPRIYATIN

DALAM BIOSKOP
duduk di kursi remang-remang, dalam bioskop
sebelum film tayang, dan kita saling memandang
sebelum iklan dan musik berjalan, sebelum telapak
tanganku menggenggam telapak tanganmu:
entah, ini film ber-genre drama atau horor
tapi, sepi itu, ya sepi itu serupa hutan kota,
“Aihhh…, dua kepala tiba-tiba menghilang
di antara dinding, dalam gelap malam!”
Menteng, 2024 – 2025
*
CATATAN REDAKSIONAL
DALAM BIOSKOP: Menatap Nanang R. Supriyatin dari Kursi Remang-Remang
Oleh Irzi Risfandi
Aduh, ini puisi kayak adegan pembuka film indie yang disutradarai Wes Anderson tapi dibintangi remaja Menteng yang baru putus cinta! Nanang R. Supriyatin, si seniman senior yang udah malang melintang dari era buletin fotokopian sampai antologi digital kekinian, menyodorkan puisi yang pendek, padat, dan nakal. “Dalam Bioskop” bukan sekadar puisi romantis yang manis-manis konyol, tapi sebuah mikrokosmos perasaan—antara genggaman tangan dan gelap gulita yang menyelubungi bioskop, ada dunia batin yang menggumam: ini cinta? ini horor? atau hanya dua kepala yang kebetulan menghilang dalam hasrat yang tak diucapkan?
Dari awal kita udah digoda pakai frasa “kursi remang-remang” (well, siapa yang bisa tahan godaan suasana bioskop sebelum film dimulai?), lalu ditarik ke intensitas pandangan yang penuh makna. Nanang mengajak kita menonton bukan cuma film di layar, tapi juga film batin dua insan. Ada ketegangan ala Hitchcock terselubung di balik genggaman tangan itu! Lucunya, si penyair malah seolah tak peduli ini film genre apa—drama atau horor—karena yang penting: rasa sunyi yang menjelma “hutan kota.” Nah lho, siapa bilang puisi tak bisa menyusup ke ranah eksistensial sambil tetap centil?
Oh iya, kita bicara soal siapa Nanang ini ya? Bayangin, beliau udah menulis sejak era jeans cutbray masih eksis dan puisi diketik pakai mesin tik! Lulusan Forum Puisi Indonesia ‘87, pemenang segambreng lomba dari Sinar Harapan sampai Swadesi, penerima Puputan Margarana Award, dan baru-baru ini diapresiasi negara lewat 40 tahun kiprahnya dalam dunia sastra. Bisa dibilang, Nanang itu semacam “senior yang masih hits” di kalangan penyair: nggak pernah ketinggalan zaman, tapi juga nggak ikut-ikutan tren. Dia setia pada diksi-diksinya yang ringan tapi tajam, kontemplatif tapi tetap menggelitik.
Kalau boleh usil, puisi ini tuh seperti surat cinta diam-diam dari si penyair kepada kenangan. Ada rasa lugu, tapi juga geli. Ia menaruh absurditas dalam ruang-ruang sentimental. Lihat saja bait “dua kepala tiba-tiba menghilang”—ini bukan hanya referensi visual lucu ala slapstick, tapi semacam metafora hilangnya individualitas saat cinta membaur dalam gelap. Jeniusnya, Nanang tak perlu menggunakan diksi berat atau metafora ruwet ala simbolisme Prancis; cukup bioskop, genggaman tangan, dan sedikit horor ala Menteng malam-malam!
Jadi, Nanang dalam puisi ini seperti penonton setia yang diam-diam mencatat kisah paling sunyi yang tak terekam kamera: detik sebelum segalanya mulai. Sebelum musik, sebelum iklan, sebelum kita tahu akan jadi apa perasaan ini. Ia duduk di sana, remang-remang, seperti puisi ini sendiri: sebentar, tapi membekas. Serius deh, kalau hidupmu terasa garing, cobalah duduk sebentar di bioskop metaforis milik Nanang ini—siapa tahu, kamu juga akan hilang… dalam puisi.
2025
*
BISMILLAH
dengan bismillah
kuhidupkan jiwa mati
dalam tubuhku yang ringkih
daging dalam tubuh
tulang dalam tubuh
nadi dalam tubuh
kubangkitkan Asma Allah
dengan dzikir dan nyanyian
kidung asmara
ruang-ruang terbuka
bagai tanpa pintu dan jendela
dinding-dinding bercat putih
bingkai bertuliskan kaligrafi
gambar masjid, penerang,
sajadah terhampar
tempat sujud dan doa
anak-anak tanpa ibu
anak-anak yang kesepian
jauhlah maut dalam tubuhku
hantu tanpa bentuk
setan tanpa gerak
dzikir kau, Nanang!
dzikir kau, Nanang!
dzikir kau, Nanang!
