Puisi

5 PUISI SILVIA IKHSAN

CINTA BEDA AGAMA

Berpeluk sunyi
Mataku terbelah air
mata terus mengalir
Seakan tak merelakan
kepergianmu dari sisiku

Otak dan hatiku berteriak
Mengapa cinta pun harus
memiliki Tuhan yang berbeda

Lalu salahkah bila kita tetap bersama
Tetapi kita memuja Tuhan yang berbeda
Bukankah kita satu tujuan kembali ke surga
Haruskah agama yang melarang
kita untuk tetap bersama
Lalu siapakah sebenarnya Tuhan kita?

Yogyakarta, 23/08/25


CATATAN REDAKSIONAL


Tuhan, Cinta, dan Sales Consultant yang Patah Hati


Oleh : IRZI Risfandi

Membaca puisi “Cinta Beda Agama” karya Silvia Ikhsan rasanya seperti membuka catatan harian yang ditulis buru-buru setelah menangis tiga jam sambil mendengarkan lagu Adele. Ada drama, ada luka, ada air mata yang katanya “terus mengalir”, dan tentu saja ada pertanyaan retoris seputar cinta dan Tuhan. Di titik tertentu, itu justru jadi kekuatan puisi ini: ia terasa jujur, mentah, dan apa adanya. Tidak ada pretensi ingin jadi “puisi rumit” yang penuh metafora aneh-aneh. Silvia menuliskan sesuatu yang bisa dipahami siapa saja, termasuk orang yang biasanya alergi dengan puisi. Dalam hal ini, kita bisa memberi kredit: ia menulis dengan keberanian membuka isu sensitif—cinta beda agama—dengan lugas, tanpa banyak tedeng aling-aling.


Namun, kejujuran itu juga jadi pedang bermata dua. Karena terlalu lugas, puisinya lebih mirip status panjang di Facebook daripada karya yang matang. Baris “Mengapa cintapun harus memiliki Tuhan yang berbeda” misalnya, memang terdengar emosional, tapi juga klise dan kurang subtil. Ia seperti curhatan teman SMA yang baru saja diputuskan pacarnya karena restu orang tua tak kunjung turun. Bahkan pertanyaan pamungkasnya, “Lalu siapakah sebenarnya Tuhan kita?”, jatuhnya bukan filosofis, tapi seperti kalimat tanya di sesi debat mahasiswa yang belum sempat baca referensi. Saya membayangkan jika Silvia menambahkan satu-dua metafora segar—misalnya membandingkan cinta beda agama dengan menonton konser bareng tapi tiketnya beda gate—puisi ini bisa lebih menggigit sekaligus tetap relatable.


Yang menarik, latar belakang Silvia justru memberi warna pada pembacaan puisi ini. Ia bukan akademisi sastra, bukan pula penyair full-time dengan buku puisi segambreng. Ia seorang sales consultant mobil di Solo, yang menulis puisi di waktu luangnya. Ada sesuatu yang simpatik di situ—bahwa puisi ini lahir bukan dari menara gading, tapi dari keseharian yang riuh dengan target penjualan, test drive, dan prospek konsumen. Saya bisa membayangkan ia menulis larik-larik ini di sela-sela menunggu pelanggan yang tak kunjung datang, lalu menghela napas panjang sembari menekan tombol send di WhatsApp grup komunitas penulis. Kejujuran kelas pekerja itu justru penting, meski tentu harus dibarengi pengasahan imajinasi dan gaya bahasa.


Sayangnya, puisi ini kurang bermain dengan musikalitas. Larik-lariknya datar, seolah hanya mengikuti arus pikiran tanpa sempat dipoles ritme atau bunyi. Padahal, bicara tentang cinta dan agama, irama bisa jadi kunci agar pesan tidak terdengar seperti khutbah. Bayangkan kalau baris “Bukankah kita satu tujuan kembali ke surga” diolah lebih puitis, misalnya dengan gambar visual tentang tangga cahaya yang dinaiki berdua, tapi berhenti di persimpangan. Itu akan membuat pembaca tidak sekadar merasa sedang disodori pertanyaan, tetapi diajak ikut merasakan dilema lewat imaji. Dengan kata lain, puisi ini butuh lebih banyak showing daripada telling.


