Puisi

5 PUISI NANANG SURYADI

TRAM TARARAM TRAM

tram tararam tram tararam tram tram tram api dinyalakan musik dimainkan mulailah menari tram tararam tram tararam tram tram gelombang lautan.gelombang manusia gelombang keinginan mencari  impian, oi paman mari menari dalam gelombang kutukan gelombang hujatan tram tararam tram tararam tram tram

*

CATATAN REDAKTURIAL

Tram Tararam dan Kepala yang Menyimpan Api: Nanang Suryadi dan Musik Gelombang Kehidupan

Oleh IRZI

Tram tararam tram tararam tram tram tram—kalimat pembuka puisi ini langsung seperti hentakan drum dari band punk yang tak mau diajak kompromi. Nanang Suryadi, penyair kelahiran Serang tahun 1973 ini, memang sudah lama dikenal sebagai penyulut bara dalam kepala para pembaca puisinya. Dari buku-bukunya yang punya judul tak kalah liris dan berani seperti Telah Dialamatkan Padamu hingga Penyair Midas, ia tak hanya menulis, tapi juga menyalakan, menabuh, dan menari di atas panggung kehidupan yang penuh gelombang. Dalam puisi “Tram Tararam Tram”, ia tak sedang main-main—ia seperti mendobrak pintu-pintu tumpul kesadaran dengan irama yang absurd tapi bermakna. Di tangan Nanang, kata-kata tak hanya membentuk kalimat, tapi juga tubuh, gerak, dan gema.

Puisi ini adalah semacam orkestrasi spontan, seperti marching band yang kehilangan partitur tapi tetap semangat mengarak jalan. Dengan repetisi “tram tararam tram tararam tram tram tram”, Nanang seperti sedang menciptakan musik dari kekacauan, dari debu kehidupan yang berputar-putar. Tak heran jika ia menyebut api dinyalakan dan musik dimainkan. Musik apa? Musik kehidupan. Musik yang lahir dari gelombang manusia, gelombang lautan, gelombang keinginan—semuanya adalah metafora tentang betapa hidup adalah arus tak tertebak yang terus mengajak kita menari, meski diterjang kutukan dan hujatan.

Gaya puisi Nanang di sini mengingatkan kita bahwa bentuk bukanlah penjara. Ia membebaskan kata dari beban struktur konvensional. Ini bukan puisi yang mencari rima, tapi puisi yang mencari ritme: ritme dari tubuh yang gelisah, ritme dari rakyat yang digulung ombak harapan dan amarah. Dalam dunia Nanang, gelombang bukan hanya air, tapi juga keresahan kolektif yang menari di jalanan, di demo, di rapat-rapat RT, bahkan dalam pikiran sunyi seorang paman yang diajak menari. Kata “paman” dalam puisi ini terasa seperti sapaan jenaka kepada generasi tua yang diminta bangkit dan ikut berjoget dalam gelombang zaman yang bergemuruh.

Menariknya, puisi ini seolah ditulis bukan untuk dibaca, tapi untuk dibunyikan. Ia adalah mantra musikal, sesuatu yang jika dibacakan dengan lantang akan memicu resonansi dalam dada. Ini puisi performatif—puisi yang tidak hanya hidup di atas kertas, tapi hidup di udara, di perut yang lapar, di kepala yang panas, di kaki yang menendang realitas. Nanang menunjukkan bahwa puisi tidak harus rumit untuk jadi kuat; ia cukup jujur, cukup liar, dan cukup tak kenal takut untuk menantang siapa pun yang mencoba membungkam irama hidup.

Nanang Suryadi, sang penyair Midas, benar-benar menyulap puisi ini menjadi emas yang membakar. Ia adalah penyair yang tahu bahwa dunia ini terlalu ramai untuk dibisikkan dan terlalu sunyi untuk diteriakkan. Maka ia menabuhnya. Ia berdendang di tengah gelombang manusia dan menyerukan: ayo menari, sebelum semuanya dilahap oleh ketidakpedulian. Dan betapa indahnya ketika seorang penyair tak sekadar menulis puisi, tapi mengajak kita ikut masuk ke dalamnya—menari dalam kata, menari dalam badai, menari dalam hidup yang terus saja tram tararam tram.

2025
*

WAKTU

waktu
           kau tulis
waktu
            demikian
relatif
waktu
di dalam
lorong itu
lorong
yang tercipta
dari bintang mati

*

LENDIR NASI BASI

nasi
        basi
                berlendir

masih kau
        kunyah kunyah
                             juga

seberapa enak
                  seberapa nikmat
                          belatung di sela sela

terselip
        di gigi
                mu

*

MENANGKAP KUPU KUPU TAN

Kupu kupu. Terbang
Mengitari
          Sumbu bumi
Bunga
         Mekar. Harum
Keharuman
        Semerbak
Kupu kupu. Kepaknya
    Di belahan
               Bumi yang lain
Menjadi
       Badai
Di sini

*

HUJAN DI GANG SEMPIT


hujan
     Kegaiban
Yang menakjubkan
         Mengetuk
Berulang ulang  
Atap seng
    Serupa drum digebuk
Berulang
         Ulang. Tangan-tangan
     Waktu
Hujan turun. Gang sempit
      Menadah.
Got mampet
      Membusuk
Hujan. Turun
      Turun
                Hujan
Kapan kau memanjat?
     Hujan tak
              Ingin
Memanjat. Tembok
      Kita yang kumuh
             Kota yang angkuh
Serupa peternakan
     Gang gang sempit
          Menyimpan
Kenangan
       Berkembang biak
Bahkan di saat hujan
*

BIODATA :

Nanang Suryadi, lahir di Serang, tahun 1973. Ia dikenal sebagai penyair Indonesia yang aktif menulis sejak dekade 1990-an. Beberapa buku puisinya yang telah diterbitkan antara lain:

Telah Dialamatkan Padamu; Cinta, Rindu, dan Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya
Biar!
Penyair Midas

Check Also
Close
Back to top button