Allah,
Allah,
Allah.
Menteng, 2024 – 2025
*
KONTEMPLASI
belum saatnya aku memejamkan mata
meskipun sepi terbaring di jalan raya
para peronda yang asik tertidur karena
tanah basah dan dingin menusuk tubuh
yang kuinginkan pikiranku liar
seperti seekor kucing menerkam
kucing berlari sejauh-jauh pelari
meneror mangsanya dengan gigi-gigi
serta taring sekeras taring harimau
tak semestinya aku berdiam diri
berlarut-larut dalam kesepianku
seperti anak ayam di peram induknya
berkhayal bermimpi hidup di sorga
yang sesungguhnya tak kumiliki
Menteng, 2024 – 2025
*
CERMIN
saat sepi datang, sayang
tapi bukan sepi di dunia
ini sepi yang benar-benar sepi
yang dinding-dindingnya serba tanah
langit-langitnya terbuat dari tanah
ranjang tidurnya juga dari tanah
saat itu, sayangku
cacing-cacing menjalar
ulat-ulat keluar dari pengasingan
selembar kain putih melayang
berputar-putar di udara mencari-cari
tubuhnya sendiri
sekali-kali bolehlah kita bayangkan
kau dan aku berada di sana, seperti
kau bayangkan saat kita berada
di tengah laut, hanya ombak bergemuruh
ketika itu kita dalam kesendirian
menangisi kepergian yang tersayang
Menteng, 2024 – 2025
*
KEPADA TUBUH YANG RAPUH
perlahan dan perlahan
dia tegakkan kakinya
tanpa penyangga
menghadap kiblat
perlahan dan perlahan
dia lakukan sholat lima waktu
dalam ruang tanpa sekat
dengan tubuh yang rapuh
perlahan dan perlahan
dia jalankan puasa
senin – kamis, tahajud,
dan dhuha
perlahan dan perlahan
dia membaca ulang
kalimat-kalimat Tangguh
dalam syahadat
perlahan dan perlahan
dia pelihara buku-buku
yang membuka matanya
kornea demi kornea
perlahan dan perlahan
ruhnya terasa dalam mimpi
diterbangkan angin
dibawa ke awan-awan
perlahan dan perlahan
kertas-kertas berterbangan
memenuhi alam semesta
dengan coretan-coretan menggoda
perlahan dan perlahan
ada doa-doa mengaminkan
tubuhnya yang terbaring
di atas ranjang, dengan cinta
Menteng, 2024 – 2025
*
TUBUHKU
tubuhku,
tidak ’kah kau ingin berindah-indah
berbaring riang di atas pasir, terbuka
di antara mekar bunga, serta kupu-kupu
yang terbang melayang-layang
kau bayangkan nyanyian angin, postur
tubuh penari yang bikin hidupmu bergairah
terobsesi dan jauh mengembara
tubuhku,
tak usah kau tanya kenapa
biarkan hari-harimu rileks sejenak, bahkan
ketika badai meruntuhkan tebing dengan
mimpi yang datang tiba-tiba. Kau bisa
menjadi aku yang selalu merindu
Menteng, 2024 – 2025
*
Nanang R. Supriyatin kelahiran Jakarta, 6 Agustus, adalah alumni Peserta Forum Puisi Indonesia ‘87 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1987. Menulis puisi, cerita pendek dan esai sastra sejak tahun 1980. Mendapat Penghargaan Juara1 Lomba Cipta Puisi bertema tentang Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan Bengkel Deklamasi, Jakarta (2021). Juara 2 Lomba Cipta Puisi dan Cipta Cerita Pendek yang diselenggarakan koran Sinar Harapan (1982), Biro Informasi Sastra Banjarmasin (1984), dan koran Terbit (1984). Juara 3 Lomba Cipta Puisi yang diselenggarakan koran Swadesi (1989), dan Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia bertema Chairil Anwar (2022). Mendapat penghargaan Puputan Margarana Award dari Sanggar Minum Kopi, Bali (1998). Diundang sebagai peserta Musyawarah Nasional Sastra Indonesia di hotel Mercure, Jakarta (2017), dan Festival Puisi Internasional Tegal Mas Island, Lampung (2020). Sudah menerbitkan 11 kumpulan puisi tunggal, dan sekitar 90-an antologi puisi bersama. Salah seorang yang mendapat Apresiasi 40 tahun berkarya oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (2024).
Pernah mengelola buletin Cermin (1981 – 1983), buletin Sikap (1984 – 1985), tabloid Alinea Baru (2019 – 2020), majalah Apresiasi Sastra (2023), dan saat ini aktif mengelola website Pojok Tim.*
Nomor kontak: 085717999330
Email: nanangribut74@gmail.com