Puisi “Cinta Beda Agama” terasa seperti kerangka yang kuat tapi belum diisi daging. Silvia punya modal keberanian tema, punya kejujuran rasa, dan punya latar menarik yang bisa ia eksplorasi lebih jauh. Namun, ia perlu berani melampaui “curhat literal” dan mencari bahasa yang lebih segar, subtil, dan musikal. Kalau tidak, puisinya hanya akan jadi catatan harian yang dipublikasikan terlalu cepat. Tapi hei, sebagai penyair yang baru aktif sejak 2023, ini sudah langkah yang lumayan besar. Kita tunggu versi Silvia yang lebih usil, lebih puitis, dan—kenapa tidak—lebih nakal, agar pertanyaan “siapakah sebenarnya Tuhan kita” tidak berhenti di ruang galau, tapi memantik dialog yang lebih dalam di jagat sastra.


PUISI DI UJUNG SENJA

Di ujung senja aksara mengawini lamunan

Rasa yang terdampar dalam harapan tanpa kepastian

Hanya menunggu jalannya waktu memberikan celah

Keinginan-keinginan merangkak tertatih di antara puing kenangan yang runtuh tak berbait

Dalam tatapan kosong tak berpigura

Kutatap ombak memanggul jasad-jasad ikan yang mati karena rindu

Ribuan anak-anak ikan piatu dalam satu waktu

Menjadi buah pikir yang kini tengah kutimbang

Di antara kisah kehidupan

Siapakah yang masih mengibarkan bendera romansa

Sedangkan di daratan tempatku berpijak hingga ke dasar lautan yang kini kutatap masih berkalung kabut kepedihan

Tangan siapakah yang masih menadahkan pinta pada pintu surga

Mengharap setangkai bunga berserta aromanya

Sekedar untuk mengusir aroma ketakutan yang terus mengikuti

Untukmu jiwa-jiwa sepi bangkitlah dari kematian rasamu

Kembali kibarkanlah asamu karena dalam gelap ada cahaya, nyalakan mata hatimu.


KEHIDUPAN

Letih menggumuliku dalam setiap perjalanan usia yang terus kutempuh
Semua yang kubaca hanyalah wajah takdir
Bahagia dan sedih adalah rumput yang merimbun di lahan kehidupan

Aku hanyalah binatang yang kadang salah menelan kenyataan
Hingga aku sering memuntahkan luka
Tapi selalu saja ada sabar yang mengelus dada
Aku tetap berdiri walaupun kadang tanpa kaki
Karena setiap derita yang kutelan membuatku cedera

Cahaya sering hadir
Tapi kadang tak tembus di mataku
Hanya sekilas melintas di tempat dudukku memangku risau
Dan ketika hati hendak membeli keputusasaan
Lagi-lagi ada sabar yang mengelus dada
Hingga bola mataku keluar mencari ketenangan
Di mana Tuhan? Di mana kasih-Nya,


MIMPI YANG KAU BUNUH

Aku perempuan yang kau bunuh dalam mimpimu
Yang kau biarkan mendidih di tungku harapan penuh bara kekecewaan
Tanpa salam kau putus tali percintaan
Melenggang mendaki jantung menaruh cinta di hati perempuan lain

Kau biarkan aku terus memeluk bara di dada
Sementara kau asyik bermain salju di atas tilam
Kau biarkan perasaanku menggantung pada badai
Hanya menunggu habis digerogoti rayap waktu

Hatimu yang batu, atau otakmu yang berkarat
Hingga kau tak bisa membaca cintaku yang mengembang
Memilih meniduri neraka yang berbusana putri
Kau tinggalkan aku di ruang tanpa pintu
Hingga aku terkurung tanpa bisa lepas dari kepastianmu.


WAJAH DALAM CANGKIR KOPI

Wajah dalam cangkir kopi tersenyum pahit
Wajahnya mendidih dalam luka yang menguap
Begitu banyak rasa teraduk dalam satu cangkir
Bebannya bersemadi dalam pikir
Haruskah hidup hanya untuk memikul lara
Sementara semesta punya ribuan warna yang berekor

Wajah dalam cangkir kopi mati dalam gigil
Setelah waktu mendiamkannya dalam kesibukan
Hanya barisan semut turut mengecup belasungkawa
Tanpa tangis tangan semut membawa puing-puing
kenangan yang menempel di gigir cangkir

Wajah itu lalu melayang di atas kepalaku
Masih tanpa senyuman manis
Hanya menebar hitam
Senada kelam yang selama ini ia peluk.


BIODATA :

Silvia Ikhsan, lahir di Yogyakarta, 4 September 1992. Sejak 2023 aktif menulis, khususnya puisi yang banyak bertema politik dan kehidupan. Menulis puisi kini menjadi bagian dari kesehariannya untuk mengisi waktu luang. Selain menulis, ia bekerja sebagai sales consultant di PT Auto Mobil Jaya Mandiri, Solo.

Check Also
Close
Back to top button